"Cepat lakukan sesuatu untuk kebaikan Putramu, Pria Brengsek! Aku lelah berpura-pura tidak tahu semua kesedihannya. Anak itu menangis setiap malam karena perlakuan dan ejekan teman-temannya di sekolah."
Seorang perempuan membentak lawan bicaranya melalui sambungan telepon. Suaranya terdengar menggema di sebuah kamar berukuran 2x3 meter.
"Dia tidak diterima di sini."
Jawaban lirih dari seberang sana membuat si Perempuan berang bukan main.
"Kau pikir ia diterima dengan baik di sini, Sialan?!"
Lagi. Si Perempuan membentak keras. Kesal dengan kata-kata yang diucapkan lawan bicaranya.
"Aku mohon, bersabarlah sedikit lagi, Rose. Setidaknya sampai pelatihan Para Bangsawan dimulai, hanya tinggal beberapa minggu saja. Tolong jaga dia untukku."
Si Perempuan menghela napas panjang dan bersiap menghardik lagi.
"Ini semua akibat dari kesalahanmu, Brengsek Sialan! Seandainya Kau bisa mengontrol hasrat binatangmu itu, hal ini tak akan terjadi. Setidaknya, anak itu tak akan pernah lahir dan merasakan kejamnya dunia ini."
Setelah itu sambungan telepon terputus.
***
"Hei, Little Boy, Kau yakin ingin sekolah? Aku bisa menelepon Gurumu dan mengatakan kalau kau sakit."
Penawaran yang terdengar sangat menggiurkan, tetapi tidak. Seorang Alan tidak ingin bolos sekolah.
"Tidak. Terima kasih tawarannya."
Alan menolak dengan sopan. Hari ini ada pelajaran Bahasa Indonesia: pelajaran yang paling disukainya. Lagi pula, jika ia memilih bolos maka anak-anak nakal itu akan menganggapnya pengecut.
"Baiklah, terserah Kau saja. Aku sudah menawarkan."
Wanita yang sedang sibuk dengan masakannya itu terlihat mengangkat bahu.
"Ini, sarapanlah," kata wanita itu sambil menyodorkan satu piring berisi nasi goreng dengan taburan bawang goreng di atasnya. Menu sederhana di pagi hari.
"Terima kasih, Bibi Mawar," kata Alan.
"Jangan panggil aku bibi," ketus wanita bernama Mawar itu. "Aku belum terlihat tua," lanjutnya.
Penampilan Mawar memang modis dan sangat cantik untuk ukuran perempuan berusia 37 tahun. Wajahnya masih seperti gadis berumur belasan tahun, itulah mengapa ia menolak dipanggil Bibi oleh keponakannya.
"Baik, Mawar." Alan mengangguk saja dan mulai sibuk dengan sarapannya. Ia harus mempersiapkan banyak energi untuk menghadapi harinya di sekolah nanti.
"Aku bekerja sampai malam, masak apa pun yang Kau inginkan ketika pulang nanti, oke?"
Mawar berpesan. Alan yang masih sibuk dengan sarapannya hanya balas mengangguk. Sudah terlampau biasa dengan semua kehidupan yang ia jalani dari dulu bersama sang Bibi.
***
"Bule! Lihat siapa yang datang, guys! Bule KW."
Sebuah teriakan menyambut Alan ketika ia baru saja memasuki kelasnya. Pelakunya tentu saja Galang Mahendradriasta, siswa yang mendeklarasikan dirinya sebagai musuh Alan sejak hari pertama sekolah.
"Anak jadah lebih tepatnya."
"Iya benar, haram jadah pembawa sial."
Dua antek-antek Mahen: Vero Galunggung dan Kusuma langsung menyahut, mereka juga ikut-ikutan mem-bully Alan supaya bisa berteman dengan Mahen.
"Dua penjilat busuk!"
Alan membatin sambil terus melangkah menuju bangkunya, pria itu sama sekali tidak menghiraukan apa pun perkataan ketiga orang tersebut.
Beberapa murid yang sudah hadir di kelas juga hanya menonton saja. Tidak ada yang berani menegur perbuatan Mahen dan teman-temannya. Anak juragan ikan paling kaya, siapa yang berani berurusan dengannya? Semua memilih diam dan cari aman.
Alan baru saja duduk di bangkunya ketika ia mendengar Mahen mulai berteriak lagi.
"Satu Sekolah juga tahu kalau ia anak haram. Hasil hubungan Mawar dan pria bule di tempatnya bekerja. Jalang sekali."
Alan mengepalkan kedua tangannya begitu mendengar Bibinya dibawa-bawa. Tidak masalah mereka menghinanya, tetapi menghina Bibi Mawar adalah hal yang paling Alan benci.
"Wah, si Bule mulai marah. Lihat! Tangannya terkepal," kata Vero sambil menunjuk ke arah Alan.
Semua yang ada di sana langsung memerhatikan. Ada yang menatap kasihan, tetapi lebih banyak yang menatap tidak peduli.
"Mau apa? Mukul? Berani Lo sama Mahen?" tanya Kusuma yang mulai mendekat dan duduk di depan Alan.
Alan duduk di bangku pojok kiri paling belakang. Tidak ada satu pun murid yang mau duduk bersamanya. Tentu saja itu karena perbuatan Mahen.
"Tarik napas dan hembuskan, Alan. Abaikan anak-anak sok jago ini."
Alan mengingatkan dirinya sendiri dan berhasil, perlahan kepalan tangannya mulai mengendur dan emosi di dadanya berangsur hilang.
"Pengecut!" kecam Kusuma begitu melihat Alan yang hanya diam saja. Pria itu berpikir jika Alan pasti sangat takut dengan Mahen sampai tidak berkutik seperti itu.
"Tahan! Bibi Mawar sangat sibuk dan tidak ada waktu jika harus dipanggil ke Sekolah."
Kata-kata itulah yang berhasil menahan Alan untuk tidak berbuat hal yang akan ia sesali nantinya.
"Bule KW, selain pengecut ternyata juga bisu!" Mahen berseru diikuti oleh suara tawa murid-murid yang memihaknya.
Seperti biasa, hari