Silas menggeleng ragu. Wajahnya digerus oleh kecemasan tiada tara. "Kemarin kau sampai alami patah tulang rusuk, Astraea. Pendarahan di lambungmu, belum lagi tulang pinggulmu, tak kuat menahan janinnya yang terus menguat. Kenapa kau begitu keras kepala? Tetap pertahankan kehamilan penuh resiko ini? Kau harus alami semua kesakitan itu."
Astraea tersenyum lembut, "Jean segalanya untukku. Saat dewi cahaya telah memberitahukan semuanya, menggariskan takdirku dan takdir Jean. Aku enggak perlu mempertimbangkannya. Aku telah memutuskannya, bahwa aku pasti pertahankan kandunganku. Walau nantinya aku enggak bisa bersamanya dan melihatnya tumbuh. Kau yang harus ada di sisinya. Itu tugasmu. Jangan pernah menyesalinya, Silas. Ini darah dagingmu. Sudah sepatutnya kita sebagai orang tua melakukan apa pun untuknya. Bukankah kau enggak sabar ingin jadi seorang ayah?"
Silas mengangguk lesu, tertegun sendu. "Aku ingin sekali melihat putriku."