Chereads / Kunikahkan Suamiku Dengan Wanita Lain / Chapter 3 - Pendarahan Hebat

Chapter 3 - Pendarahan Hebat

Bersama para perawat yang sigap membawa Kiara ke UGD, Juan berjalan tergesa sembari mendorong brankar. Ia sama sekali tak memedulikan langkah kaki sampai terantuk kaki sendiri berulang kali. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana agar Kiara sampai dengan cepat ke ruang di mana mereka akan melakukan persalinan.

Tak sedetik pun pandangan Juan beralih dari wajah istrinya yang telah memucat dan sayu. Air mata Kiara mengalir deras sebab merasa sakit juga takut. Takut kalau-kalau dirinya itu tidak dapat bertahan. Sebab, melahirkan yang ia dengar adalah sebuah perjuangan di antara hidup dan matinya seorang ibu. Kiara ingin selamat, dan juga ingin menyelamatkan anak dalam kandungannya. Namun, berada dalam kondisi demikian, ia merasa sedikit putus asa.

Beda dengan Juan yang justru makin kencang berdoa. Satu per satu doa ia langitkan, agar senantiasa Tuhan mengabulkan setidaknya beberapa di antara doanya yang sama itu. yakni keselamatan istri juga buah hatinya.

"Kamu kuat, kamu bisa, Sayang. Jangan takut karena aku aka nada di sini untukmu. Kamu juga harus berjuang untuk aku dan anak kita," bisiknya, meski tak yakin kalau Kiara masih dapat mendengar apa yang ia katakana dengan baik, atau justru tidak sama sekali saking berkurangnya fokus. Juan tak peduli. Ia hanya ingin istrinya tahu, kalau dirinya amat sangat menginginkan keselamatan mereka.

Perjalanan mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Namun, perawat tak mengizinkan Juan masuk untuk membersamai Kiara. Ia diberhentikan ketika mereka sampai di ambang pintu. Katanya, "Bapak bisa tunggu selama kami melakukan tindak persalinan."

"Tapi, Sus."

"Maaf, Pak. Sudah aturannya demikian. Mohon tunggu dan berdoa, ya, Pak." Perawat itu langsung menutup pintu begitu berankar di mana Juan terbaring lemah di sana telah dibawa masuk.

Bergeming, Juan hanya bisa terpaku melihat pintu di hadapannya tertutup rapat dengan sempurna. Ia meremas rambut sembari mendongak juga menghela napas panjang. Sungguh, perasaannya amat sangat tidak keruan.

"Juan," ucap Kinarsih begitu dirinya sampai di depan ruang persalinan. Ia menyentuh bahu anak muda berambut sedikit gondrong itu, sebagai upaya menguatkan. "Nggak apa-apa. Yang sabar," katanya lagi.

Pun dengan Bagus, yang seketika memeluk Juan. Ia menepuk punggung pemuda yang lebih dari setahun tinggal di kontrakannya itu. "Jangan putus asa. Berdoa saja agar Tuhan melancarkan persalinan istrimu," katanya.

"Iya, Pak. Makasih karena sudah mengantar aku sama Kiara ke rumah sakit. Aku nggak tau kalau nggak ada kalian. Secara, aku dan Kiara kan jauh dari keluarga. Astaga!" serunya seketika. Dia mengingat sesuatu.

"Kenapa, Juan?" tanya Kinarsih.

"Aku belum menghubungi keluarga."

"Ya, sudah cepat telepon mereka. Beri tahu keadaan Kiara serinci mungkin."

Juan pun mengangguk dan segera menjauh dari ibu pemilik kontrakannya itu, sembari merogoh ponsel. Namun, ia yang panik sehingga buru-buru tanpa mengingat apa pun lagi selain keselamatan Kiara , seketika melupakan ponselnya yang tergeletak begitu saja di meja kamar.

"Bu, ponselku ketinggalan." Juan menoleh, dan seketika kembali menghampiri Kinarsih dan juga Bagus.

"Ya, ampun, Juan. Terus, apa kamu ingat nomornya?" tanya Kinarsih, seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya. Ia hendak meminjamkan ponselnya itu.

"Nggak, Bu. Aku Cuma ingat nomor Kiara aja selama ini."

"Astaga. Terus gimana dong?"

"Apa aku pulang dulu, ya, Bu? Kalau nggak ngabarin keluarga, aku takutnya disalahin."

"Bagusnya, sih, gitu. Biar Kiara, Ibu dan Bapak yang jagain. Tapi, kamu harus hati-hati. Jangan melamun," ucap Kinarsih, memperingatkan Juan.

"Aku kan nggak bawa motor, Bu. Paling naik ojek."

"Ah, iya bener. Ya, sudah buruan sana balik dulu. Naik ojek cepet kok bolak-balik. Biar urusan administrasi, Ibu yang urus dulu juga."

Mendengar apa yang dikatakan Kinarsih, Juan langsung menangis haru. Sekali lagi, dirinya merasa tertolong akan kehadiran mereka dalam hidupnya. "Makasih, Bu. Kalau gitu aku berangkat dulu," katanya, yang setelah itu langsung bergegas pergi. Meski sebenarnya berat meninggalkan Kiara sendirian di dalam ruangan. Namun, menghubungi dua keluarga sama penting baginya.

**

"Eh, itu kayaknya suara Bang Juan, deh. Kok, dia udah balik?" Lusi yang masing terjaga di hadapan sebuah laptop pun menajamkan indra pendengarannya, sebab baru saja mendengar suara motor berhenti di depan kontrakan. Kemudian disusul suara Juan yang kerap dipanggil Abang olehnya itu.

"Ya, biarin, sih." Rania menimpali temannya itu, masih sambil merebahkan dirinya di ranjang. "Mungkin ada yang ketinggalan atau apa, kan nggak tau," sambungnya.

"Iya, sih. Tapi gue kepo, ah." Lusi pun langsung beranjak bangun dari duduknya yang nyaman. Lalu bergegas membuka pintu. Ia memang tak salah dengar. Sebab, ada Juan di depan kontrakan. "Bang!" sapanya.

"Eh, iya?" Juan yang baru saja hendak menaiki motor tukang ojek di hadapannya pun urung. Ia menoleh melihat gadis cantik di hadapannya.

"Abang kok, udah balik? Mbak Kiara gimana? Udah lahiran?" tanya Lusi, detail. Ia bahkan sampai menggaruk kepalanya yang tak gatal, karena tiba-tiba merasa malu. "Aku kepo, ya? Hehe, Cuma mau tau aja kok sama keadaan MBak Kiara," sambungnya.

"Nggak apa-apa. Wajar ajalah kamu kepo. Kalian kan lumayan dekat, kan? Tapi, istri abang belum lahiran. Abang pulang karena ada yang ketinggalan. Ini," jawabnya sembari menunjukkan ponsel yang memang masih ia genggam.

"Ha, iya. Um, kalau gitu … hati-hati di jalan dan titip doa buat Mbak Kiara, ya. Semoga Allah melancarkan persalinannya."

"Aamiin, aamiin. Makasih, ya. Abang permisi dulu kalau begitu. Assalamualaikum," balas Juan seraya melempar senyum. Senyum yang selalu membuat Lusi berdebar.

Sontak, Lusi memegang jantung hatinya begitu Juan beranjak pergi dengan ojeknya. Ada sesuatu yang membuat jantungnya itu berdebar hebat. Meski mungkin, apa yang dirasakannya itu sangatlah lancang dan tak tahu diri, Lusi memang menyukai Juan.

"Emang, ya … godaan terberat itu adalah ketika mempunyai rasa pada seseorang yang tak lagi sendiri. Tak tahu diri, tapi rasa ini datang begitu saja seiring waktu berjalan."

Sembari tersenyum kegirangan, Lusi pun kembali masuk ke kontrakan. Ia yang kesenangan, seketika bersikap layaknya cacing kepanasan. Berjoget, loncat-loncat, bahkan sampai melakukan salto di ranjang.

"Astaga, Lusi! Lu kerasukan jin mana, sih?" teriak Riana yang merasa terganggu oleh ketidakjelasan temannya itu. Ia bahkan melempar Lusi dengan bantal, tepat di kepala.

Namun, Lusi justru makin tergelak. "Barusan gue ngobrol bentar dengan Bang Juan. Dia senyum gitu masa. Dan senyumnya tuh, duh. Manis banget!"

"Mau manis kek, apa kek. Bodo amat gue. Lha, suami orang juga!" balas Riana, realistis. Ia sama sekali tak suka berkhayal, apalagi sampai mengidam-idamkan suami orang. Baginya, hubungan terbaik adalah dengan mereka yang jelas-jelas hanya miliknya saja. Bukan menjadi yang kedua, ketiga, apalagi keempat.

"Ish! Emang nggak bisa liat gue seneng lu mah, Ri." Wajah Lusi yang tadinya semeringah pun akhirnya cemberut. Ia bahkan langsung duduk bersila di samping Riana. "Tapi memang, sih. Kayaknya gue udah keterlaluan. Secara, Mbak Kiara sedang berjuang untuk tetap hidup demi menyelamatkan anaknya."

"Nah, itu tau. Jadi ya ngapain suka Bang Juan yang jelas-jelas saying dan cinta banget sama Mbak Kiara. Lu, kalau sampai jatuh cinta sama Bang Juan, gue jamin sengasara batin lu."

"Dih! Doanya kejem banget!" Lusi merajuk, sehingga membuat kedua belah sudut bibirnya mengerucut.

"Bukan gue yang doain. Tapi, bininya!" balas Raina sambil tergelak. "Dah, ah … gue mau masak mie. Lapar!"

"Mau!" Lusi langsung menyengir lebar, sembari mengedipkan mata. Berharap. Riana mau memasak mie untuknya juga, seperti biasanya. Sebab, lahir dari keluarga berkecukupan membuatnya menjadi seorang gadis manja, yang bahkan tak bisa memasak barang sebiji telur.

"Hilih! Lagaknya aja suka sama Bang Juan. Masak mie aja gosong!"

"Huaaa!" Riana langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Ia pura-pura menangis sembari menyusupkan wajahnya di antara bantal dan guling.

Riana tak peduli. Mulai hari ini, ia tak kan lagi memasak mie untuk Lusi sekalipun temannya itu menyogok dengan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Biar mandiri!" batinnya sembari melengos pergi.

**

Tiba di rumah sakit, Juan masih mendapati situasi yang sama. Kiara sedang dalam penanganan dokter ahli kandungan, dan sementara Kinarsih beserta suaminya menunggu dengan resah di ruang tunggu, setelah sebelumnya sibuk mencari darah untuk tranfusi Kiara. Sebab waktu yang terlewat sudah lebih dari satu jam. Namun, mereka belum juga mendengar suara tangisan bayi.

Juan yang baru saja selesai menghubungi keluarganya pun duduk di samping Bagus, sembari menangkup wajah dengan kedua tangan. Dalam hatinya terucap doa demi doa yang sama, agar Tuhan mendengar dan segera mengabulkan doa-doanya itu. Debar pada jantungnya kian berdentum keras. Getar pada tubuhnya kian membuat lemas. Pun dengan air mata yang seketika keluar semakin deras. Ia tak sanggup menerima pemikiran negative yang sudah dengan tidak sopan, hadir dalam benaknya.

Namun, detik di mana Juan mengulang doa-doanya dalam waktu lebih dari tiga jam, pintu ruang bersalin pun terbuka. Seorang dokter baru saja keluar dari sana, hendak memberi kabar sehingga membuat Juan, Bagus dan Kinarsih berdiri dari duduknya. Mereka langsung menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok?" tanya Juan, tak sabar.

"Alhamdulillah, anak Bapak lahir dengan selamat. Tapi …," jawabnya, menggantung barang beberapa detik. "Tapi, istri Bapak mengalami pendarahan hebat dan harus segera dilakukan operasi pengangkatan rahim."

Seperti tersambar petir di siang bolong, Juan yang sedari tadi menunggu dengan cemas langsung merasa linglung. Ia mendadak lemas, sehingga kedua kakinya tak dapat menopang tubuh dengan baik.

"Allah … cobaan apa lagi ini? Belum cukup kah?" batinnya seraya menangkup wajah.