PERHATIAN SEBENTAR! ADA ADEGAN KEKERASAN DAN PERCINTAAN. INGAT! BIJAK DALAM MEMBACA JIKA TIDAK KUAT SKIP AJA OKE!
***
BUGH!
PLAK!
CTAR!
"Ben Eddic ... hiks maafkan aku. A ... aku tidak bermaksud untuk ... hiks!" A Qilla terus-menerus memohon pada Ben Eddic yang sejak tadi memukulnya dengan tongkat besi dan sabuk ikat pinggangnya. Jangan tanya mengenai darah. A Qilla bahkan sudah tidak sehelai benang menampakkan tubuhnya yang sudah banyak bekas cambukan hasil karya Ben Eddic saat ini.
Ben Eddic melepas seluruh pakaian A Qilla dengan kasar dan sekali mengempaskan tubuh A Qilla ketika A Qilla berusaha merangkak meraih kaki Ben Eddic dan kembali memohon maaf.
Ben Eddic memang tidak bisa menahan emosinya bahkan ia tidak menahan dirinya ketika ia sedang marah. Ben Eddic yang atasannya sudah raib menampilkan dada bidangnya itu terlihat keringatnya telah membanjiri tubuhnya. Tubuh lelah ketika harus menghajar A Qilla namun emosinya terbilang masih mengguncang dirinya.
Ben Eddic melangkahkan kaki mendekati A Qilla yang masih menangisi nasib dan terkulai di lantai. Ben Eddic menelentangkan tubuh A Qilla dan menatap kekasihnya itu, sembari mengumbar smirk. Tangan Ben Eddic mengelus setiap inchi tubuh A Qilla, menyentuh bunga putih besar itu membuat A Qilla sedikit mendesau akibat perbuatan Ben Eddic itu.
"Apa Matt Hew melakukan ini, huh! Dia menyentuhmu sampai kau mendesau seperti ini?" Jari jemari Ben Eddic pun mulai turun mengelus perut A Qilla bahkan bagian mahkota pangkal pahanya.
"Ben," Ya A Qilla mendesau saat ini ketika Ben Eddic memainkan jarinya pada bagian mahkota pangkal paha A Qilla. Namun ....
"Ben! APPOO! hiks~" A Qilla berteriak kesakitan ketika 4 jari Ben Eddic langsung menerobos masuk dengan sekali hentakan bahkan Ben Eddic memaksakan seluruh jari bahkan tangannya untuk masuk ke dalam mahkota pangkal pahanya.
***
Tangan Te Ressa bahkan masih saja gemetar bahkan ketika ia menuangkan air panas dari teko, tangannya tak bisa untuk menghentikan getarannya. Te Ressa masih takut.
Ia kembali terbayang, dibalik senyum Ben Eddic, ternyata Ben Eddic sangat kasar dan diluar dugaan Te Ressa. Membuat gadis itu ragu untuk mengantar teh pada Ben Eddic. Namun ia harus melakukannya karena Ben Eddic sendiri yang memintanya.
Dengan tangannya yang masih gemetar, Te Ressa menaruh cangkir itu di atas nampan dan perlahan Te Ressa membawa nampan itu dengan tangannya yang tak berhenti untuk bergetar. Rasa takutnya bahkan lebih besar saat ini. Ia berharap untuk tidak mengantar teh lagi pada Ben Eddic.
Dan ....
Te Ressa telah sampai dan berdiri di depan pintu kamar Ben Eddic. Napasnya tidak bisa dikondisikan. Dadanya kembang kempis seperti habis berlari. Ia menelan air liurnya begitu sulit di tenggorokannya. Tangannya terulur dan kemudian mengetuk pintu kamar Ben Eddic.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama, pintu itu terbuka.
Ya pintu itu terbuka cukup lebar. Menampilkan tubuh Ben Eddic yang hanya menampilkan dada bidangnya. Namun Te Ressa langsung menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya ketika ia melihat lantai kamar Ben Eddic dipenuhi oleh darah yang tentu berasal dari wanita itu? Ya wanita itu tak sehelai benang dengan darah di sekujur tubuhnya. Keadaan itu hampir sama seperti keadaan ibunya dulu, membuat Te Ressa semakin bergetar hebat.
Ben Eddic yang berada di depan Te Ressa mengerutkan keningnya. "Bukankah aku sudah meminta Te Ressa untuk selalu menatapku ketika kami bertemu?" batinnya.
Ben Eddic mengulurkan tangannya, meraih dagu Te Ressa dan mengangkat dagunya. Mengakibatkan kepala Te Ressa mendongak namun matanya masih terpejam.
Ben Eddic kini meniup kelopak mata itu agar Te Ressa mau membuka matanya.
Berkali-kali Ben Eddic meniup kelopak mata Te Ressa, akhirnya Te Ressa membuka matanya dan menatap Ben Eddic yang begitu dekat. Te Ressa yang sekilas melihat tangan Ben Eddic yang penuh darah, langsung memalingkan wajahnya. Te Ressa segera memberikan nampan yang ia bawa pada Ben Eddic, membungkuk dan langsung berlari meninggalkan Ben Eddic.
Melihat aksi itu, Sang Ben Eddic kebingungan saat ini. "Ada apa dengannya? Dia takut padaku?"
Te Ressa terus berlari dan berakhir ia masuk kekamarnya. Ia menangis di dalam kamarnya. Ia masih ketakutan. Ia takut kalau Ben Eddic akan melakukan hal yang sama padanya ... sama seperti ayahnya dulu juga memukulinya. Te Ressa langsung naik ke kasurnya, menarik selimut dan menutup seluruh badannya dengan selimut namun ia masih saja menangis. Lambat laun Te Ressa akhirnya terlelap saat ia mulai lelah untuk menangis.
***
Te Ressa kembali melanjutkan pekerjaannya, setelah ia dibangunkan oleh Mo Nica dan betapa kagetnya melihat mata anak tuna rungu itu sembab dan merah. Mo Nica bahkan menyuruh Te Ressa untuk istirahat namun Te Ressa menolaknya. Mo Nica akhirnya memberi tugas yang ringan agar Te Ressa tidak kelelahan. Hal itu pulalah yang membuat beberapa asisten rumah tangga lainnya menjadi cemburu dan bersikap dingin pada Te Ressa.
Tugas Te Ressa hanya ....
Menyusun meja makan dengan standar table manner, mencuci piring dan memberi makan anak doggy milik Tuan Ben Eddic.
Yang pertama Te Ressa lakukan adalah menyusun meja makan dengan standar table manner. Wajah Te Ressa yang pucat itu menandakan bahwa ia dalam keadaan yang tidak baik namun ia berusaha untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Namun beberapa saat Te Ressa harus menghentikan pekerjaannya karena rasa takutnya membuat kepalanya terasa berat saat ini.
Setelah dirasa nyaman, Te Ressa kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan telaten ia menyusun piring, gelas, sendok dari yang terbesar hingga terkecil dan segala totok bongoknya.
Te Ressa yang masih sibuk dengan menyusun table manner di atas meja, tidak menyadari bahwa Ben Eddic si Tuan Muda di rumah itu tengah mengamatinya dari tangga. Ben Eddic mengamatinya dengan tatapan yang tak lepas dari pergerakan Te Ressa. Ia melihat wajah mulus Te Ressa, alisnya, tangannya yang telaten menyusun setiap inchi table manner, rambut hitamnya, tubuh mungilnya bahkan bibir tipisnya yang terlihat pucat namun ....
"Ai ... hentikan itu Ben Eddic. Sejak kapan kau perhatian pada asisten rumah tangga apalagi dia anak tuna rungu. Dia tidak mungkin mendengarmu."
Ya itulah yang dipikirkan Ben Eddic. Ben Eddic melihat jam tangannya dan kemudian menuruni tangga. Namun langkahnya kembali terhenti, ketika Mo Nica sang kepala asisten rumah tangga itu mulai berbicara bahasa isyarat kepada Te Ressa.
Te Ressa tersenyum.
Te Ressa tersenyum ketika ia memahami apa yang disampaikan Mo Nica padanya.
Namun di sisi lain, Ben Eddic sedikit merasa dirinya seperti terkena petir di pagi hari. Ketika melihat kembali interaksi antara Mo Nica dan Te Ressa. Hatinya menghangat.
"Senyuman kecil yang menggoda. Kau membuatku bergairah Te Ressa Graham. Lihat saja, aku akan membuatmu bersuara."