PROLOG
Di bawah purnama. Di alun-alun sebuah desa yang nun jauh di sana, orang-orang tengah berpesta. Gendang ditabuh. Seruling dimainkan. Tubuh-tubuh ringkih nan keriput dimakan usia meliuk-liuk membentuk tarian yang menjijikkan.
Mereka menari, bernyanyi dan tertawa di dalam kepayang yang memabukan. Tangan-tangan keriput itu terangkat ke atas. Mereka merapalkan puja-puji dalam bait-bait lagu yang mereka nyanyikan untuk menyampaikan rasa syukur atas rezeki yang besar, menurut mereka.
Riuh rendah suara mendadak senyap kala sebuah gong dibunyikan. Dari dalam sebuah rumah, seorang perempuan digiring menuju alun-alun. Tubuh perempuan itu dibalut baju pengantin merah bersulam renda emas. Sunting permata bertengger di kepala. Pakaiannya gemerlap namun kontras dengan wajah si perempuan yang pucat pasi. Wajahnya tak berias, juga tak berpulas gincu. Tatapannya kosong bagai raga tanpa nyawa. Perempuan itu berjalan lamban menuju tahta pelaminan. Dengan patuh, dia mematung, duduk bersanding di sana sendirian.
Puluhan pasang mata menatap si Perempuan di pelaminan. Ada yang memelotot dengan mulut menganga. Ada pula yang menelan ludah karena tak kuasa menahan dahaga. Kehadiran si pengantin perempuan di pelaminan mempermainkan birahi mereka yang telah mencapai puncak kepala. Hasrat mereka #bergelora
Seseorang di antara mereka kembali memukul gong. Pesta kembali dilanjutkan. Hingar kembali memecah, bukan lagi karena nyanyian atau tarian, riuh rendah suara perhelatan berganti menjadi kecap, kunyah, teguk dan reguk. Manusia-manusia uzur itu menyantap hidangan dengan lapar. Meja yang penuh hidangan bisa tandas seketika. Mereka tak mau berlama-lama menunggu untuk menyantap hidangan selanjutnya. Mata mereka kembali melesat ke arah si pengantin perempuan.
Setelah prosesi menyantap hidangan yang penuh kerakusan, seseorang naik ke atas pelaminan. Dia menggiring tubuh si pengantin menuju ranjang putih yang ditaburi kelopak mawar. Penganten itu mematung saat Sunting permata dilepas dari kepalanya. Baju merah bertatah emas yang membungkus tubuh dilepaskan lapis demi lapis sampai tak ada yang bersisa satu helai benang pun di badan. Tubuhnya di baringkan. Orang-orang renta yang kelaparan mendengung gelisah menatap perempuan telan*jang. Deru napas mereka menderu, bagai serigala diburu napsu.
Tubuh-tubuh keriput yang ringkih itu membentuk lingkaran mengelilingi ranjang putih tempat tubuh perempuan berbaring kaku. Seseorang lelaki tua yang berdiri di garis lingkaran berjalan mendekat ke arah ranjang. Lelaki tua itu menjulurkan lidah untuk menyapu air liur yang menetes di bibirnya. Napsu binatangnya tak terbendung lagi. Helai demi helai pakaian lusuhnya ditanggalkan dari tubuh yang sudah menciut termakan usia. Dia meniti ranjang, bergerak-gerak di atas tubuh si perempuan. Setelah puas bermain, dia mulai melakukan ritual intinya. Dia menindih, satu kali hentak, tubuh tua itu mengerang penuh kenikmatan. Ranjang itu berderit-derit mengikuti ayunan birahi di atasnya, hingga akhirnya deritan pilu menjijikan itu berhenti. Si ringkih yang sudah kekenyangan menggerayangi si perempuan, turun dari ranjang dengan sempoyongan. Kemudian terhempas menghantam tanah.
Tubuh ringkih lainnya berjalan mendekati ranjang. Seolah tahu, ini adalah gilirannya. Dia berjalan dengan napas memburu. Secepat kilat dia menanggalkan pakaiannya, kemudian menindih tubuh si perempuan. Ranjang itu kembali berderit. Lenguhan penuh kenikmatan menguap ke langit Bunian. Silih berganti, tubuh-tubuh ringkih mengambil jatah giliran. Mereka bergantian menindih si perempuan yang terbujur kaku. Malam riuh berubah saru. Iblis-iblis kekenyangan melepas napsu.
Si Perempuan yang mati rasa, menatap nanar ke arah purnama. Raganya yang kosong telah digilir oleh iblis-iblis lapar tanpa jeda. Meski tak merasakan perih, dia tetaplah manusia lemah yang memiliki titik lelah. Perempuan itu menutup mata. Dia terkulai setelah dera luka menyobek raga. Dari pangkal paha, darah mengalir membasahi ranjang putih yang membisu.
Perempuan-perempuan renta yang ada dilingkaran mulai mengerang. Mata mereka membelalak melihat tubuh-tubuh ringkih yang terkulai di tanah setelah mendapat jatah. Lambat laun tubuh itu berubah bentuk, semula ringkih, kini perlahan menunjukkan otot-otot yang menegang, wajah mereka berubah rupawan, berubah tegap dan kekar dengan kulit yang kencang.
Mereka kembali muda setelah ritual nista di bawah purnama penuh kampung Bunian yang tak kasat mata.
***
Padang, 2012
"Aku cuma pergi tiga hari, bukan untuk selama-lamanya."
Perempuan itu terngiang akan ucapannya semalam. Bibirnya tertarik membentuk senyum geli saat mengingat wajah tegang kekasihnya yang dirundung kabut khawatir. Jatuh cinta kadang membuat seseorang menjadi lemah. Bahkan mendadak lemah untuk menerima jarak yang sama sekali tak berarti.
Namanya Deriana. Dia perempuan yang keras kepala. Berpetualang ke alam bebas adalah cara terbaik baginya untuk menjaga kewarasan. Menikmati terjalnya gunung. Menerjang sangarnya jeram sungai dan mengeksplorasi dalamnya dasar lautan kelam.
Perempuan itu pencandu aktifitas di alam.
***
Hawa dingin menyelinap melalui celah jendela. Langit di luar masih gelap. Awan hitam menggantung di langit subuh. Sedini itu, Derry, panggilan akrab perempuan itu sudah terbangun. Bersiap diri untuk pergi. Satu per satu barang bawaannya dikemas ke dalam Drybag Ransel setinggi pinggang.
"Tenda, cek! Sleeping Bag, cek! Headlamp, logistik, baju selam, snorkle … hmmm …. Okey, komplit!" Perempuan 28 tahun itu bergumam puas saat memeriksa kelengkapan isi ransel. Dia berkacak pinggang sambil mengingat-ingat apa lagi perlengkapan yang harus dia bawa.
"Semoga cuaca hari cerah."
Derry membatin sambil melirik jam di dinding. Pukul setengah lima pagi.
Saat sibuk berkemas di kamar, di mendengar ada suara ketukan di pintu depan. Ketukan itu membuat Derry berlari tergesa keluar kamar, menuju ke depan. Di dalam temaram ruang tamu, dia mendapati pintu yang sudah terbuka dan sesosok bayangan hitam tinggi besar berdiri mematung di depan pintu. Derry dengan sigap meraih sakelar lampu. Setelah ruangan itu bermandikan cahaya, dia dapat melihat dengan jelas, siapa sosok yang sedang berdiri di situ.
"Erick!" Derry berteriak dengan kesal. Kedatangan Erick sepagi ini mengagetkannya. Pria itu tetap mematung dalam bisu. Menyilangkan kedua lengannya ke dada. Menunjukan mimik wajah yang tidak suka.
"Jadi pergi?" tanya Erick, datar dan ketus.
Derry menghela napas sejenak. Dia mencoba menata mood agar tidak melontarkan kalimat yang mengundang perdebatan sengit sepagi ini. Seminggu belakangan, dua orang itu terlibat diskusi yang tidak berkesudahan. Erick menentang keras rencana Liburan Derry. Dan Ini sangat tidak biasa. Erick mendadak super protektif, terlebih sejak mereka bertunangan sebulan yang lalu.
"Aku sudah terlanjur bilang 'Iya' sama teman-teman. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput." Derry menjawab dengan tenang.
Erick melepas desahan napas kasar. Dia sadar, Derry adalah manusia paling keras kepala yang pernah dikenalnya di dunia. Dan bodohnya, keras kepalanya itu yang membuat dia tergila-gila setengah mati kepada Derry.
Erick sudah 5 tahun mengenal Derry. 3 tahun sebagai atasannya di kantor dan 2 tahun sebagai kekasihnya. Dua tahun lamanya mereka menyimpan hubungan mereka agar tidak diketahui oleh orang-orang di kantor. Dan sebulan yang lalu, Erick memberanikan diri memasangkan cincin di jemari manis kiri Derry. Akhirnya mereka membuka hubungan mereka ke publik. Konsekuensinya, salah satu dari mereka harus resign, karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak mengizinkan hubungan emosional sesama rekan sekerja.
Derry mengalah.
"Aku ngga mau mengulang alasanku kenapa aku ingin liburan. Anggap saja itu hadiah untukku yang sudah berkorban untuk hubungan kita," desis Derry.
"Tapi, kamu kan bisa memilih liburan kayak orang normal, Der. Ke Jogja kek, Singapore kek."
"Ach … mainstream," sergah Derry cepat.
"Ke alam itu berbahaya, Der. Aku takut kamu akan …."
Erick tidak melanjutkan kalimatnya. Kekhawatirannya terhadap Derry, malah membuatnya terkesan cengeng dan berlebihan.
Derry tergelak. Bukannya ingin meremehkan. Jauh sebelum kenal Erick, liburan seperti ini sudah menjadi pengisi waktu luang Derry. Bahkan, setelah menjadi kekasih Erick pun, Derry masih berpetualang bersama teman-temannya dan Erick tidak pernah melarang. Tapi mengapa kini berbeda? Apa karena sebentar lagi Derry akan menjadi milik Erick seutuhnya? Hingga kebebasan Derry sudah berada di dalam genggamannya?
Wajah Derry mulai mengkerut. Ekspresinya kini membuat Erick takut. Dia takut kekangannya justru membuat hubungan mereka tidak sehat. Erick akhirnya melunak.
"Okey, aku izinkan. Karena percuma kita terus berdebat. Tapi … please! pulang dalam keadaan utuh."
Mendengar kalimat itu. Derry lansung menghambur ke pelukan Erick. Kakinya terpaksa berjinjit untuk menyejajarkan wajah mereka. Derry mengalungkan lengannya di leher Erick. Aroma wangi maskulin tercium dari rambut Erick yang masih basah.
"Aku janji akan pulang dalam keadaan utuh. Cuma, gosong sedikit ngga apa apa, yah?" jawab perempuan itu dengan senyum manis yang tertarik lebar. Dia mengabaikan raut khawatir yang tidak kunjung sirna dari wajah Erick.
"Tiga bulan lagi kita akan menikah. Dan aku pun bersedia resign demi hubungan kita. Nanti, setelah resmi menjadi nyonya Erick Sanjaya. Palingan, petualanganku akan sebatas kasur dan pasar sayur. Apa kamu ngga kasihan sama aku? So, please, izinin aku. Ini akan menjadi petualangan terakhirku."
Derry memelas. Dia menatap mata Erick lekat-lekat. Mencoba mencari isyarat adanya kesepakatan di sana.
Lama saling mengadu pandang. Erick mendekatkan wajahnya ke wajah Derry, bau mint yang segar tercium dari mulut Erick. Wajahnya terus mendekat, terus dekat tanpa sekat. Kini, lumatan lembut itu memagut bibir bawah Derry. Derry memejamkan mata, tenggelam di dalam aliran sengat asmara yang melena. Namun, tiba-tiba, pagutan itu harus merenggang. Derry melepas pelukan. Terdengar, suara klakson mobil memekak di luar. Memecahkan ruang kasmaran mereka.
Jemputan telah datang.
**
Derry melambaikan tangan ke arah Mobil Hitam yang kini terparkir di depan rumah. Satu per satu, penghuni mobil itu menghambur keluar. Hawa dingin pagi itu berubah hangat saat lima sahabat itu berpelukan erat. Ada rindu yang telah lama memekat. Banyak cerita yang ingin mereka kenang. Nyaris setahun lamanya mereka terpisah karena kesibukan masing-masing. Sekarang, untuk merayakan pertemuan itu, mereka memilih berpetualang kembali bersama-sama seperti waktu dulu.
Derry memeluk tubuh Miranda dengan erat. Wanda pun ikut merapat. Aji dan Riko, hanya bisa menatap, ketiga manusia di depannya itu melepaskan rindu yang sudah teramat sangat.
"Terakhir kita ketemu waktu tracking di Bukit Nobita, kan?" celetuk Derry kepada Mira, sapaan akbrab untuk Miranda. Mira mengangguk dengan antusias. Mengingat petualangan menyenangkan mereka beberapa waktu lalu.
"Kangen gw sama lu, Der. Meski sering Video Call, tetap aja kangen. Kangen ngetrip bareng," ucap Wanda dengan suara Baritonnya yang kemayu.
Derry menoleh ke arah Riko. Tidak peduli ada Erick di situ. Dia menghambur ke pelukan Riko kemudian menarik tubuh Aji untuk terlibat di dalam dekapan.
"Lu masih ingat waktu kita di kejar tawon saat tracking ke Hutan Nyarai?" tanya Derry dengan tawa terbahak.
"Masih dong. Celana gw robek. Terpaksa minjem legging ungu Kak Wanda." Kenangnya sambil terbahak.
"Lu apakabar, Ji." Derry mengulangi lagi pelukannya. Kali ini, Aji mulai nyaman dipeluk Derry. Awalnya dia ragu karena melihat Erick berdiri memperhatikan mereka.
"Gw baik, kak," jawab Aji sambil melepas pelukan.
"Thank you, yah waktu itu. Lu udah gendong gw dari puncak Gunung Marapi sampai turun," kenang Derry. Dia teringat, saat Aji harus menahan beban tubuhnya saat menuruni Gunung Marapi. Derry cidera betis, karena nekad mendaki gunung tanpa kesiapan fisik.
"Masih ingat aja, lu," pungkas Aji.
Derry menepuk bahu Aji. Senyum bangga terulas di bibirnya. Dia sangat menyukai pria yang terpaut umur enam tahun di bawahnya itu. Anaknya baik, sopan, juga manis. Meski masih muda, Aji sangat bisa diandalkan saat bertualang di alam liar.
***
"Titip manusia keras kepala itu, yah," pinta Erick di jendela mobil samping kemudi, dia berbicara kepada Riko.
"Kebalik Bang. kita-kita yang nitip keselamatan sama kak Derry," sahut Aji yang duduk di kursi sebelah Riko.
"Keselamatan terjaga, tapi gw ngga bisa menjamin kehormatan, lo, yah," balas Derry dari bangku belakang.
"Iya, lu rada ganjen!" Seru Wanda menimpali candaan Derry dan Aji.
"Ganjen-ganjen gini 'kan emang idola para wanita, kak," sambut Miranda sambil menepuk pundak Aji yang duduk di depannya. Aji cengengesan karena merasa dibela.
"Ok Bro. don't worry, kita saling jaga, kok," kata Riko.
Riko menghidupkan mesin mobil. Erick melangkah mundur menjauhi mobil yang akan melaju membawa kekasihnya pergi. Riko sengaja menjalankan mobil dengan perlahan. Tangannya terangkat ke atas memberi isyarat perpisahan kepada Erick yang kini mematung di tengah jalan.
Dari kaca jendela yang sengaja dibuka, separuh tubuh Derry menjulur keluar. Tangannya bergerak ke kiri ke kanan di udara. Melambai ke arah Erick sebagai salam perpisahan. Posisinya terus begitu sampai mobil yang ditumpanginya menghilang di penghujung jalan.
"Cieee … cieee … ada yang bakal LDR-an nih," celetuk Miranda.
"Pisah cuma berjarak 100 KM disebut LDR? Lebay!" balas Derry cengengesan.
"Eheeemmmmm … Sebentar lagi, teman kita ini bakal melepas masa lajang, loh," ucap Riko.
"Ya dong. Udah mau deadline," balas Derry.
"Emang lu mau, Ko. Sahabat kita ini malam mingguannya di puncak gunung, melulu." Wanda menimpali.
"Ya enggak sih. Takutnya udah ngga mau jalan lagi sama kita-kita kalau sudah kawin," ucap Riko.
"Bisa di atur lah kalau itu," jawab Derry semangat meski meragu karena tingkah Erick yang mulai protektif.
Nyebelin sih.
***
Matahari mulai meninggi. Langit terlihat membiru. Cuaca cerah akan membuat petualangan mereka menyenangkan hari ini, karena kali ini mereka memilih berwisata di pantai, melepas candu akan kegiatan eksplorasi alam bawah laut dengan snorkeling dan Freediving.
Mobil mereka terus melaju membelah jalanan tanpa hambatan. Mereka sudah menempuh separuh perjalanan. Saat berkendara, ada saja celoteh gila mereka saat mengenang kembali petualangan-petualangan seru yang telah lalu. Obrolan mengalir dalam derai canda tawa Bercampur dengan hentakan musik RnB milik Rihanna yang memenuhi kabin mobil.
"Berapa jam menuju tempat itu, Ko?" tanya Derry. Di sela-sela obrolan mereka.
"Dua jam-an lah," jawab Riko dari balik kemudi.
"Lo kenapa tahu tempat itu sih?"
"Dari Blog seseorang," jawab Riko enteng.
"Dari blog? Cuma dari Blog dan lu nekat bawa kita-kita ke sana?"
Seketika senyap. Mereka saling pandang-pandangan. Bahkan suara tawa yang cair tadi berubah beku. Sementara Riko, merasa tersudut oleh ekspresi teman-temannya yang terkejut karena mendengar kenyataan bahwa tujuan liburan mereka hanya berdasarkan informasi blog.