"Tuan Putri Stella," gumam Raya menggebu-gebu. "Untuk apa meragukan sesuatu yang sudah pasti? Bastian pasti sangat mencintai Tuan Putri, dan Tuan Putri pun sama. Cinta kalian pasti memiliki takdir yang indah."
"Takdir yang indah?" Rasanya Stella ingin muntah. "Ini kehidupan nyata, Ray, bukan cerita dongeng, yang kebanyakan memiliki alur happy ending."
"Tapi banyak kok cerita dongeng yang sad ending." Lisa buru-buru membekap mulutnya setelah menyadari kesalahan yang dirinya buat. Tidak seharusnya dia bicara selugas itu, apalagi di tengah kondisi seserius ini. "Maaf," bisiknya gugup, apalagi setelah melihat tatapan mata galak dari Naura dan Raya. Pada kasus ini Lisa yang harus mengalah kembali.
Padahal sebenarnya maksud Lisa baik. Gadis itu ingin memberikan semangat pada Stella. 'Kehidupan ini tidak pasti. Kalau Tuan Putri Stella tidak mencoba apa saja yang ada, mana dia tahu hasilnya? Uh, tapi aku mana berani bicara begitu?' Lisa memainkan jemarinya, menunduk sedari tadi.
"Ja-jangan hiraukan Lisa, Tuan Putri!" gagap Naura, mencoba untuk berdiri tepat di depan Stella, agar menghalangi tatapan pemimpin mereka dari si pembuat onar.
Raya mengangguk. Ikut gugup, padahal kebodohan berasal dari Lisa. Kenapa sih Lisa tidak dikeluarkan saja dari The Angel Wings. 'Dari awal aku sudah tidak terlalu suka dengan Lisa. Tapi kenapa Tuan Putri Stella terkesan mempertahankannya?'
"Betul, Tuan Putri!" Kini Raya yang berbicara, setelah mengepalkan tangan dan hampir meninju Lisa. "Lisa itu bodoh. Jangan dihiraukan! Hidup ini bukan cerita dongeng. Tuan Putri benar."
Suasana mendadak menjadi tegang, apalagi setelah Stella tidak memberikan respon apa pun. Kulitnya yang putih pucat seakan semakin memucat, yang sebentar lagi akan menguarkan aura kematian.
Tapi tiba-tiba….
Sudut bibir Stella justru menyungging. Dan tawa kecil nan renyah keluar dari bibir gadis itu. Tawa kecil itu tadinya terdengar sangat lirih, kemudian mendadak semakin keras… semakin keras, sampai kemudian sangat keras.
"Hahaha! Hahaha!" Pundak Stella terguncang berulang kali. Rambutnya yang hitam dan berombak kini berhamburan, menyapu wajahnya yang sangat cantik.
Raya dan Naura melirik satu sama lain. Tadinya mereka bingung karena Stella tiba-tiba tertawa tanpa alasan. Dan karena tawa ketua mereka semakin keras, lambat laun mereka pun ikut tertawa bersama-sama.
Sekarang, tiga siswi yang tertawa terbahak-bahak.
Hanya tersisa Lisa yang kebingungan. Gadis itu menggaruk kepalanya sendiri. "Kenapa kalian tertawa? Ada yang lucu ya?" Matanya memendar polos dan lugu, terkadang terlihat sangat bodoh dan lemah.
Sedetik kemudian Lisa merintih karena Raya memukul punggungnya.
"Aw!" erang Lisa, melotot karena refleks. Tangannya yang kurus mengusap pundaknya.
"Ayo ketawa!" bisik Raya dengan mata melotot, seperti ibu-ibu yang memarahi anaknya yang nakal di depan para tamu yang berkunjung ke rumah.
"Hah?" bingung Lisa, karena tidak paham sama sekali.
"Ketawa!" sambung Raya, mengulangi kata-katanya dengan jeda yang lebih lama. Beberapa kali Lisa berkata hah, sampai membuat kesabaran Raya habis.
Karena sudah tidak tahan lagi…
PLAK!
Raya memukul punggung Lisa dengan cukup keras, sampai meninggalkan ruam merah di kulit Lisa. Setelah melihat Lisa merintih, Raya menarik ujung seragam Lisa, lalu berbisik pada teman satu gengnya itu, "A-y-o k-e-t-a-w-a!" Dan Raya terbahak kembali. Saat Stella melihat padanya, Raya menunjuk-nunjuk Lisa. "Haha, Lisa lucu ya?"
Karena peringatan itu, barulah Lisa ikut tertawa.
Untuk sesaat suasana pun mencair. Mereka larut dalam kebahagiaan sesaat itu.
Stella yang tertawa sampai mengeluarkan air mata, perutnya keram dan kaku. Tapi bahagia menyeruak di hatinya.
Bahkan hanya kebahagiaan kecil itu bisa sedikit menghapuskan kesuntukan dan kelelahannya di rumah. Beginilah cara agar gadis itu bisa membuang stress dan juga rasa muak yang mengganjal di kerongkongannya, yang sering membuatnya sesak napas saat malam hari, yang membuatnya merasa tidak berguna dan tidak diperhatikan.
Hanya bersama teman-temannya.
Tawa mereka yang renyah dan menggelegar akhirnya berhenti sesaat setelah Stella terdiam. Dalam sekejap suasana menjadi tegang kembali.
"Kalian tau kenapa aku tertawa?" tanya Stella dengan wajah kaku.
Semua teman-temannya menggelengkan kepala. Apalagi Lisa. Dia seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Sudut bibir Stella tersenyum simpul. "Aku hanya merasa beruntung karena menjadi ketua The Angel Wings."
"Benarkah?" Naura memajukan wajah dengan ekspresi berseri-seri. "Kenapa begitu Tuan Putri Stella?"
Stella memiringkan kepala, pura-pura berpikir. "Ummm, mungkin…. karena aku cantik dan nomor satu."
Teman-teman Stella menoleh satu sama lain. "Hah? Tuan Putriiii!"
"Tapi serius deh, Tuan Putri Stella ragu di mananya sih? Bastian itu perfect buat Tuan Putri. Jadi jangan disia-siain." Naura menyeletuk lagi. "Apalagi kita sudah berusaha sejauh ini. Kita juga sudah memberi pelajaran pada kakak kelas itu. Kak Luna."
"Betul, Tuan Putri!" angguk Raya mendukung Naura. Hm, dua anak ini memang yang paling cocok. Isi kepalanya cuma menindas orang lain saja. Kalau sampai mereka ada di posisi para korban yang sudah mereka tindas, apakah mereka bisa menanggung akibatnya?
Tapi, yeah, begitu kan para remaja? Mereka selalu saja berpikir pendek, melakukan sesuatu untuk hasil sesaat. Asalkan mereka senang, meskipun di kemudian hari hal itu berdampak buruk, mereka tidak akan peduli.
Memikirkan perasaan orang lain? Bisa jadi itu tidak ada di kamus kehidupan mereka.
"Jadi jangan menyerah! Kalau memang Tuan Putri Stella ada masalah, Tuan Putri bisa cerita pada kami," Raya menambahkan.
Tapi Stella bersikeras. "Aku tidak bisa memberi tahu kalian sekarang, teman-teman. Tapi terima kasih. Kalian memang selalu ada untukku." Pelupuk mata Stella berkaca-kaca lagi. Entah kenapa dirinya terlalu sensitif pada momen-momen seperti saat ini, karena selama ini dia jarang mendapatkan pengakuan dan perhatian dari orang tuanya, sosok yang justru paling gadis itu butuhkan.
Raya dan Naura menyadari kerapuhan Stella. Bersama-sama mereka berhambur untuk memeluk Stella, menepuk punggung temannya itu.
Lisa yang tadinya bengong pun ikut-ikut memeluk Stella, meskipun di kepala gadis itu masih berkecamuk beberapa hal.
"Kalian memang yang terbaik!" bisik Stella penuh haru. Kehangatan menyeruak di hatinya, apalagi setelah Lisa juga ikut memeluknya. Mereka kini menangis bersama-sama, penuh drama seperti di film saja.
"Jangan menangis, Tuan Putri Stella!" mohon Naura tersedu-sedu.
Raya ikut menyeletuk. "Benar. Kami selalu ada untukmu, Tuan Putri Stella."
"Terima kasih." Stella menutup erat matanya, sementara air matanya kembali menetes. Untuk kali ini, sisi keras miliknya melunak sesaat.
Mereka berpelukan untuk beberapa menit, sampai Stella benar-benar merasa lega, dari rahasia dan juga dari masalah yang membelenggunya. Kemudian mereka melepaskan pelukan masing-masing, menyeka mata masing-masing, dan kemudian tertawa bersama-sama.
"Kita bodoh ya?" kekeh Raya, masih menyeka matanya.
"Iya ya?" Kini Naura yang menyahut.
Stella melotot, meskipun dengan mata berair. "Siapa bilang?" Karena nada bicaranya yang garang, teman-temannya pun bungkam, mengira bahwa Stella marah pada mereka.
"Ma-maafkan kami, Tuan Putri Stella!" ujar Raya, Naura, dan Lisa bersama-sama.
Di dalam hati Stella merasa geli. Gadis itu hampir saja terkekeh dan mengatakan kalau dirinya tidak marah. Tapi tiba-tiba saja seorang siswa mendatangi mereka. Tanpa basa-basi, siswa itu berujar, "Hei, kalian dipanggil ke ruang BK sekarang!"
Mendengar hal itu, Stella dan teman-temannya pun menegang.
***