Dengan langkah lunglai, Clarissa berjalan meninggalkan taman belakang, tempat di mana kedua orang tuanya sedang bertengkar. Ia melewati ruang tengah di rumahnya, lantas berhenti di meja tempat ia menyimpan kalung pemberian kakeknya. Wajahnya dipenuhi kesedihan dan kekhawatiran sekarang. Dengan mengumpulkan segala kekuatan yang ia miliki, ia memberanikan diri untuk mengambil kalung itu dan memasangnya di leher jenjang miliknya. Air matanya pun perlahan mengalir sempurna membasahi pipi cubbynya.
Clarissa mengeluarkan buku yang ada di dalam tasnya. Merobek selembar kertas dan menulis catatan untuk keluarganya.
Untuk sementara aku akan tinggal bersama dengan temanku. Jangan mencariku dan jangan menghubungiku. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Untuk rencana pernikahan dengan Tuan Muda Jerome, aku harus memikirkannya dulu. -Clarissa.
Setelah menempelkan catatannya di dinding, Clarissa bergegas keluar dari rumahnya. Segera berangkat ke kampus, dengan menggunakan sepedanya ia mengayuh dengan kencang. Melampiaskan kekesalannya akan semua hal buruk yang sedang menimpa hidupnya. Keringat dan air mata pun bercampur menjadi satu. Berjatuhan seperti dedaunan yang gugur di pinggir jalan.
Hari ini Clarissa tidak seceria biasanya. Clarissa juga tidak konsentrasi sejak mata kuliah pertama sedang berlangsung. Pikirannya benar-benar masih terfokus pada kejadian tadi pagi di rumahnya.
Teman-temannya pun mulai menyadari tingkah Clarissa yang tidak seperti biasanya hari ini. Tidak seceria hari-hari sebelumnya. Padahal Clarissa terkenal sebagai anak yang sangat ceria, yang selalu penuh dengan canda dan tawa.
"Cla."
"Clarissa Bella Buzcer, jika kamu tidak cepat membaca soal-soalnya bagaimana caramu bisa menyelesaikan tugas dari Pak Beni. Jangan bilang kamu mau di hukum hari ini."
"Cla, ini Tasya lagi ngomong. Kok kamu ngelamun terus sih dari tadi."
"Clarissaaa!" teriak ketiga temannya dengan kompak.
Dan seketika Clarissa tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung ia berkata asal. "Ha, kenapa, kalian udah mau berangkat yah? Ayok!"
"Cla, ada apa denganmu hari ini sih. Kok enggak seperti biasanya. Kamu lagi mikirin apa. Ada masalah ya?"
"Tidak, tidak ada apa-apa kok Jes. Semuanya baik-baik saja," jelasnya sambil tersenyum tanggung.
"Eh bentar deh. Apaan tuh ribut-ribut." Jessi yang menyadari keributan yang ada di depan kelasnya langsung berlari keluar. Ia pun memastikan apa yang sedang terjadi di depan kelasnya.
Pandangan Jessi pun langsung tertuju pada koplotan geng Jerome. Dengan wajah ceria, Jessi berlari masuk ke dalam kelasnya lagi, lalu menyeret ketiga temannya agar ikut keluar melihat pemandangan Jerome yang sedang berjalan di tengah lapangan kampus. Clarissa pun akhirnya ikut terseret keluar.
Sesampainya di depan kelas Clarissa, Jerome dan juga temannya sedang berdiri di lapangan yang hanya berjarak 10 meter dari posisi Clarissa dan juga teman-temannya saat ini. Mata Jerome melihat ke arah Clarissa yang tengah berdiri di samping teman-temannya. Sementara itu, Clarissa yang malu langsung menunduk, mencoba menghindari tatapan tajam dari Jerome.
"Hei Jerome melihat ke sini, Apa mungkin dia terpesona denganku. Aku rasa dia menyukaiku juga," ucap Famita dengan semangat.
"Hei, hentikan!" sebuah kemoceng mendarat tepat di kepala Famita, Tasya mencoba menyadarkan temannya dari mimpi indahnya di siang bolong. Pukulannya pun membuat Famita meringis kesakitan.
"Dia melihatmu karena kamu menyemburkan air di wajahnya bodoh," protes Tasya.
"Ha? bukan aku kali. Itu perbuatan Clarissa." Famita yang kesal karena dituduh langsung menunjuk Clarissa dengan telunjuknya.
Mendengar hal itu membuat Clarissa segera menutup wajahnya dengan menggunakan buku gambarnya sendiri.
"Hei kamu jangan menunjukku seperti itu dong. Nanti Jerome melihatku kan bisa kacau," ucap Clarissa mulai takut.
"Kalian tau, orang-orang berkelas seperti mereka itu selalu bersosialisasi satu sama lain. Sangat tidak mungkin mau berteman dengan kita, apalagi jatuh hati. Ingatlah itu. Jadi berhenti bersikap konyol." Jessi menyadarkan teman-temannya yang terlihat geer karena Jerome menatap ke arah mereka.
"Ahh tapi dia melihatku Jes, Ahhh Tuan Muda Jerome."
Diantara kehebohan temannya, Clarissa justru mencoba melarikan diri dari tempat itu. Pikirannya benar-benar kacau dan Clarissa tidak ingin terjebak dalam lingkaran teman-temannya yang riuh itu. Dengan cepat ia berlari menuju kamar mandi. Di sanalah Clarissa akhirnya menumpahkan segala kesedihannya yang telah berusaha ia tahan sejak tadi. Masalah pernikahan benar-benar membuatnya pusing ditambah lagi tadi pagi masalah pertengkaran kedua orang tuanya pun menjadi beban pikirannya saat ini.
***
"Hei lihatlah perempuan-perempuan itu. Bukankah mereka bertingkah sangat berlebih. Seperti tidak pernah melihat leleki tampan saja," ucap Rouben memperhatikan perempuan yang sedang berteriak histeris melihat keberadaan mereka di tengah-tengah lapangan kampus.
"Oh iya, Jer kamu udah lihat berita hari ini nggak?"
"Belum. Kenapa memangnya?"
"Katanya Keyla masuk 20 besar dalam kompetisi modeling tingkat internasional. Aku lihat dia makin cantik dan seksi saja. Pantas saja kamu begitu tergila-gila padanya. Kamu masih berhubungan baik dengannya kan?"
Jerome menjadi terdiam setelah mendengar nama Keyla. Ingatannya kembali saat ia terakhir kali bersama dengan kekasihnya itu. Hingga lamaran yang ditolak oleh Keyla pun masih dapat ia ingat dengan sangat jelas. Ingatan-ingatan itu kini kembali menghantuinya.
"Jerome?"
"Ha? Emm bisa enggak kalian biarin aku sendiri dulu," ucap Jerome dengan tegas sambil berlalu pergi meninggalkan tempat itu.
***
Clarissa memeriksa jam tangannya, dan seketika ia sadar dengan tugas kuliah yang harus ia kumpul sekarang. Dengan cepat ia pun menyeka air matanya dengan tisu. Berusaha untuk menenangkan pikirannya lalu melangkah keluar meninggalkan tempat itu. Namun tangannya tiba-tiba saja ditarik oleh seseorang sehingga membuat Clarissa berbalik dan melihat ke arah lelaki itu.
"Maaf, tapi saya harus kembali ke kelas. Bisakah kamu melepaskan tanganku."
Jerome tidak menghiraukan permintaan Clarissa. Ia malah menariknya hingga jarak mereka semakin dekat. Membuat Clarissa heran dengan tingkah aneh Jerome kali ini.
"Ada apa lagi sekarang Tuan Muda? Saya harus kembali ke kelas sekarang."
"Kau bisa bicara santai denganku. Tak perlu sekaku itu. Bukannya kamu sudah tahu yah."
"Maksud kamu tahu tentang apa?"
Jerome tidak menjawab. Matanya kembali menatap Clarissa. Memperhatikan wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya berhenti pada sebuah kalung yang tengah dipakai oleh Clarissa. Kalung pemberian kakeknya di masa lalu. Sebuah simbol untuk perjanjian pernikahan mereka berdua.
Clarissa menyadari tingkah Jerome yang sedang memperhatikan kalung yang sedang dipakai olehnya. Dengan cepat ia menyembunyikan kalung itu di balik bajunya. Namun sudah cukup terlambat baginya karena Jerome sudah terlanjur melihatnya.
"Jadi kamu begitu sangat ingin menjadi seorang istri dari penerus perusahaan William Ains-Soft Grup. Dasar perempuan miskin. Sepertinya kamu sudah sejak lama memimpikan diri menjadi seorang tuan putri. Good job."
Wajah Clarissa berubah menjadi merah padam. Emosi telah menguasai dirinya. Perkataan Jerome benar-benar melukai hatinya. Namun bibirnya mendadak kaku. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Hei gadis konyol, ada apa sebenarnya denganmu? aku harap kamu tidak menyetujui pernikahan ini. Kamu belum tahu saja kesulitan apa yang akan kamu hadapi jika berada dalam keluargaku. Terlalu banyak aturan dan itu akan membuatmu tidak bisa bertahan. Tapi aku tidak bisa memaksakan kehendakku kepadamu juga. Aku hanya memberi tahumu saja, jangan sampai kelak kamu akan menyesali keputusanmu itu. Jadi kalau bisa tolak saja rencana pernikahan itu."
"Ak.." baru saja Clarissa akan menjawab, Jerome sudah berlalu pergi meninggalnya seorang diri.
Clarissa menjadi kepikiran dengan kata-kata Jerome tadi kepadanya. Namun sungguh di dalam hati Clarissa, tidak pernah sedikit pun terlintas niatnya untuk menyetujui pernikahan itu. Tapi jika melihat pertengkaran kedua orang tuanya tadi pagi sepertinya akan membuatnya terpaksa menyetujui permintaan orang tuanya. Semuanya dilakukan Clarissa untuk menyelamatkan keluarga yang sangat ia cintai dan sayangi. Bukan karena alasan ingin menjadi tuan putri. Terlebih hanya untuk menjadi tuan putri bagi Jerome yang begitu arogan.
Clarissa membuka buku gambar yang ada di tangan kanannya. Merobek gambar pangeran yang tak berwajah yang selama ini ia miliki. Dengan kesal ia merobek gambar itu. Lalu menginjaknya dengan kasar. "Dasar pangeran gila. Aku sungguh membencimu. Sangat membencimu. Bahkan ketika aku mati sekalipun aku akan tetap membencimu."