Ben Eddic hanya tersenyum smirk, sambil menutup dan mengunci pintu kamarnya. "Kau ingin apa A Qilla? Kenapa kau tidak berpakaian? Kau ingin menggodaku, huh?"
A Qilla yang tadinya bersandar pada dinding dengan menutup kedua bunga putih besarnya, kini menegakkan tubuhnya, berjalan mendekati Ben Eddic dan mempertontonkan miliknya yang menantang pada Ben Eddic.
A Qilla segera menarik kerah baju Ben Eddic, melepaskan satu per satu kancing kemeja pria itu, dan menempelkan kedua bunga putih besarnya pada tubuh kekar Ben Eddic. A Qilla menggesek-gesekkannya hingga membuat napas Ben Eddic menderu kembang kempis menahan sesuatu pada bagian pangkal pahanya. Diikuti dengan perlahan namun pasti melepaskan pakaiannya.
"Kau tidak mau bermain denganku, Daddy Benhh? Aku sudah siap dengan semua seranganmu bahkan aku menunggu untuk dicambuk olehmu," ucap A Qilla mengecupi dada Ben Eddic bahkan tangan nakalnya telah berani membuka resleting celana Ben Eddic dan sedikit mengelus 'adik besar' Ben Eddic.
Ben Eddic menghela napasnya dan menelan air liurnya. Tidak salah jika Jo Nathan papanya sering menyebut A Qilla, wanita sundal. Karena A Qilla memang selalu mengekori Ben Eddic hanya untuk kegiatan panas seperti bercinta. Ben Eddic tak bisa menahan dirinya. Kini dicengkeramnya leher A Qilla, mendorong dan membanting wanita itu ke kasur. Ben Eddic tak bisa bermain lembut kali ini. Karena Ben Eddic memang selalu bermain kasar bahkan bercinta sekalipun ia menyukai kekerasan dalam permainannya.
Seluruh kamar Ben Eddic yang mewah itu kini dipenuhi desauan-desauan yang dapat didengar dari keluar kamar bahkan bunyi cambukan dari ikat pinggang Ben Eddic pun bisa didengar dari luar kamar. Aksi kekerasan dalam bercinta pun bukan menjadi rahasia lagi. Seluruh anggota Keluarga Klein bahkan asisten rumah tangga pun sudah tahu itu. Ben Eddic bahkan memiliki kamar eksekusi sendiri untuk melakukan tindakan kekerasan itu sendiri. Juga Ben Eddic tidak setengah-setengah, ia memiliki semua alat bantu bercinta itu.
***
Hingga pukul 22.30
Ben Eddic telah selesai dengan permainannya. Ia bahkan sudah lebih dari 3 kali klimaks. Ben Eddic sudah lelah kali ini. Bahkan A Qilla telah terlelap di dadanya, masih dalam keadaan tanpa kain sehelai pun.
Walaupun lelah, Ben Eddic bahkan tidak bisa tidur. Entah apa yang membuatnya terus mengingat gadis mungil tuli yang menjadi asisten rumah tangganya itu. Otaknya mereplay kembali bagaimana mata kanan dengan warna biru itu begitu membuatnya seketika menjadi tenang dan ia bahkan mengingat seseorang yang dulu membuatnya tenang. Ia merindukan ibunya. Sangat.
Lamunan Ben Eddic pun buyar ketika mendengar ketukan pintu. Ben Eddic menoleh dan ketukan pintu itu terdengar lagi. Ben Eddic menaruh kepala A Qilla di bantal, mengambil handuk dan kemudian di lilitkan dipinggangnya. Ben Eddic melangkah menuju pintu, dan membukanya.
Ia melihat gadis mungil itu lagi. Ben Eddic menghela napas, mengingat bahwa percuma jika ia berbicara, karena gadis mungil di depannya juga tidak akan mendengar. Tak lama, Te Ressa pun menyodorkan nampan dengan secangkir teh. Dan ada di note di atas nampan itu. Te Ressa memberikan nampan itu dengan menundukkan kepalanya, karena ia sangat takut pada Ben Eddic setelah mendengar semua cerita tentang Ben Eddic dari Mo Nica.
Ben Eddic dapat menghirup aroma teh itu. Itu wangi teh chamomile. Harum dan menenangkan. Ben Eddic mengambil nampan itu dan membaca note yang ada di samping cangkir itu.
[Anda pasti sangat lelah, Tuan. Minumlah teh ini. Ini akan membuat tubuh Anda menjadi relax. Semoga harimu menyenangkan.]
Ya itu pesan yang tertulis di atas note itu. Setelah itu, Te Ressa membungkuk hormat pada Ben Eddic sebelum akhirnya pergi meninggalkan Ben Eddic. Namun ketika Te Ressa akan pergi, Ben Eddic meraih lengan Te Ressa dan menahannya.
"Eh, Tunggu," ucap Ben Eddic yang menahan lengan Te Ressa. Te Ressa pun terdiam namun ia masih saja menundukkan kepalanya. Ia sangat takut saat ini. Walaupun ia tidak bisa mendengar apapun, tapi Te Ressa masih bisa melihat ekspresi wajah orang yang mencoba berbicara padanya.
Ben Eddic pun bergerak mendekat, menangkup salah satu pipi Te Ressa. Ben Eddic mengangkat kepala Te Ressa, agar Te Ressa mau menatapnya. Ben Eddic melihat mata biru yang menenangkan itu lagi. Ben Eddic benar-benar merasa bahwa rasa lelahnya itu pergi entah kemana. Cukup lekat Ben Eddic menatap kedua bola mata Te Ressa yang berbeda warna itu. Kedua warna itu seperti menggambarkan kehidupannya.
Tangan Ben Eddic yang tadinya berada di pipi Te Ressa, kini berpindah ke lengan Te Ressa. Ben Eddic mengelus lengan Te Ressa hingga turun ke tangan Te Ressa. Ben Eddic mengambil pulpen dari tangan Te Ressa dan kemudian menulis pesan di atas note pada bagian yang kosong, kemudian diberikan pada Te Ressa sebelum akhirnya Ben Eddic kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan yang tadi Te Ressa berikan.
***
Pukul 23.15
Te Ressa tak kunjung tidur, padahal ia cukup lelah namun matanya masih enggan untuk terlelap. Di tangannya tergenggam note yang diberikan Ben Eddic tadi. Kini ia mengangkat note itu, kembali membaca isinya.
[Tatap aku jika kau bertemu denganku. Aku tahu kau tidak bisa mendengarku. Tapi jika aku berbicara denganmu, tatap aku jangan menunduk. Aku ingin melihat matamu.]
Ya itu lah yang Ben Eddic tuliskan di dalam note itu. Te Ressa paham apa yang dimaksudkan oleh pesan itu. Tapi dari cerita bibi Mo Nica, Ben Eddic terkenal sangat tidak peduli dengan asisten rumah tangganya. Bahkan ia tidak peduli jika asisten rumah tangga menatapnya atau tidak, yang penting keinginan Ben Eddic terpenuhi. Tapi kini Ben Eddic terlihat aneh jika berdasarkan cerita dari Mo Nica. Aneh karena ia meminta bahkan seperti memaksa Te Ressa untuk selalu menatapnya ketika bertemu atau Ben Eddic berbicara padanya walaupun Te Ressa tak bisa mendengar.
Te Ressa mengangkat bahunya, dan kemudian menyimpan note itu di sebuah buku dan Te Ressa segera menidurkan tubuhnya di atas kasur.
***
Di sisi lain.
Ben Eddic baru saja menghabiskan secangkir teh chamomile yang Te Ressa berikan tadi. Ya selama ini tidak ada yang tahu kalau Ben Eddic suka teh chamomile. Selama ibunya pergi dari rumah, tidak pernah ada yang membuatkan dirinya teh chamomile itu lagi. Dan baru kali ini ada asisten rumah tangga yang membuatkannya.
Ben Eddic tersenyum sendiri mengingat kejadian hari ini. Semua terasa aneh namun ada hal lain yang Ben Eddic rasakan. Ketenangan dari sebuah sepasang mata yang unik menurutnya.
"Ada apa denganmu Ben Eddic? Kau sudah gila apa senyum-senyum sendiri? Kau bodoh. Tapi ini pertemuan yang menarik ... kurasa," ucap Ben Eddic yang berbicara sendiri dan masih saja senyum-senyum sendiri. Oke Ben Eddic would be crazy today.