"Apa? Maksudmu pembegalan? Hahaha, tenang saja. Mereka tahu kok kalau aku sangat dekat dengan bubuk mesiu (senjata berapi maksudnya). Padahal, aku juga tidak membawa itu kemana-mana. Tapi, mereka kan tahunya tentara membawa pistol kemana-mana. Hehehe," Jawab Erlangga. Gendhis menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi, apa yang biasanya kamu lakukan disini?" Gendhis tidak melihat satupun objek yang menarik untuk dilihat, kecuali air menggenang dengan jumlah banyak dan rumput hijau yang lebih mirip ilalang subur. Selebihnya hanya hamparan tanah tandus yang kering dan tidak ada satu pun rumah penduduk di sekitarnya.
"Duduk diatas kap jeep dan diam merenungi hidupku." Jawab Erlangga. "Oya, kamu pasti lapar pulang kerja. Aku sudah beli nasi bento tadi sebelum menjemput kamu. Kita makan dulu di dalam mobil." Ujar pria berseragam itu lagi. Karena kebetulan perut Gendhis memang sedang lapar, maka dia pun menurut saja.
Dua box makan nasi bento yang berisi lauk ala Jepang itu pun tersaji dihadapan mereka. Mereka mulai makan setelah membaca doa. Sesekali di waktu makan, mereka selingi dengan obrolan ringan seputar pekerjaan dan keluarga.
"Kamu … kenapa kamu bersikeras ingin menikah denganku? Aku yakin dengan penampilan, wajah, dan pekerjaanmu, tidak perlu mencaripun, ratusan perempuan bersedia antri untuk dilamar menjadi istrimu." Jawab Gendhis jujur.
"Jadi, kamu setuju kalau aku tampan dan mengesankan?" Jawab Erlangga sambil menyeringai senang.
"Cih! Aku malas mengakuinya tapi memang itu kenyataannya." Jawab Gendhis sambil mengambil nasi menggunakan sumpit itu.
"Hahaha, akui sajalah kalau calon suamimu ini adalah pria yang sangat berkualitas untuk dijadikan pemimpin keluarga."
"Terserah kamulah. Pertanyaanku pun belum dijawab."
"Oh iya, pertanyaan kenapa aku bersikeras ingin melamarmu? Karena aku membutuhkan perempuan yang kuat yang bisa mendampingi aku yang lemah lembut ini." Gendhis mengernyitkan alisnya.
"Kapan kamu bisa serius kalau diajak bicara? Huft!"
"Aku serius. Aku paling tidak bisa menolak permintaan orang lain. Sama seperti teman kamu meminta ketemuan. Aku bingung mencari alasan untuk tidak bertemu tapi aku tidak tahu alasan apa. Jadi ya, aku iyain saja permintaannya. Terus, Fifin juga yang selalu datang kerumah dan mendekati mami papiku. Orang lain juga tahu apa maksudnya tapi ya begitulah, aku tidak bisa mengelak setiap dia datang kerumah. Aku butuh perempuan yang kuat dan tahu apa yang dia mau." Jawab Erlangga sambil tersenyum.
"Hanya itu? Tidak ada maksud lain?" Sorot mata Gendhis berharap ada alasan lain yang membuat pria ini melamar dirinya.
"Karena aku suka kamu," Kedua anak muda yang baru saja menyelesaikan makannya itu, terdiam dan saling menatap satu sama lain. Perempuan itu pun tersadar dan memalingkan wajahnya ke samping.
"Aku … belum ada perasaan padamu. Tapi, aku berhutang budi karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku," Jawab Gendhis.
"Gendhis, tidak semua orang yang ingin menikah itu harus saling suka terlebih dahulu. Ada yang muncul rasa suka setelah menikah dan mereka pacaran setelah menikah." Jawab Erlangga.
'Tapi, aku tidak pernah mengira kalau suamiku kelak adalah seorang tentara dengan banyaknya perempuan yang berada di sekitarnya. Dulu, aku mengira kalau suami aku adalah karyawan kantoran sepertiku. Dia adalah teman kantorku dan tumbuh rasa cinta diantara kami karena kami bertemu setiap hari. Ternyata …"
"Ternyata, yang akan menjadi suamimu adalah pria yang baru dikenal dan kamu juga tidak bertemu dengannya setiap hari. Begitu kan?" Jawab Erlangga. Gendhis diam tidak menjawab.
"Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, bisa tolong antarkan aku pulang?"
"Tentu saja." Gendhis dan Erlangga pun bersiap-siap membereskan sisa makanan mereka untuk segera melanjutkan perjalanan pulang. Namun, sebuah insiden terjadi. Wajah keduanya secara tidak sengaja bertubrukan dan pipi keduanya pun menempel. Dua pasang mata saling menatap tank berkedip. Baik Gendhis maupun Erlangga susah payah menelan saliva mereka karena jantung mereka tiba-tiba berdegup kencang.
Erlangga memberanikan diri menyentuh leher Gendhis dengan satu tangannya.
"Bolehkah … aku menciummu?" Angin berhembus lembut menyapu wajah Genhdis. Perempuan itu tidak kuasa mengatakan tidak tapi juga tidak bisa menjawab ya. Yang bisa dia lakukan hanyalah memejamkan matanya dan diam pasrah menerima apa yang akan diberikan kepadanya.
Merasakan perempuan yang digenggam lehernya ini tidak mengatakan apapun, Erlangga berkeyakinan kalau itu adalah kode selain ucapan YA. Erlangga pun mulai menempelkan bibirnya pada sang perempuan yang belum menjadi kekasihnya tapi sudah menjadi calon istrinya. Gendhis terhenyak dan matanya membuka. Berawal dari perlahan-lahan semakin lama ciuman mereka semakin intens dan dalam. Karena Gendhis juga menyambutnya dengan sepenuh hati. Cukup lama mereka berciuman didalam mobil jeep yang matahari hampir beranjak senja.
"Hah hah hah," Napas keduanya tersengal-sengal. Udara yang berhembus dari hidung dan mulut keduanya terasa jelas. Gendhis yang tersadar, langsung mendorong lembut dada perwira tentara itu agar menjauh. Erlangga memalingkan wajahnya ke sebelah kanan dan mengatupkan bibirnya.
"Kita pulang sekarang."
"I-iya," Jawab Gendhis malu-malu.
Keduanya diam seribu bahasa selama dalam perjalanan menuju rumah Gendhis. Dan, mobil jeep itu pun akhirnya sampai didepan pagar rumah milik seorang wanita single mom dengan tiga anak.
"Gendhis, aku …"
"Aku langsung masuk. Terima kasih," Gendhis langsung membuka pintu dan melarikan diri secepat mungkin masuk ke dalam rumah. Dia sudah dari tadi ingin membenamkan wajahnya di atas bantal dan meringis malu karena ini adalah ciuman pertamanya. Erlangga melihat sang perempuan masuk kedalam rumah lalu dia pun melanjutkan perjalanan menuju messnya. Pria itu tersenyum tipis mengingat apa yang mereka lakukan beberapa saat yang lalu. Gendhis terlihat jelas malu-malu.
"Aaaah apa yang aku lakukan? Kenapa aku diam saja? Kenapa aku tidak menolaknya? Aku pasti sudah gila!" Gendhis langsung menjatuhkan dirinya diatas ranjang dan memeluk bantal kesayangannya dibawah wajahnya. Dia malu bukan main dan sepertinya dia tidak punya muka lagi untuk melihat pria yang menciumnya terlebih dahulu.
"Bagaimana ini? Apakah ini tanda jadi pernikahan? Masa ciuman saja langsung menikah?" Gumamnya lagi.
"Gendhis, ada tamu mencari kamu." Suara ketukan ibunya dari luar, membuyarkan lamunan Gendhis.
"Tamu? Tamu siapa jam segini?" Gendhis bergumam sendiri. "Iya bu, sebentar lagi aku keluar." Ucap Gendhis dari dalam.
Perempuan itu merapihkan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan juga kemejanya yang sedikit kusut. Dia pun langsung keluar kamar untuk menemui tamu yang dimaksud ibunya.
"Erlangga?" Gendhis kaget melihat tamu yang dimaksud adalah … pria yang menciumnya pertama kali dalam hidupnya.
"Nak Erlangga bilang, ingin mengatakan sesuatu pada ibu tapi kamu harus menemaninya bicara." Jawab Dewi.
"Menemani bicara? Kamu mau bicara apa?" Tanya Gendhis langsung, padahal dia juga belum duduk.
"Kamu duduk dulu, tidak sopan berkata sambil berdiri seorang diri." Ujar Dewi.