"Nenek istirahatlah dulu, aku masih harus menghadiri pertemuan penting hari ini."
Lewi memalingkan wajahnya dengan kasar dari Deon, "Huh, peduli apa kau denganku. Aku mau istirahat atau tidak, tidak ada hubungannya denganmu. Kau teruskanlah memikirkan wanita pengkhianat itu sampai kau menjadi bodoh."
Deon menggelengkan kepala, dia tidak ingin membuat neneknya ini semakin marah. Jadi hanya bisa begini saja...
"Bibi Anya, tolong bantu nenek ke kamar. Bawa dia istirahat." Tidak bisa memikirkan jalan lain, Deon hanya bisa mengandalkan kepala asisten rumah tangga untuk menyudahi perdebatan ini.
Deon yang tadinya sudah berjalan menjauh 3 langkah dari neneknya, kini datang mendekati kursi yang tadi ia duduki. Ia mengucup kening Lewi sembari berkata, "Nenek istirahat, oke? Minggu depan aku akan datang menjengukmu."
Si nenek masih tetap diam. Dia bahkan tidak melihat pada Deon. Namun, ketika langkah kaki Deon terdengar semakin jauh, dia mulai terisak.
"Di dunia ini, di rumah ini, tidak ada yang benar-benar peduli denganku. Aku sudah tua, jadi sudah tidak dianggap lagi. Aku hanya memiliki dua cucu, tetapi satu pun dari mereka bahkan tidak mau mendengarkan perkataanku. Selama ini, aku tidak pernah menuntut apa pun dari kedua cucuku. Aku membesarkan mereka dengan penuh cinta, seorang diri. Lihatlah, setelah mereka besar dan sukses, omonganku bagi mereka hanya seperti udara, berlalu begitu saja.
Aku bukan meminta hal yang sulit, yang aku inginkan hanya cicit yang gemuk-gemuk, yang akan menghilangkan rasa kesepianku sebelum aku meninggal. Tapi, itu pun sangat sulit aku dapatkan. Aku sudah tua, waktuku tidak banyak lagi, aku hanya ingin menggendong cicitku sebelum mati."
Lewi mengucapkan kata-kata itu sambil menangis tersendu-sendu. Deon yang jaraknya dari Lewi masih belum terlalu jauh, masih bisa mendengar semua yang dikatakan wanita tua itu dengan sangat jelas.
Akhirnya Deon berbalik. Matanya yang hitam seperti kelamnya kedalaman sumur, menatap pada neneknya dengan tatapan tidak berdaya. Harus diakui, wanita tua ini adalah kelemahannya!
Lewi terus bertahan dengan tangisnya. Bahkan ia masih dengan sengaja menghalau Anya, sang kepala pelayan kepercayaan keluarga Schallert, yang sedang mencoba membujuknya untuk beristirahat di kamar.
Akhirnya Deon sudah tidak tahan lagi, sambil berjalan ia berbicara pada Anya, "Bibi Anya, biar aku saja yang membawa nenek istirahat. Kamu bisa lanjutkan pekerjaan yang lain saja."
Kepala pelayan itu pun tidak banyak bicara. Sedikit mengangguk, ia langsung pergi dari hadapan pasangan nenek-cucu tersebut.
"Nenek...." Deon sudah memegang tangan Lewi.
"Pergilah! Kenapa kau masih di sini?! Bukankah bagimu yang paling penting adalah pekerjaanmu? Aku sudah tua, usiaku juga tidak akan lama lagi, jadi kau tidak memedulikan aku juga hal yang baik." Lewi terus memprovokasi Deon melalui kondisinya.
Deon tidak kuasa, hatinya langsung melembut.
Lewi melanjutkan, "Kapan aku meninggalkan, tidak ada yang tahu. Tapi sebelum aku meninggalkan dunia ini, apakah aku tidak bisa mendapatkan seorang cicit? Hidup ini sangat terasa sepi sekali. Aku memiliki segalanya, tetapi aku malah kesepian... Hiks hiks hiks..."
Mendengar hal itu, entah mengapa Deon merasakan sakit yang begitu tajam di dalam hatinya. Dia sadar, selama ini dia terlalu egois sampai-sampai mengabaikan nenek yang sudah membesarkannya ini setelah orang tuanya meninggal. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaan serta segala ambisinya, sampai-sampai tidak meluangkan waktu untuk mengunjungi dan menemani neneknya.
"Nenek, jangan bersedih lagi, oke? Baik, aku akan menikah, tetapi biar aku yang memilih istriku sendiri, bagaimana?" ujar Deon.
Seketika mata Lewi berbinar, "Kau memilih calon istrimu sendiri? Apa kau sanggup?"
Ugh!!! Neneknya ini terlalu meremehkannya bukan?
Deon berdeham, dia tahu maksud neneknya ini, "Sanggup atau tidaknya, masih perlu dilihat. Tapi apa pun itu, aku tidak ingin menikah dengan wanita yang nenek sebutkan tadi."
Putri satu-satunya keluarga Crich, sebenarnya bukan pilihan yang buruk untuk dijadikan sebagai pendamping hidup. Seorang putri dari keluarga terhormat, kaya, serta sangat mandiri. Setiap beritanya tentangnya selalu menceritakan tentang prestasinya, sedikit cela tentang dirinya pun tidak ada. Bisa dikatakan bahwa dia sangat sempurna.
Namun, profilnya yang begitu bersih dan terkenal polos, entah mengapa membuat Deon merasa sangat asing. Dunia ini terlalu kejam dan nikmat bersamaan. Deon sudah bertemu dengan banyak orang dan melihat dari banyak segi, dia tidak pernah melihat sosok yang benar-benar 'polos' seperti putri dari keluarga Crich itu. Apalagi.... wanita itu berkarir dalam dunia entertainment dan bisnis sejak lama.
"Ugh!! Kenapa kau tidak mau dengannya? Tidakkah kau membaca berita? Dia wanita kaya yang independent. Dia sangat berkelas dan luar biasa. Sekalipun dia seorang putri tunggal, tetapi dia tidak manja. Dia bekerja keras sejak remaja dan tidak pernah mengabaikan pendidikannya. Bukankah dia terlihat sangat cocok denganmu?"
Kening Deon berkedut mendengar itu, dan ia pun lantas protes, "Nenek, bagaimana kau mengatakan aku dan dia sangat cocok saat kami bahkan tidak saling mengenal?"
"Tidak saling mengenal, tetapi kau langsung menolaknya. Kesombongan macam apa ini!" omel Lewi.
Deon terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan pada neneknya bahwa dia diam-diam telah mencari informasi tentang putri keluarga Crich itu di saat pertama kali neneknya mengatakan kalau dia akan dijodohkan. Tentang perjodohan ini, ini bukan hal yang pertama kali mereka bahas.
Deon juga tidak banyak bicara, "Nenek, jika kau ingin aku menikah, maka biar aku yang memilih pasanganku sendiri. Bagaimanapun, ini adalah pernikahanku, aku perlu memilih istriku sendiri."
Lewi pun tidak banyak menuntut. Asal cucunya ini berjanji akan menikah, dengan siapa pun, tentu saja dia tidak masalah. Asal jangan dengan wanita yang sudah menyakiti cucunya di masa lalu.
"Baiklah. Aku setuju. Dalam satu bulan, kau harus membawa gadis itu kehadapanku," ujar Lewi sambil mengangguk bahagia.
Deon mengerutkan kening, "Nenek, kenapa harus terburu-buru? Biar aku mencarinya secara perlahan, oke?"
Lewi sangat mengenal sifat keras kepalanya Deon. Jadi jika dia ingin segera memiliki cucu menantu, maka hanya bisa begini...
"Cucuku, usiaku sampai kapan, tidak ada yang tahu. Keinginanku sejak dulu adalah menggendong cicitku. Sulitkah bagimu untuk menyanggupinya? Kau selalu sibuk. Tidak ada waktu untukku juga tidak masalah. Karena aku tahu, kau sudah menjadi pria yang dewasa, tetapi cicitku nanti masih akan anak-anak, masih mudah untuk merayu mereka untuk tinggal denganku mengurangi rasa kesepianku. Sejak kakekmu meninggal, aku pikir dengan adanya ibumu, aku tidak akan kesepian, sekalipun ayahmu selalu sibuk. Rupanya menantuku itu juga harus meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Aku tetap menjadi kesepian hingga kau dan adikmu tumbuh semakin besar, dan aku tetap kesepian."
Inilah duka yang paling mendalam bagi seorang Deon, dia memiliki banyak hutang terhadap neneknya ini!
"Satu bulan. Baik, dalam satu bulan cucu menantumu akan ada di hadapanmu." Dia berucap dengan sedikit keterpaksaan, tetapi dia juga tidak berniat untuk mengingkarinya.
"Benarkah? Sangat bagus, sangat bagus!!" Mata Lewi akhirnya kembali berbinar. Gambaran ini, seperti anak kecil yang sangat senang ketika orang tuanya menjanjikan sebuah hadiah.
Sekali lagi, Deon mengangguk sebagai arti, bahwa dia telah berjanji.