"Jadi kapan?" Kening milik Raka, Irza, Laskar, dan juga Sakti terangkat naik saat mendengarkan apa yang dikatakan oleh Sella barusan.
Ya kelima orang yang telah berusia kepala tiga, telah memiliki kehidupan mereka masing-masing, tapi tetap saja berada di satu atap yang sama yakni Oscar Geng.
Perkumpulan geng motor yang usianya saat ini telah mencapai hampir 2 dekade.
"Apanya yang kapan?" Apa yang Laskar pertanyakan itu sudah lebih dari cukup untuk mewakili tanya para anggota purna Oscar.
Iya, mereka memang adalah anggota purna yang mana saat ini Oscar Geng telah memiliki generasi keduanya, dengan King Mahesa Juliardo yang menjadi orang nomor satunya.
"Officially the queen of Oscar?" tanya Sella sambil melirik para sahabatnya satu per satu, tapi hanya ada satu yang mendapatkan sorot mata paling tajam dari Sella. Dia adalah panglima tempur Oscar pada masanya, Irza Adisankara Rianto.
"Ya kok tanya aku, tanya bapaknya noh," ucap Laskar sambil membawa kedua manik matanya juga pada Irza. Untuk kali ini Irza memang telah menjadi sebaik-baiknya titik atensi para sahabatnya terhenti.
"Kok aku sih?" tanya Irza sambil menunjuk dirinya sendiri dan ekspresi wajah yang Irza perlihatkan pun sudah lebih da cukup untuk membuat para sahabatnya tidak mengerti dengan pola pikir yang sedang mereka miliki dalam benak masing-masing.
"Lah yang jadi papanya Vega 'kan kamu, Za. Jadi yang paling berhak untuk hidup dia adalah kamu."
Tak perlu diperdalam, Irza sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan mereka akan berlabuh.
"Dengan kata lain yang jadi queen selanjutnya adalah Vega, begitu?" Sorot mata Irza hanya tertuju pada Laskar.
"Yes … hanya Vega kandidat kuta untuk menjadi the next queen of Oscar." Tegas, satu kata itulah yang pantas untuk menganggambarkan bagaimana cara Laskar menjawab apa yang sedang dipertanyakan oleh Irza barusan.
"Tapi seharusnya kamu nggak lupa kalau kita masih punya satu kandidat lagi selain Vega." Para anggota purna Oscar sontak saja saling bertukar pandangan satu sama lain kala mendengar apa yang dikatakan oleh Irza.
Jika ada yang tidak bisa untuk mereka tebak maka itu adalah Irza Adisankara Rianto dan semua sifat keras kepala yang dia miliki.
"Memangnya kita punya kandidat lain selain Vega?" Itu bukan Laskar, tapi Sakti Anggara Lesmana. Seorang anggota inti Oscar yang bergabung lewat jalur musibah.
"Punya," jawab Irza tegas dan tak ingin lagi ada bantahan dalam bentuk apa pun itu.
"Siapa?!" Mungkin sedari tadi inilah yang pantas untuk mereka pertanyakan. Mungkin Sella, Laskar dan juga Sakti sudh kehilangan nyali untuk berhadapan dengan Irza, tapi tidak dengan Raka. Dia justru balik bertanya dan kali ini dengan sorot mata yang sangat tajam.
"Adhisty Amelia Sanjaya," jawab Irza tanpa adanya rasa ragu yang menyertai pikirannya saat ini.
"Kok jadi Dhisty sih?" Bukannya tak ingin putrinya itu menjadi ratu di geng motor yang selama ini menjadi tempat ternyaman dia untuk pulang setelah rumah.
"Secara garis keturunan Dhisty memang memiliki potensi besar untuk menjadi ratu di Oscar. Tapi tetap saja Vega yang paling berhak atas hal tersebut."
Irza memang telah menduga kalau apa yang menjadi keputusannya ini tidak akan diterima dengan mudah oleh para anggota purna yang lainnya.
"Vega adalah anak dari mendiang Berlian Aldita, ratu Oscar pada masanya dan juga panglima tempur Oscar yaitu kamu, Za." Irza mengusap wajahnya kasar saat dia tidak bisa berpikir jernih tentang semua yang dikatakan oleh Sella.
"Tapi nggak mungkin Vega menjadi ratu di dua istana sekaligus, Sel." Sebelah alis milik Sella terangkat naik saat mendengar apa yang dikatakan oleh Irza barusan.
"Maksud kamu—"
"Maksud aku Vega sudah dikukuhkan untuk menjadi ratu dari Bimasena," jelas Irza dengan penuh penekanan dan menatap para sahabatnya satu per satu.
"Kenapa Bimasena sih?" tanya Raka yang sedikit meninggikan intonasi suaranya.
"Kenapa kamu bilang? Karena Eca dan Vega harus dipisahkan. Ingat jangan sampai apa yang terjadi pada kita di masa lalu juga terulang pada mereka di masa sekarang. Aku nggak parno, hanya sedang lebih mawas diri."
Sangat sulit untuk mengubah keputusan yang telah diambil oleh Irza. Itu bukanlah hal yang mudah. Dan juga tak ada yang mau mengatakan itu mudah.
"Dari apa yang terjadi dahulu, kita seharusnya sadar kalau mereka tidak mungkin bersama."
"Bentar deh, Za. Tapi Dhisty juga punya iman yang berbeda dengan Eca 'kan?" Irza tak butuh waktu lama dia lantas saja mengangguk saat mendengar apa yang Sakti katakan.
"Iya Dhisty dan Eca memang memiliki iman yang berbeda layaknya Vega dan Eca. Tapi ada bedanya, Ti. Dhisty tidak punya perasaan dengan Eca, sedangkan Vega dia punya itu dan cukup besar."
Irza sedikit memberikan jeda atas apa yang hendak dia katakan, karena yang barusan saja dia katakan itu sudah berat apalagi ini nantinya.
"Aku sampai mikir apa kurangnya Atlas sih di mata Vega?" Ada helaan napas yang sangat berat saat Irza bertanya seperti itu pada para sahabatnya.
Sayangnya apa yang Irza pertanyakan itu tidaklah mendapatkan jawaban apa-apa dari para sahabatnya.
"Kamu aja nggak tahu apalagi kita, Za." Kedua pangkal bahu milik Irza merosot turun tanpa ada permisi terlebih dahulu saat dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Sakti.
"Jadi kamu sekarang gimana, Kar?" Kali ini yang menjadi titik atensi milik para anggota purna Oscar hanya tertuju pada Laskar Putra Sanjaya selaku papa dari Adhisty Amelia Sanjaya, calon kandidat yang mungkin akan menempati posisi yang sebelumnya diduduki oleh Sella.
"Apa yang buat kamu ragu sih, Kar? Selama ini Dhisty juga dekatkan ama anggota Oscar. Apalagi Eca dan Ganes." Laska tidak punya niat sama sekali untuk membantah apa yang dikatakan oleh Irza, itu memang kenyataan yang tak perlu diragukan lagi.
"Tapi kamu juga harus ingat, Za. Kalau Oscar hanya tidak tentang Eca juga tidak tentang Ganes."
"Ada banyak kepala di dalam Oscar. Aku nggak mau Dhisty menjadi ratu hanya berdasarkan keputusan para purna. Angkatan kedua juga harus dilibatkan di sini tanpa ada yang terlewatkan."
Tegas? Mungkin satu kata itu yang pantas disematkan untuk Laksar saat ini.
"Aku mau Dhisty menjadi ratu dengan pilihan aklamasi. Ini jaman revolusi, kita sudah pantas untuk mengeluarkan pendapat kita."
"Iya, aku telepon Eca sekarang!" tutup Irza kemudian.