Hari ini pekerjaan Haewon telah selesai, gadis itu merapikan beberapa berkas di atas mejanya, kemudian menggantung kembali jas putih yang ia kenakan. Gadis itu sedikit menata kembali rambutnya, dia sedikit menghela nafas, lagi- lagi dia harus kembali berurusan dengan Lee Yonghwa. Padahal dia sendiri yang berkata bahwa akan tidak akan berurusan dengan pria itu.
Haewon melangkah keluar dari ruangannya, gadis itu berjalan menuju lobby, dan pemandangan yang dia lihat adalah seorang pria berpakaian casual berbeda dari biasanya. Saat penampilannya seperti ini Yonghwa sama seperti pria lainnya.
Yonghwa terus melihat ke arah arlojinya, dia tampak gelisah sambil memainkan ponselnya. Haewon mendatangi pria itu dan menepuk bahunya.
"Maaf, apa kau sudah lama menunggu?" tanya Haewon.
"Ah, tidak juga… apa pekerjaanmu sudah selesai?" Ternyata pria yang dingin sepertinya bisa bertanya seperti itu.
"Ya, tentu saja sudah. Jika pekerjaanku belum selesai aku tak akan di sini menemuimu." Haewon sedikit terkekeh.
"Baiklah, kalau begitu kita bisa pergi sekarang?" Yonghwa melangkah lebih dulu sebelum Haewon mengiyakan ajakannya.
Haewon mengekor di belakang Yonghwa menuju tempat di mana mobil pria itu di parkirkan. Sesampainya di parkiran Yonghwa membukakan pintu mobil untuk Haewon dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk.
Setelah itu, mobil yang mereka kendarai melaju ke sebuah restoran mewah di tengah kota Seoul. Yonghwa kembali membukakan pintu untuk Haewon. Kemudian pria itu berjalan di depan memimpin jalan. Sedangkan Haewon masih mengagumi tempat itu. Dia tak menyangka pria itu akan membawanya ke tempat mewah seperti ini.
Setelah sampai di meja yang telah Yonghwa pesan, pria itu kembali memperlakukan Haewon layaknya seorang putri dengan menggeserkan kursi dan mempersilahkan Haewon untuk duduk.
Dia memesan makanan yang Haewon belum pernah memakannya, dalam hatinya dia bergumam, bermimpi apa aku sampai bisa makan di restoran semewah ini?
Karena sifat Yonghwa, atmosfer di tengah mereka menjadi canggung. Pria itu hanya diam dan membuat Haewon menjadi kikuk karenanya.
"Dari tadi aku tak melihat Seunghan." Haewon berusaha membuka pembicaraan.
"Dia berada di rumah bersama bibi pengasuhnya," jawab pria itu sambil terus menatap layar ponselnya.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Haewon bertanya langsung ke intinya, bersamaan dengan itu makanan mereka datang.
"Makanlah dulu," ucap Yonghwa.
Haewon menuruti pria itu, dia memakan makanan yang telah disajikan di hadapannya. Saat menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, rasanya Haewon ingin sekali berteriak karena rasanya yang enak, tapi gadis itu terpaksa menahanya dan tetap terlihat anggun di depan pria itu.
Setelah mereka selesai makan, Yonghwa tampak mengeluarkan beberapa lembar kertas. Haewon mulai berpikir apakah pria ini akan mengajaknya menikah kontrak seperti di drama-drama?
Memang dasarnya kita tak boleh memikirkan hal yang tak baik. Benar saja, saat Yonghwa memberinya lembaran kertas itu, Haewon bisa membaca bahwa isinya adalah kontrak pernikahan. Haewon menatap Yonghwa bingung, dan pria itu tetap tak mengatakan apapun.
"Apa maksudnya ini?" tanya Haewon.
"Kontrak pernikahan," jawabnya singkat.
"Maksudmu kau akan menikahiku secara kontrak? Untuk apa? Apa yang kau inginkan dariku?" Haewon mulai kesal.
"Aku ingin kau bisa mengobati Seunghan dengan menjadi ibunya. Bacalah dulu kontrak itu, kau tak akan dirugikan," ucap Yonghwa.
"Kenapa harus aku? Bukankah banyak psikiater wanita lain di luar sana?" tanya Haewon.
"Karena Seunghan hanya terbuka denganmu. Dia bahkan mau berbicara denganmu," jawab pria itu.
"Apa kau tak memikirkan perasaannya jika dia tau hubungan ini hanyalah sekedar kontrak?" ujar Haewon.
"Dia tak akan tau hal itu," jawab Yonghwa santai.
"Kau benar-benar…" Belum selesai perkataan Haewon, ponsel Yonghwa berdering. Wajahnya terlihat pucat saat menerima panggilan itu.
"Tolong ikutlah denganku," pintanya.
"Seunghan dilarikan ke rumah sakit." Mendengar hal itu Haewon yang tadinya kesal, jadi merasa khawatir dan akhirnya memilih untuk ikut bersama Yonghwa.
Yonghwa mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Baginya Seunghan adalah satu-satunya alasannya untuk hidup. Sesampainya di rumah sakit, Seunghan sudah diberi perawatan. Bocah itu terbaring di salah satu ranjang rumah sakit.
"Apa yang terjadi?" tanya pria itu pada bibi pengasuhnya.
"Tuan tiba-tiba sesak nafas saat temannya membawa mainan mobil-mobilan," jawab bibi itu.
"Tenanglah, dia baik-baik saja. Itu adalah efek dari traumanya. Tubuh merespon hal itu sebagai ancaman." Haewon menjelaskan.
Gadis itu mendekat ke arah Seunghan, dan membelai kepala bocah kecil itu. Tangan kecil Seunghan memegang tangan Haewon.
"Mama," ucap bocah kecil itu.
Haewon mengambil nafas panjang, gadis itu menggenggam tangan mungil milik Seunghan. Gadis itu tau benar bahwa bocah di hadapannya ini sangat merindukan sosok ibunya. Tapi, apa dia harus mengorbankan diri untuk pernikahan kontrak dengan Yonghwa?
"Seunghan-aa… mama ada di sini, jadi jangan takut dan tidurlah," kata Haewon.
Gadis itu teringat sesuatu, dan membuka tasnya. Mencari sebuah boneka beruang kecil. Lalu dia berikan boneka itu pada Seunghan.
"Dia akan menemani Seunghan, dan membuat Seunghan bermimpi indah." Haewon kembali mengelus kepala Seunghan.
Bocah itu menganggukkan kepalanya dan meminta Haewon mendekat ke arahnya dengan isyarat tangan. Haewon mendekatkan kepalanya ke arah Seunghan dan bocah itu mengecup pipinya.
Haewon tersenyum, hatinya menghangat. Dia kembali mempertimbangkan apa yang diminta oleh Yonghwa, hatinya bimbang.
Setelah Seunghan tertidur, Haewon keluar dari kamar itu diikuti oleh Yonghwa. Gadis itu hendak pulang ke rumah, Seongeun pasti khawatir padanya.
"Aku akan mengantarmu," ucap Yonghwa.
"Tidak perlu, kau tetap di sini saja. Seunghan pasti membutuhkanmu." Haewon menolak.
"Mana mungkin aku membiarkan seorang gadis pergi sendiri di malam hari." Pria itu bersikeras dan Haewon tak bisa menolaknya. Lagi pula sudah tidak ada bus di jam ini.
Di tengah perjalanan mereka berdua hanya diam, Yonghwa yang fokus menyetir dan Haewon larut dalam pikirannya sambil melihat ke arah luar jendela.
"Maafkan kelancanganku." Yonghwa membuka pembicaraan.
"Tolong lupakan saja soal kontrak itu, tapi bisakah aku meminta bantuan padamu untuk menangani Seunghan? Tolong pertimbangkan permintaanku. Aku akan membayar berapapun yang kau minta." Pria itu nampak putus asa.
Haewon bukanlah seorang ibu, tapi dia adalah seorang wanita. Dia bisa ikut merasakan betapa sakitnya hati orang tua saat melihat anaknya menderita. Haewon bisa saja menolak permintaan Yonghwa, toh di luar sana masih banyak psikiater lainnya selain dirinya.
"Akan ku pikirkan," jawab Haewon.
Mobil itu berhenti di depan apartemen Haewon. Gadis itu turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada Yonghwa yang telah mengantarkannya.
Dia melihat mobil itu menjauh, sejujurnya Haewon bisa ikut merasakan betapa putus asanya Yonghwa, tapi dia juga punya kehidupan.
Haewon masuk ke dalam apartemennya dengan perlahan, dia tak ingin membangunkan Seongeun yang telah tertidur. Gadis itu duduk di kursi bar dapurnya, dia kembali mengeluarkan lembaran kertas berisikan kontrak pernikahan yang diberikan oleh Yonghwa.
Apa dia terima saja tawaran Yonghwa? Toh hanya sampai Seunghan kembali stabil? Tapi apa Seunghan akan baik-baik saja setelah kontrak mereka selesai?
Gadis itu kembali membaca isi kontrak pernikahan itu, di sana tertulis bahwa dirinya hanya perlu fokus pada Seunghan, dan mereka akan bersikap layaknya pasangan di hadapan Seunghan.
Sebenarnya yang Yonghwa inginkan adalah psikiater pribadi untuk Seunghan, tapi dia sudah mencoba beberapa psikiater dan tak ada yang bisa menangani Seunghan sama seperti Haewon.
Dalam kontrak itu juga tertulis bahwa Yonghwa akan membayar Haewon lebih dari bayaran psikiater biasanya. Tapi yang membuat Haewon kesal adalah kalimat, "Haewon harus mengganti rugi jika memutuskan untuk berhenti sebelum kontrak selesai."
Di saat bersamaan, gadis itu mendapatkan pesan dari salah satu profesornya. Dalam pesan itu profesornya berkata bahwa Haewon bisa segera pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya bulan depan. Gadis itu memijat pelipisnya, sekarang dia bingung apa dia harus mengabaikan Seunghan? Tapi, tanpa Haewon sadari bocah itu sudah mengambil hatinya.
Keesokan harinya, Haewon bangun lebih pagi. Dia ingin menemui Seunghan sebelum jadwal kliniknya di mulai. Dia meninggalkan sebuah note untuk Seongeun, agar gadis itu tak kebingungan mencarinya.
Hari ini dia juga akan menemui profesornya dan mempertimbangkan kepergiannya ke Amerika. Semalaman gadis itu berpikir tentang Seunghan. Jujur saja, Haewon sangat penasaran tentang apa yang menimpa Seunghan hingga bocah kecil itu memiliki trauma seperti itu.
Haewon sampai di rumah sakit, dan gadis itu langsung menuju ke kamar dimana Seunghan dirawat, gadis itu membuka pintu dengan perlahan, dia melihat Yonghwa tengah tertidur sambil duduk di samping ranjang Seunghan.
Gadis itu masuk dan berjalan ke arah ranjang Seunghan. Bocah kecil itu masih tertidur. Ditatapnya wajah malaikat kecil itu, dan hatinya tak bisa mengabaikannya. Masa depan bocah kecil ini masih panjang, sedangkan pendidikanku masih bisa ku tunda tahun depan, pikirnya.
Haewon menyingkirkan poni Seunghan yang menutupi wajahnya. Dia mengelus pipi Seunghan yang memerah sebab demam. Tanpa dia sadari Yonghwa telah bangun dari tidurnya dan memperhatikannya.
"Apa aku membangunkanmu?" Haewon sadar bahwa Yonghwa terbangun. Pria itu menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari Haewon.
Haewon membuka sebuah tas berisikan beberapa roti. Gadis itu sempat mampir ke toko roti keluarganya dan mengambil beberapa roti untuk Yonghwa dan Seunghan. Haewon yakin pasti Yonghwa tak akan makan jika tak seperti ini. Pria itu hanya akan fokus pada anaknya. Gadis itu memberikan sebuah roti pada Yonghwa, pria itu menerimanya kemudian memakannya.
"Aku akan pergi sekarang. Setelah pekerjaanku selesai aku akan kembali ke sini." Haewon menaruh tas berisikan roti di atas nakas samping ranjang dengan perlahan agar Seunghan tak bangun.
Sesampainya di ruangannya, gadis itu memakai jas putihnya dan berjalan menuju ruangan profesornya. Dia telah mempertimbangkan bahwa dia akan memilih untuk menjadi psikiater pribadi Seunghan dan cuti untuk sementara waktu.
Haewon masuk ke dalam ruangan Profesor Yang Jaehyuk, dia mengatakan maksud kedatangannya. Profesornya itu terkejut mendengar penuturan Haewon.
"Bukankah kau sudah menantikan keberangkatan ini? Apa kau yakin akan menundanya? Kita tidak tau kapan lagi kesempatan ini datang," kata profesor Yang.
"Ya, maafkan aku prof, tapi aku tidak bisa mengabaikan anak itu. Bagiku masa depannya masih panjang dan dia perlu perawatan," kata Haewon yakin.
"Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku akan mengurus masa cuti mu." Profesor Yang sedikit kecewa, tapi dia tetap mendukung apa yang Haewon pilih.
"Terimakasih Prof," ucap Haewon sebelum keluar dari ruangan itu.
Haewon memulai klinik terakhirnya. Dia belum mengatakan apapun pada rekan-rekannya. Hari ini klinik berjalan dengan lancar. Setelah selesai, Haewon pergi menuju ruangan Seunghan. Namun, dia tak mendapati Seunghan di sana.
Dari kejauhan dia melihat punggung yang tak asing baginya, benar saja. Itu adalah Yonghwa yang tengah bermain dengan Seunghan. Haewon tersenyum, rupanya bocah itu sudah membaik.
Seunghan melihat kedatangan Haewon. Dia menghentikan permainannya, dan berlari ke arah Haewon. Seperti biasanya, Haewon akan merunduk dan membuka tangannya untuk menyambut Seunghan.
Sekarang yang dia pikirkan adalah bagaimana caranya dia memberitahu Seongeun beserta ibu dan adiknya. Apa yang akan mereka pikirkan jika Haewon memberitahu soal pernikahan mendadak ini?