Chereads / Aku (Bukan) Kupu-kupu Malam / Chapter 27 - Menjadi Wanita Panggilan Lagi?

Chapter 27 - Menjadi Wanita Panggilan Lagi?

"Bukankah ini yang kau inginkan, menjadi wanita panggilan yang murahan?" tanya Daffa namun ....

PLAK

Ini kedua kalinya Raline menampar Daffa karena dia tidak tahan lagi dimaki oleh pria itu.

"Aku bukan wanita panggilan!" bentak Raline.

"Lalu sebutan apa yang pantas untuk pekerjaan yang kau jalani saat ini?" pertanyaan Daffa membuat Raline terdiam.

Ya, mungkin tidak ada sebutan lain selain 'Wanita Panggilan' untuk apa yang Raline lakukan saat ini.

"Apa sebutan yang pantas untukmu?" tanya Raline lagi tapi Raline masih tidak ingin mengatakan apa-apa.

Daffa pun hanya menatap Raline yang terdiam, terlihat dengan jelas bibir Raline yang bengkak dan terluka karena perbuatannya tidak dipungkiri juga jika Daffa merasa bersalah telah berbuat sangat kasar kepada Raline. Tanpa mengatakan apa-apa, Daffa pun keluar dari kamar itu dan meninggalkan Raline sendirian di sana. Namun Daffa tidak lupa mengunci pintu dari luar karena tidak ingin Raline pergi lagi darinya.

Setelah Daffa pergi, Raline terduduk lemas di lantai dengan berurai air mata, dia menyandarkan dirinya di tepi ranjang dan memeluk lututnya, bibirnya yang terluka benar-benar tidak berarti apa-apa dengan apa yang dia rasakan saat ini, kenapa sekarang hidupnya semakin berantakan. Kenapa ibunya tega melakukan ini kepadanya?

Entah sampai kapan Raline menjalani semua ini, Raline hanya berharap ayahnya segera sembuh dan mereka bisa seperti dulu lagi, Raline semakin kencang terisak hingga dia kelelahan dan tertidur dalam keadaan seperti itu.

Sedangkan di ruang tamu, Daffa menyandarkan kepalanya sambil memijat keningnya, dia merasa sangat bingung dengan apa yang terjadi kepada dirinya, kenapa dia bisa lepas kendali seperti ini, kenapa dia begitu marah saat melihat Raline bersama pria lain, kenapa Daffa seperti orang kesetanan saat dia membayangkan Raline tidur dengan orang lain.

Apa ini yang dinamakan cinta? Daffa segera menepiskan semua itu, tidak mungkin dia jatuh cinta kepada Raline dalam waktu secepat ini.

"Aargh ... sial!" maki Daffa sambil mengacak rambutnya frustasi.

Daffa kembali teringat bibir Raline yang terluka lalu dia beranjak dari tempatnya untuk mencari kotak obat setelah itu Daffa masuk ke kamar lagi. Daffa menghela nafasnya dengan panjang saat melihat Raline tidur di lantai dengan posisi terduduk, Daffa menyimpan kotak obatnya di atas nakas setelah itu dia memindahkan Raline ke atas ranjang, lalu menyelimuti gadis itu.

"Badannya panas," gumam Daffa karena dia merasakan badan Raline yang sedikit panas lalu Daffa mengoleskan obat di bibir Raline bahkan di saat tidur pun, air mata Raline masih menetes, cukup lama Daffa terdiam memandang Raline yang tidur dengan pulas hingga suara Alvaro membuat Daffa harus keluar dari kamar itu.

"Pelan kan suaramu!" ucap Daffa dengan wajah datarnya kepada Alvaro yang sudah duduk di sofa.

"Apa yang terjadi?" tanya Alvaro setelah Daffa duduk di hadapannya.

"Tidak terjadi apa-apa," jawab Daffa.

"Kau pikir, kau bisa menipuku?" tanya Alvaro dengan alis yang terangkat, sedangkan Daffa hanya tersenyum sinis menanggapi pertanyaan pria itu.

"Di mana dia?" tanya Alvaro mengalihkan topik pembicaraan.

"Dia siapa?" pertanyaan Daffa membuat Alvaro menghela nafasnya dengan panjang.

"Raline, memangnya siapa lagi," jawab Alvaro.

"Di kamar, dia sedang tidur," ucap Daffa.

"Hmm ... kau sudah bermain dengan dia?" tanya Alvaro dengan mata yang memicing.

"Dasar bodoh!" maki Daffa.

"Katakan saja jika memang iya," ucap Alvaro.

"Berhenti memikirkan hal bodoh seperti itu, lebih baik kau segera pergi ke rumah sakit!" perintah Daffa.

"Ke rumah sakit untuk apa?" tanya Alvaro dengan kening yang berkerut.

"Lunasi semua biaya pengobatan ayahnya Raline," jawab Daffa.

"Rumah sakit mana?" tanya Alvaro lagi.

"Tak jauh dari sini," jawab Daffa lalu menyebutkan nama rumah sakit tempat di mana ayahnya Raline di rawat.

"Oke, tapi nanti setelah kau menjelaskan semuanya kepadaku," ucap Alvaro.

"Menjelaskan apa?" tanya Daffa yang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Alvaro.

"Haiish ... dia malah berpura-pura bodoh, apa alasanmu melakukan semua ini, Daffa!" jawab Alvaro.

"Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh milikku," ucap Daffa.

"Siapa yang kau maksud milikmu?" tanya Alvaro dengan alis yang terangkat namun hal itu membuat Daffa geram dan melempar Alvaro dengan bantal sofa.

"Bodoh, cepat pergi!" Maki Daffa.

"Aku akan pergi, tapi kau tetap berhutang penjelasan kepadaku." Alvaro pun beranjak dari tempatnya untuk pergi ke rumah sakit namun baru beberapa langkah dia keluar dari apartemen Daffa, dia kembali lagi.

"Ada apa lagi?" tanya Daffa dengan alis yang terangkat.

"Siapa nama ayahnya Raline?" tanya Alvaro.

"Aku tidak tau," jawab Daffa.

"Sebenarnya kau atau aku yang bodoh," ucap Alvaro dengan tatapan tajamnya.

"Kau!" ucap Daffa dengan santai.

"Ck ... aku harus mencari siapa," ucap Alvaro.

"Sudah aku katakan, kau cari ayahnya Raline!" ucap Daffa.

"Maksudku, siapa namanya," ucap Alvaro dengan gemas.

"Aku sudah katakan, aku tidak tau," ucap Tristan.

"Kau tanya kepada, Raline," ucap Alvaro.

"Dia masih tidur," ucap Daffa.

"Lalu bagaimana?" tanya Alvaro.

"Kau tanya saja ke bagian administrasi, ayahnya Raline ada di ruang ICU," jawab Daffa.

"Haiish ... jadi aku harus mencari semua pasien yang ada di ruang ICU," ucap Alvaro dengan gemas.

"Dasar bodoh, cukup tanya pasien wanita yang ada di ruang ICU," ucap Daffa.

"Whatever," ucap Alvaro lalu dia kembali keluar dari apartemen Daffa.

"Lakukan dengan benar, atau aku akan memecatmu!" teriak Daffa namun Alvaro tidak menghiraukannya.

Daffa kembali menyandarkan kepalanya di sofa lalu dia memejamkan matanya, tidak dipungkiri dia juga merasa sangat lelah setelah seharian bekerja di kantor, belum lagi tadi dia harus menghadapi orang-orang yang menurutnya tidak berguna.

"Ya ampun, aku belum melihat keadaan dia lagi," ucap Daffa lalu dia beranjak dari tempatnya untuk pergi melihat keadaan Raline lagi.

Ternyata, Raline tidur dengan gelisah sambil mengigau, bahkan keringat dingin bercucuran di tubuhnya. Daffa pun mengambil termometer yang ada di kotak obat, dia menghela nafasnya dengan panjang saat melihat berapa suhu tubuh Raline, ternyata Raline demam tinggi.

"Sorry," ucap Daffa dengan lirih sambil menatap Raline yang masih terpejam kini rasa bersalah yang semakin besar terasa sesak memenuhi dadanya lalu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Alvaro agar dia segera kembali bersama dokter.