Mengenang 5 gaya iconic Gillian di panggung runway!
Ditinggal Gillian, saham LOUREN anjlok selama tiga tahun terakhir.
7 skandal Gillian, designer LOUREN yang katanya dipecat dari perusahaan.
Menunggu kembalinya Gillian ke panggung Runway.
🥀
🥀
🥀
'Ada apa denganmu! Designmu terasa hambar! Tengik! Singkirkan semua sampah-sampah ini dari mejaku!'
Apa yang orang-orang LOUREN itu katakan memang benar. Aku pun menyadarinya. Aku telah memang mengalami kemerosotan dalam hidupku. Gairahku menghilang entah kemana. Bahkan setelah tiga tahun mencoba mengembalikan motivasiku, aku hanya semakin tersesat.
'Gill, kau keren!'
'Jangan takut, aku selalu mendukungmu.'
Aku telah kehilangan muse-ku, sumber inspirasiku. Kusadari aku menjadi setengah gila sejak kepergiannya.
Rokok, alkohol, obat-obatan, semua itu hanya membantuku sementara.
Pada akhirnya aku akan mengingatnya lagi. Aku akan menangisinya lagi seperti orang bodoh. Aku akan menyesali perbuatanku lagi, dan aku akan berangan-angan lagi. Kalau dulu aku bisa memperbaiki semuanya, akankah dia menggenggam tanganku sampai sekarang?
"Darren ...."
Menyedihkan.
Aku tidak bisa melihat masa depanku di terowongan yang gelap ini.
🥀
🥀
🥀
'Kau punya gaya yang unik!'
Darren.
Aku bertemu dengannya di bangku universitas. Laki-laki tinggi dengan binar mata menggemaskan yang selalu kutemukan ketika jurusan kami bertemu di pameran. Dia akan berdiri paling depan untuk memperhatikan busana rancanganku.
'Kau tau? Kau sangat hebat!'
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku saat dia memujiku.
Lalu dia mulai menemuiku secara acak. Dari pameran-pameran singkat, workshop, sampai pertemuan tak terduga di kelas sejarah perkembangan seni.
Waktunya tidak singkat sampai akhirnya dia berani menyatakan perasaannya padaku.
'Kurasa aku mencintaimu, seperti aku mencintai semua hal yang kau ciptakan.'
Saat itu aku yang belum memahami cinta, menjeratnya dalam kesalahpahaman.
Kupikir sex adalah cinta. Melakukan sex artinya menyalurkan cinta. Sesederhana itu.
Maka aku menerima perasaannya.
Aku yang mengajaknya pertama kali.
Kala kami melakukannya, aku masih mengingat wajah bingungnya di kepalaku.
'Cinta tidak selalu seperti ini, Gill.'
Aku tertawa sampai perutku kram. Aku berusaha menutupi kerendahan diriku dengan menyebutnya sebagai laki-laki yang polos. Untukku yang tidak punya apa-apa, aku hanya bisa menyerahkan tubuh ini sebagai hadiahnya.
Kemudian banyak orang yang mengatakan hal sama kepadaku. Dan aku memberikan lagi tubuhku pada mereka. Tidak ada keuntungan. Aku hanya merasa perlu memberikan timbal balik dari cinta yang mereka berikan.
Sebagaimana mereka menyebutku sebagai Muse mereka. Bagiku, itu adalah tingkatan tertinggi dari mengagumi seseorang.
Bahwasanya aku takut mereka pergi jika aku tidak memberikan mereka apa-apa. Aku takut perasaan diinginkan ini hilang.
Aku takut menjadi tidak berharga.
Aku takut ditinggalkan.
'Kau melakukannya lagi? Kau tidur dengannya lagi?!'
Suatu hari, Darren menangis. Badannya gemetar. Tangannya mengepal dalam. Aku duduk di kursiku, diam, mencengkram kaleng soda sampai penyok. Aku terperangah. Itu pertama kalinya aku melihat Darren sekacau ini.
'Apa aku saja tidak cukup?!'
'Kau tidak mengerti, Darren.'
'Ya! Aku tidak pernah mengerti! Kau tidak pernah bisa dimengerti!'
Dia tidak memukulku. Dia memukul pintu apartemenku sampai buku-buku jarinya berdarah. Aku sangat kaget sampai tidak bisa menahan kepergiannya.
Selepas pertengkaran kami, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Mengapa dia tidak mau mengerti kondisiku. Mengapa hanya aku yang bersalah di sini? Aku pun berjuang menemukan nama perasaanku sendiri tanpa dia ketahui.
Apakah itu cinta? Ketika aku tidak bisa mencintai seseorang dan berusaha mencintainya. Bukankah itu cinta?
Mengapa dia tidak bisa melihat sedikit saja ke dalam diriku?
'Di mataku kau berbeda. Apakah akhirnya aku mencintaimu? Bolehkah aku berjanji kalau kebodohanku ini akan menjadi yang terakhir? Bisakah kau memberiku kesempatan kedua?'
Andai saja saat itu aku berani meraih tangannya. Apakah penilaiannya terhadapku akan berubah?
Di sisa hariku sebelum kelulusan, kami menjadi orang asing. Dia tidak datang dengan bunga ataupun ucapan selamat. Dia mengganti nomor ponselnya dan sandi apartemennya. Kami berpapasan di lorong universitas dan dia hanya melirikku sekilas.
Semuanya menjadi redup.
Jadi mulai kusadari kalau ini adalah hukuman darinya.
'Bisa kita bicara?'
'Tidak sekarang, Gill.'
'Lalu kapan?'
'Entahlah ....'
Lalu ketika musim dingin tiba, aku menunggunya di taman kota. Kondisi jariku sudah memerah dan membeku. Napasku sudah tidak karuan dan dahiku terasa panas. Orang-orang menyebutku gila karena bertahan di tengah salju, tapi aku tidak peduli.
Lucunya ketika dia datang, semua sakit yang kurasakan hilang.
Orang bilang, itu efek jatuh cinta.
Sayangnya itu tidak bertahan lama.
'Ayo akhiri saja. Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi.'
'Darren-'
'Berhenti! Jangan mengacau! Kau tidak tau betapa sulitnya bagiku bangkit setelah penghianatanmu!'
Rasa sakitnya kembali. Kali ini berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
Darren pergi begitu saja tanpa pernah tau.
Betahan-tahun setelahnya, aku hidup dalam penyesalan.
Irisan-irisan di pergelangan tanganku membantuku tetap bertahan.
Menyedihkan.
Setelah dibuang, aku berharap dia mau memungutku kembali.
'Darren ... please ....'
'Jangan ganggu hidupku lagi, Gill.'
🥀
🥀
🥀
"Gill!"
"Gill!"
Aku tersentak saat mendengar gedoran dari luar ruang kerjaku.
Ketika membuka pintu, Janice tidak sengaja mengetuk dahiku.
"Oh! Maaf, Gill!"
"Apa, Janice?"
"Kau!" Janice menunjukku dengan kukunya yang runcing. "Ikut denganku!"
Aku benci diganggu. Tapi aku bisa ditendang keluar kalau tidak mau mengikuti kemauannya.
"Aku akan ikut setelah kau melepas renda-renda sialan itu," ujarku sambil memperhatikan penampilannya.
Wajah sok garang Janice seketika lenyap. "Eh, kenapa? tidak cocok ya?"
Mermaid gown penuh renda itu membuatku ingin mengguntingnya. "Berkaca, Janice."
"Hei! Biasa saja, Gill!"
🥀
🥀
🥀
Janice adalah designer indi di kota ini. Aku mengenalnya dari salah satu dosenku di perguruan tinggi. Kami tidak bisa disebut teman dekat, selain karena beberapa kali terlibat project karya seni yang sama.
Selama hiatus, aku menumpang hidup di rumahnya. Dia tau siapa diriku dan dia bersedia menutup mulutnya dari siapapun. Dia pula yang pertama kali mencetuskan ide tentang tinggal bersama.
"Rumah ini cukup besar. Tinggal di sini saja dari pada membeli apartemen entah berantah. Oh, tapi aku tidak akan memberikannya secara gratis. Sebagai gantinya, bantu aku bekerja! Hitung-hitung sebagai pengganti uang sewamu."
"Gill! Kau lama sekali!"
Aku turun ke lantai dasar dengan malas-malasan. Kutemui Janice yang sedang memutar-mutar dirinya seperti model majalah di depan kaca besa. Aku berdehem sambil merapikan blouseku. Meminta atensi Janice yang tidak menyadari keberadaanku.
Janice menoleh dan menunjuk gaunnya. "Tidakkah ini terlalu sederhana?"
Aku memperhatikan penampilannya dari atas ke bawah.
Ah, memang jadi terlalu sederhana, tapi dalam artian positif. Setidaknya dia tidak seperti ibu-ibu kepala empat di tahun 90-an yang mau nongkrong dengan geng sok sosialitanya di bar murahan pinggir kota.
"Kalung yang kuberikan padamu, pakai itu saja."
Kelopak mata Janice melebar. "Kau jenius!"
🥀
🥀
🥀
Aku tidak tau kemana Janice akan membawaku. Aku terlalu malas bertanya padanya. Lagipula sepanjang perjalanan, Janice sibuk bicara dengan cliennya lewat telpon.
"Hei, kau tidak penasaran?"
Baru saja ingin mendengarkan musik, Janice malah mengajakku bicara.
"Apa?"
"Kau pikir aku akan membawamu kemana?"
"Kau tidak akan menjualku kan?"
Dengan sebelah tangannya yang bebas menyetir, Janice memukul pundak ku main-main. "Aku tidak mencari uang dengan cara sepicik itu!"
"Ya ya."
"Kita akan pergi menemui seorang client!" ujarnya bersemangat.
Aku menoleh cepat. "Sudah kubilang, jangan libatkan aku secara langsung dengan client-clientmu. Bagaima kalau-"
"Wah, tenang, Gill. Tenang. Dia client yang berbeda. Identitasmu aman."
Aku melipat tanganku di depan dada. "Aku akan menuntutmu kalau kau tidak menepati janjimu," desisku penuh ancaman.
Janice mengangguk. "Aku tau. Aku tau. Sekarang diam dan biarkan aku menyetir dengan tenang. Kau tidak mau kita berakhir di rumah sakit lagi kan?"
Dan aku mengangguk pasrah, lalu menyumpah telingaku dengan earphone. Keselamatanmu sekarang jadi prioritas utama. Jangan sampai Janice menabrak tiang lampu merah lagi karena aku mendebatnya di dalam mobil.
🥀
🥀
🥀
Ketika berjalan menuju restoran, converse hitam yang kukenakan langsung mencuri perhatian. Blouse putih, jeans hitam dan converse hitam yang sudah kumodifikasi dengan aksen bunga lily. Oh, aku tidak perlu busana bling-bling untuk sebuah pertemuan kasual di restoran bintang empat.
Aku percaya dengan busana ini, aku sudah cukup layak bertemu dengan siapapun yang ada di dalam sana.
"Clientmu sepertinya orang penting," komentarku karena pelayan membawa kami ke sebuah ruangan bertitle VIP.
"Oh, sangat amat penting, Gill."
Kami mengikuti pelayan dari belakang. Dia berjalan sampai di ujung ruangan dan berhenti di ruangan sebelah kiri. Seorang pria berambut brunette kotor duduk di dalam sana sambil menyesap kopinya
"Colton Winters?" sapa Janice.
Pria itu menoleh, lalu bangkit. Pandangan kami pun bertemu.
Dia memiliki mata yang indah.
Bentuknya sayu dan dalam. Pun warnanya kuyakini sebagai biru langit dengan gradasi jingga.
Melihatnya seperti melihat sunrise di tepi pantai.
Itu adalah perpaduan yang unik. Jarang sekali aku menemukan orang-orang dengan iris mata seperti itu.
"Janice?"
"Benar."
Pelayan meninggalkan kami setelah Si Tuan ini menganggukkan kepalanya.
"Dan?" tanyanya sambil melirikku.
"Dia Gill."
Sial!
Mulut terkutuk Janice!
Sudah kubilang jangan pernah membocorkan identitasku!
Aku benar-benar akan menuntutnya setelah ini!
Janice sepertinya menyadari tatapan tajamku. Dia langsung berdehem dan merangkul lenganku. "Ma-maksudku Alessa ... Alessandra. Dia saudaraku. Dia yang akan mengerjakan gaun pesananmu."
Janice dan pria bernama Colton Winters itu berjabat tangan. Lalu ketika uluran tangan pria itu sampai kepadaku, aku terteguh.
Jam tangan fossil yang telah kumodifikasi, bagaimana bdia bisa memilikinya?
'Kuharap jam tangan itu menemanimu kemanapun kau pergi, Darren.'
'Kenapa harus menemaniku?'
'Agar kau tidak merindukanku.'
Jam tangan itu milik Darren.
🥀
🥀
🥀