Reiga Evandharu Vardaman putra mahkota kerajaan bisnis keluarga Vardhaman.
Pria berparas luar biasa itu berjalan dengan gagahnya memasuki ruangan CEO. Tempat dulu ayahnya menjabat.
"Bagaimana apa sudah ada jawaban dari Hirawan?" tanya pria pemilik netra hitam pekat itu pada asisten pribadinya.
"Belum ada, Pak. Tapi mereka mengatakan akan segera memberi keputusan," jawab sang asisten dengan yakin. Posisinya berdiri tepat di samping Reiga.
"Desak! jika dalam dua hari tak memberikan jawaban saya tak lagi berminat dengan perusahaan itu," tandas Reiga menganjurkan.
"Baik, Pak. Saya akan memberitahukan pak Hirawan secepatnya."
"Baiklah, Kamu bisa pergi sekarang. Dan tinggalkan data-data mengenai gadis itu." Reiga melirik map coklat di tangan asisten pribadinya.
Pria berprofesi asisten itu meletakan map dengan hati-hati.
"Apa masih ada lagi, Pak?" tanya memastikan sebelum pamit.
"Tidak, kembalilah kemejamu," perintah Reiga.
Setelah asisten pribadinya keluar Reiga meraih map coklat di atas mejanya.
Pupil hitamnya memandang lekat potret wanita seksi. Pakaian seperti kekurangan bahan.
"Sungguh sangat berani. Cocok untuk
membuat mereka kesal," gumam Reiga tersenyum licik. Satu sudut bibirnya menyungging lebih tinggi.
Di tempat lain Livia merasa bulu kuduk berdiri.
"Kok hawanya dingin ya, nyeremin amat. Jangan-jangan ada kolor ijo atau semacamnya ngintip aku," bisik Livia dengan memegang tengkuk leher. Kedua bahu bergidik ketakutan dengan mata tertuju ke segala arah.
Wanita cantik itu masih berada di kamarnya. Baru saja selesai mengeringkan rambut. Hari ini ia sama sekali tak memiliki acara. Biasanya kalau seperti ini akan datang ke klub favoritnya. Menemui pria-pria bertubuh seksi yang siap menemaninya hingga hari berganti.
Tok! Tok! Tok!
"Non, di panggil sama tuan di ruang tamu," beritahu Bi Iyam dari balik pintu.
Livia tak langsung menjawab. Ia melihat jam dinding yang menunjukan pukul sebelas siang.
"Ayah? di ruang tamu? memangnya dia tak ke kantor?" gumamnya mengingat waktu yang sudah siang.
"Non, tuan menunggu." Bi Iyam mengingatkan.
"Iya, Bi. Aku pakai baju dulu!" teriak Livia memberi tahu.
Livia menemui ayahnya hanya dengan menggunakan celana pendek dan yukensi bertali satu. Membuat belahan di dadanya terlihat sebagian.
Kaki jenjang milik Livia menuruni anak tangga. Ramping dan sangat mulus. Suara hentakan kakinya terdengar jelas. Membuat seisi ruangan tamu menoleh padanya.
Ternyata di ruang tamu bukan hanya Hirawan. Ada kedua wanita yang paling ia benci juga seorang pria dewasa yang usianya tak berbeda jauh dengan Livia.
Amber, adik ipar Livia, mengeratkan pegangannya pada lengan pria di sampingnya. Menunjukan pada Livia kalau pria tampan itu miliknya.
Mata Livia memutar malas, dalam hati bergumam, 'emang gue peduli.' Sementara pria itu menatap Livia sayu. Hubungannya dengan Livia sudah tak sedekat dulu. Entah masih atau tidak diperbaiki.
Gerakan Livia sangat santai duduk di sofa. Berhadapan dengan Amber dan pria itu.
"Santai sekali ayah berada di di rumah saat jam kerja," tegurnya pada Hirawan. Kedua tangan melipat di antara perut dan dada.
"Ada yang ingin ayah bicarakan padamu," saut Hirawan tak memperdulikan teguran putrinya.
"Bicara lagi? bukankah semalam sudah dibicarakan."
"Belum, Kamu belum mengambil keputusan bukan." Hirawan berusaha bersikap tenang. Sejujurnya ia sangat cemas mendapat telpon dari asisten Reiga yang terkesan seperti ancaman.
"Masalah perjodohan itu?" desisnya sambil melirik pria di samping Amber.
Pria itu masih memandang Livia dengan sayu. Banyak pertanyaan untuk Livia. Namun, sahabat kecilnya itu sudah jauh berubah. Membuatnya segan untuk mendekat.
"Ya, mereka sangat menunggu jawabanmu," kata Hirawan membuat Livia menoleh padanya.
Di samping Hirawan ada Anya yang setia mendengarkan. Wanita itu hanya diam dan memperhatikan. Sikapnya akan tenang dan kalem jika di depan Hirawan dan Bara.
"Katakan aku akan menemuinya langsung. Malam ini tempat dan waktunya dia yang menentukan lebih bagus di hotel. Sekalian test drive," kekehnya lagi-lagi melirik Bara.
Anya dan Amber memutar bola matanya malas. Memaki Livia di dalam hatinya.
'Dasar wanita murahan.'
Sedangkan Bara meremas jemarinya sendiri dengan erat. Ingin sekali menyeret Livia dan menyadarkan.
"Kenapa tidak katakan sekarang saja. Biarkan ayah yang menyampaikan padanya," cegah Hirawan tak setuju.
"Yang ingin menikah aku dengan tuan konglomerat itu kan? tentu aku yang harus berdiskusi dengan nya. Aku juga perlu tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai, termasuk urusan ranjang," jawabnya dengan tersenyum menyepelekan.
Dara Bara seolah mendidih, ia tak suka jika Livia menerima pernikahan karena bisnis. Bukanya menikah harus dengan seseorang di cintai.
"Baiklah, ayah akan memberitahukan kepada asistennya," desah Hirawan pasrah. Dari pada perusahan mengalami krisis berkepanjangan, lebih baik ia mengalah.
"Bagus." Livia tertawa senang.
Sedangkan Bara sedang memandangnya tajam. Sebagai sahabat masa kecil ia harus segera menyadarkan Livia.
Hirawan meraih ponselnya, menelpon asisten Reiga.
"Selamat siang, Pak Galih," sapanya setelah panggilan tersambung.
"Selamat siang, bagaimana pak Hirawan apa sudah ada keputusan?"
"Begini Pak Galih, Putri saya ingin menyampaikan keputusan secara langsung pada pak Reiga. Dia ingin bertemu pak Reiga malam ini, untuk tempatnya putri saya menyerahkan kepada pak Reiga," beritahu Hirawan dengan ragu. Matanya melirik sang putri yang sedang memperhatikannya.
"Baiklah saya akan berbicara pada pak Reiga." Panggilan terputus. Hirawan meletakan ponselnya.
"Bagaimana?" tanya Livia.
"Asistenya akan berbicara kepada Reiga."
Livia berdecak, "ck, jadi selama ini Ayah berhubungan hanya lewat asistennya? sungguh sangat tidak berarti pernikahan ini," katanya mengasihani.
"Reiga itu orang sibuk, mana mungkin ia akan mengurusi sendiri pernikahan bisnis," sela Amber, si adik ipar. Nada bicaranya harus terkesan seperti prihatin, tapi niatnya untuk menyindir kakak ipar.
"Ya, ada bagusnya juga seperti itu. Setidaknya uangnya tak akan mudah habis untukku berfoya-foya," kekeh Livia tak mau kalah. Matanya menatap sinis Amber.
"Aku senang kalau Kak Livia bahagia." Amber tersenyum dengan hati gondok.
"Oh ya? terima kasih. Tapi sayangnya aku tidak," desis Livia sinis.
Amber menelan salivanya menahan geram. Ia harus bersikap sabar di depan tunangannya. Ia sudah susah payah merebut Bara dari Livia. Ia harus terus terlihat sempurna untuk mempertahankan Bara.
"Reiga setuju bertemu denganmu di Hotel Galaxy," beritahu Hirawan membaca pesan dari asisten Reiga.
"Oke." Livia gegas berdiri.
"Jika mencariku, seharian ini aku berada di Spa. Harus bertampilan cantik sebelum menemui calon suami," kekehya dan berlalu meninggalkan orang-orang yang ia benci.