Seorang pria keluar dari kamar mandi dengan memakai sehelai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Anindita memalingkan wajahnya saat melihat sesuatu yang menggembung di antara paha pria itu yang membuat ketenangan jiwanya terusik. Anindita menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos, pergumulan semalam cukup melelahkan untuk fisiknya.
"Kenapa dengan wajah sedih itu?"
Marvin mencengkeram dagu Anindita, dia tidak suka diabaikan, hal itu membuatnya merasa tidak nyaman. "Merusak mood ku saja."
Anindita menepis tangan pria itu, "Jangan sentuh aku!"
Anindita menggulung tubuh polosnya dengan selimut, susah payah berjalan memunguti pakaiannya yang berserakan lalu pergi ke kamar mandi. Marvin melihat tempat tidur, bercak darah menjadi saksi pergumulan panas mereka tadi malam.
Air shower mengguyur tubuhnya, Anindita merasakan perih di beberapa bagian tubuh. Apa yang terjadi semalam adalah suatu kesalahan. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Hanya karena patah hati, Anindita melampiaskan semua emosinya pada satu pria yang baru dikenalnya.
"Apa yang sudah kulakukan? Ini sebuah kesalahan. Aku sudah melakukan kesalahan!"
Wanita muda berusia 18 tahun itu keluar dari kamar mandi setelah waktu yang cukup lama membersihkan diri, aroma makanan tercium dari indera penciumannya. Makanan dan minuman tersaji di meja. Dan pria tampan yang sudah berpakaian lengkap itu juga disana, duduk di sofa sedang menatapnya.
"Makanlah dulu, setelah itu aku akan mengantarmu pulang." ucap pria berusia sekitar 27 tahun tersebut.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!"
"Semalam kamu begitu penurut."
"Diam! Apapun yang terjadi semalam, anggap saja tidak pernah terjadi!" teriak Anindita.
Anindita mencari tasnya di tempat tidur, tapi yang dia temukan adalah bercak darah. Sekelebat bayangan permainan panasnya dan pria itu kembali mengusiknya. Suara langkah kaki terdengar, ketika Anindita berbalik Marvin sudah berdiri dihadapannya.
"Mau apa kamu? Jangan mendekat!" Anindita terlihat ketakutan.
"Mana mungkin aku menganggap itu tidak pernah terjadi, aku sudah mengambil keperawananmu!"
"Lalu, apa kamu akan menikahiku?"
Marvin tersenyum, "Tidak mungkin aku menikahi anak kecil. Kamu masih sekolah 'kan?"
"Bagaimana kalau aku hamil?"
"Lahirkan bayi itu dan aku akan membiayai seluruh kebutuhannya."
Sebenarnya dengan siapa Anindita berurusan, pria itu bukankah terlalu santai dan egois.
Sudah cukup, dalam situasi ini Anindita memang yang bersalah. Dia tidak ingin berhubungan dengan pria itu lagi.
"Ini memang kesalahanku. Apapun yang terjadi padaku, aku tidak akan menuntut apapun padamu. Karena itu jangan pernah bertemu lagi. Kalau kita tidak sengaja bertemu diluar sana anggap saja tidak saling kenal!"
Anindita mengambil tasnya, dia harus pergi dari tempat ini. Marvin dengan cepat meraih tangan wanita itu dan mendorongnya ke tempat tidur.
"Wow … Kamu sangat baik, melepas pria yang melecehkanmu!"
"Biarkan aku pergi, dasar binatang! Kamu hanya bisa menyakiti perempuan!"
"Kamu menyebutku binatang?" Jemari Marvin dengan lembut mengusap bibir ranum Anindita, "Bibir ini suka sekali berbicara kasar."
Sebelum Anindita membalas ucapan Marvin, tiba-tiba saja bibirnya dicium dengan lumatan lembut. Tetapi semakin lama ciuman itu berubah kasar. Ketika Anindita larut dalam manisnya kecupan, Marvin mengakhiri ciumannya.
"Berharap ini berlanjut, hm?"
Anindita menatapnya sayu, seperti ada yang hilang meski dia memang sudah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam satu malam.
"Kamu yang sedang patah hati dan bersedih sedang mencari pelampiasan, aku bisa membantumu. Mari kita bersenang-senang."
Cukup lama Anindita terdiam, penawaran yang diucapkan Marvin terasa seperti angin segar yang menghilangkan rasa sesak di dadanya.
"Se-sekali lagi … Hanya sekali," ucap wanita muda itu dengan gugup.
Marvin tersenyum senang, "Tenang saja, kali ini aku akan bermain dengan lembut."
Anindita menutup kedua mata, untuk kedua kalinya dia menyerahkan raganya pada pria yang kini menindih tubuhnya. Air mata keluar dari sela-sela mata. Perlahan tapi pasti rasa sesak di dada mulai menguap digantikan oleh kenikmatan.
.
.
Nafas terengah dan keringat bercucuran dari kulit tubuhnya, Anindita berlari di trotoar jalan. Setelah aktifitas panasnya dengan pria itu, Anindita berhasil menyelinap keluar mengabaikan rasa perih diantara kedua kakinya. Anindita pergi ke apotek terdekat.
"Saya ingin membeli pil kontrasepsi darurat," ucap Anindita dengan suara pelan, ".... Untuk kakak saya," lanjutnya.
Entah kenapa tapi tatapan petugas apotek melihatnya dengan pandangan aneh. Mungkinkah hanya perasaannya saja orang lain bisa mengetahui kesalahan yang dia lakukan tadi malam.
Anindita menyegerakan pergi dari Apotek itu, setelah membeli minuman dia duduk dibangku taman. Dua butir pil kontrasepsi darurat sudah ditelannya.
Saat ini perasaannya campur aduk, kemarahan, kesedihan, malu, dan putus asa. Beberapa pertanyaan muncul di dalam hati, tentang eksistensinya di dunia bila semua selalu merendahkannya lalu kenapa dia dilahirkan?
Bayangan masa lalu mulai menyeruak keluar.
"A-aku menyukaimu, Ryo!"
"Apa kamu masih perawan?"
"Eh?!"
"Aku tidak suka gadis jelek dan gendut sepertimu. Meski kamu berpenampilan polos seperti ini tapi aku tahu ada sisi liar dalam dirimu." Mario tampak puas dengan ekspresi wajah Anindita yang mulai memucat, "Kamu sama sekali bukan tipeku. Gadis sepertimu tidak layak untuk Mario!"
Seketika tawa meledak disekitar mereka, tawa dari beberapa murid yang kebetulan mendengar pernyataan itu. Anindita menunduk semakin dalam, pernyataan cintanya telah gagal. Tidak, meski dia berani melakukannya Mario akan tetap menolaknya.
Apa yang kau lakukan ketika orang asing tiba-tiba menyatakan cinta padamu?
Mario tidak terlalu mengenal gadis yang tiba-tiba muncul di depannya dan menyatakan cinta padanya. Mario menganggap jatuh cinta hanya membuang waktunya saja. Pertemuan pria dan wanita, mereka menjadi teman lalu saling menyatakan perasaan, pada akhirnya hubungan mereka akan berujung di ranjang. Mario tidak akan merasa nyaman pada sesuatu yang mengekang kebebasannya seperti itu.
Tatapan jijik terlihat dari pandangan mata pemuda itu. Seorang gadis 16 tahun, merupakan teman sekelasnya baru saja mengutarakan perasaan. Tentu saja pemuda tampan yang menjadi idola di sekolah tersebut akan menolaknya.
Dibalik kesempurnaan, prestasi dan wajah yang tampan, Mario menyimpan sisi liarnya. Dia tidak suka melihat wajah putus asa, tapi Mario jadi sedikit tertarik dengan makhluk imut dihadapannya. Entah kenapa dia jadi ingin merusak wajah polos itu.
Si gadis hanya bisa menundukkan kepala, air mata mengalir tanpa bisa ditahannya lagi. Hatinya terasa sakit menerima penolakan itu terlebih sekarang mereka menjadi tontonan gratis penghuni sekolah. Dia tidak marah karena penolakan cinta, tapi hinaan yang melibatkan kelemahan fisik lebih terasa menyakitkan.
Mario berbisik di dekat telinga gadis itu, "Jadilah cantik dan datanglah padaku. Goda aku, kalau kamu berhasil kamu akan mendapatkanku."
Mario bisa melihat sinar harapan di wajah si gadis setelah mengatakan 'kalimat penyemangat'. Dia pergi dari tempat tersebut meninggalkan suara tawa yang masih terdengar di belakangnya.
Anindita hanya bisa menatap punggung tegap Mario yang kian menjauh. Masih ada kesempatan untuknya. Mario memang sudah menolaknya, tapi ini baru awalnya saja gadis itu berjuang. Bila Mario menginginkan perubahan pada dirinya maka dia harus berubah.
Tiba-tiba seseorang mendorong Anindita hingga gadis itu tersungkur ke lantai, lututnya tergores karena benturan yang cukup keras.
"Aah … Aduh!"
"Dasar si itik gendut dan buruk rupa pengganggu tidak disangka kamu seberani ini!" seru salah satu teman sekelas Anindita yang bertagname Elisa Wiraguna.
"Aku sudah curiga sejak lama, beberapa hari ini si itik selalu mengawasi Mario. Sekarang dia berani mendekati Mario-mu, Elisa. Kita harus apakan gadis gendut ini?" ucap gadis di sebelah kanan Elisa dengan nada ancaman, bertagname Celine Aurora.
"Boleh aku tampar dia? Tanganku sudah gatal nih!" gadis disebelah kiri Elisa menyela, bertagname Isabella.
Ketiga gadis itu adalah fansnya Mario, mereka dikenal sangat posesif pada idolanya. Tapi Mario hanya milik Elisa, begitulah kata mereka. Tidak akan membiarkan seorang pun gadis mendekati sang pangeran. Bila itu terjadi hukuman akan diberikan.
"Jangan lakukan kekerasan, beri si gendut ini hukuman lain saja. Pastikan juga dia menjauhi Mario!" perintah Elisa, kedua temannya menyeringai menatap Anindita yang gemetar ketakutan.
Kenapa tidak ada satu orangpun yang menolongnya? Apa karena Elisa adalah putri tunggal kepala sekolah, jadi mereka takut padanya.
"Ini hukumanmu!" Isabella mengambil tempat sampah dan menyiramkan isinya ke Anindita, "Kamu itu sampah, jadi sampah bau sepertimu harus menjauhi Mario!"
Anindita menangis tanpa suara, beberapa sampah mengotori rambut dan seragamnya. Setelah melakukan kekejian itu mereka bertiga pergi. Beberapa murid lain yang melihat menunjukkan banyak ekspresi, ada yang kasihan, ada yang mencibir, dan ada yang hanya diam saja tidak peduli.
Keberanian gadis bernama Anindita tentang pernyataan cintanya pada Mario tidak bisa dilupakan oleh murid-murid SMA itu. Hidupnya mulai berubah sejak dia menyatakan cintanya. Bukan pujian yang diterima tapi menjadi bahan lelucon dan hinaan, padahal satu minggu sudah berlalu.
Selama beberapa hari Anindita sering diganggu, pelaku utamanya adalah para gadis fansnya Mario. Mereka tidak rela Mario--nya diganggu terlebih oleh gadis buruk rupa seperti Anindita. Mulai dari ban sepeda yang dirusak, bangku sekolah yang dicoret, berkata kasar dan serangan fisik.
"Mario itu milik Elisa!"
"Mati saja sana! Dasar pengganggu!"
Anindita meringkuk di sudut kamar mandi, dengan seragam yang basah kuyup dan terdengar isak tangisnya yang lirih.
Dengan perlahan Anindita melangkah masuk ke rumahnya. Mama yang melihat anaknya pulang dalam keadaan berantakan terlihat terkejut. Tapi Anindita menjawab dengan senyuman.
"Aku kurang hati-hati Ma, tadi jatuh terpeleset menabrak tempat sampah karena kebetulan lantai licin."
"Astaga, hati-hati sayang. Kalau begitu mama akan protes ke kepala sekolah!" seru Mama dengan penuh amarah.
"Jangan Mam, yang salah itu aku, seharusnya 'kan bisa lebih hati-hati! Lebih baik mama beri aku makanan, aku sangat lapar!" Anindita berusaha membujuk mamanya.
Mama tersenyum sambil mencubit pipi tembem Anindita, "Okay, tapi kamu mandi dulu lalu makan!"
Di sekolah, Anindita selalu dihina tetapi di rumahnya dia hidup bagaikan tuan putri. Anindita, gadis sederhana, bila teman-teman sekolahnya mengetahui dari keluarga mana dia berasal pasti tidak akan ada yang berani mengganggunya.
Kenapa mencintai seseorang bisa sesakit ini?
Perundungan yang dialami Anindita di sekolah membuatnya mengalami trauma. Anindita hanya mengurung diri dikamarnya, menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Tubuh yang kelebihan lemak, wajah penuh jerawat, rambut panjang yang selalu dikuncir, kacamata tebal, penampilan yang sangat buruk. Seekor itik buruk rupa ingin terbang tinggi, itu hanyalah khayalan anak-anak.