Nathan sudah dipersilakan pergi dari rumah Kimberly. Namun, dia malah ikut sarapan bersama Viona dan Kimberly.
Kimberly melirik ke arah ibunya yang menatap heran ke arah Nathan yang asyik makan sereal untuk sarapan.
"Kim, makan!" suruh Viona.
Kimberly langsung menyantap makanannya. Sesekali ia melirik ke arah Nathan yang masih asyik dengan makanannya.
"Kenapa kau bisa ada di kamar anakku?" tanya Viona begitu frontal. Sama sekali tak basa basi.
"Aku juga tak tahu. Mungkin anakmu menggodaku," ucap Nathan asal.
Seketika Kimberly menggebrak meja. "Aku menggodamu?" pekik Kimberly.
"Memangnya tidak? Kalau tidak ya sudah," sahut Nathan. Serealnya sudah habis dan ia tinggal menjelaskan semuanya.
"Maafkan aku. Aku yang telah membakar kebun di belakang," ucap Nathan berterus terang.
"Apa?" Belum selesai dengan rasa terkejut karena Nathan sudah ada di kamar Kimberly. Sekarang ia harus terkejut karena Nathan begitu jujur mengakui tentang kebakaran semalam.
"Tak usah khawatir. Akan ada orang yang datang untuk mengganti rugi semuanya," ucap Nathan lagi. "Cepat selesaikan makanmu. Kita berangkat kuliah."
Nathan menatap ke arah Kimberly. Dan Kimberly tak mau menggubris ucapan Nathan.
"Hei!" panggil Nathan
"Jangan sebut aku 'hei'," tukas Kimberly.
"Aku tak tahu namamu. Atau Kupanggil Nona Watson saja?" tanya Nathan.
"Kim! Panggil aku Kim. Jangan panggil aku Watson!" ucap Kimberly tegas.
Nathan merasakan sebuah sensasi tekanan dari ucapan Kimberly. Ia sadar Kimberly tak tahan disinggung tentang marga sang ayah.
"Aku tunggu di luar," ucap Nathan. Nathan segera berdiri dan berlalu begitu saja.
Viona melongo saja melihat betapa tak sopannya Nathan. Tapi entah kenapa, Viona tak bisa berbuat apa-apa. Ia bukan penduduk asli di sini. Ia tak mau mencari masakan dengan orang-orang ini.
"Kim! Siapa dia sebenarnya?" bentak Viona setelah Nathan keluar.
"Aku juga tak tahu, Bu. Dia satu kampus denganku. Tapi dia tidak satu jurusan denganku. Aku juga tak tahu kenapa dia sering sekali muncul di hadapanku, Ibu," ucap Kimberly.
Viona berpikir sejenak. Ia memutar bola matanya. "Mungkinkah dia takdirmu, Kim?" ucap Viona spontan.
"Ibu!" pekik Kimberly. "Aku tak sudi punya takdir dengan seorang gangster!"
"Gangster?"
"Kalau bukan gangster lalu apa? Seseorang yang bisa membakar kebun di tengah perkampungan penduduk seperti ini!"
Viona melihat aura kebencian Kimberly kepada Nathan. Sepertinya benar Kalau Kim memang tak mengenal Nathan. Lalu siapa dia? Kenapa ada di desa ini?
Usai makan, Kimberly segera keluar sambil membawa tasnya. Di depan teras. Nathan terlihat sedang asyik merokok.
"Kenapa kau masih di sini? Pergilah!" ucap Kimberly.
"Kita berangkat bersama," jawab Nathan.
"Aku akan diantar ibuku. Kau mau ikut bersamak?"
"Kau ikut denganku," ucap Nathan santai.
"Hei, bisakah kita tidak berhubungan satu sama lain. Aku benar-benar muak padamu. Pergilah!"
Tak berapa lama sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah Kimberly. Black keluar dari mobil dan segera menemui Nathan.
"Kau sudah memberikannya kepada orang-orang di sini?" tanya Nathan.
"Tinggal tempat ini saja," ucap Black.
"Cepatlah, aku harus ke kampus bersama orang ini," ucap Nathan.
"Baik." Black langsung menuju ke dalam rumah Kimberly. Melewati Kimberly begitu saja.
Kebetulan saya itu Viona baru saja hendak keluar mengantar putrinya ke. Tapi ia malah berpapasan dengan Black, si manusia tinggi besar yang terlihat begitu menyeramkan.
Viona berdiri terpaku begitu saja. Ia tak bisa berkata-kata saat melihat Black.
"Ka-kau siapa?" tanya Viona tergagap. Seumur hidupnya, ia baru pertama kali bertemu orang semenyeramkan Black.
"Perkenalkan saya Black. Saya ingin bertemu dengan pemilik rumah ini," ucap Black begitu sopan. Tak seperti perawakannya yang menyeramkan.
"Sa-saya sendiri," jawab Viona.
"Bisa kita bicara sebentar, Nyonya .... "
"Watson!"
"Iya, Nyonya Watson," ucap Black.
"Ada masalah apa, ya?" tanya Viona.
"Akan lebih baik kalau kita duduk terlebih dahulu," ucap Black.
Sementara itu Kimberly dan Nathan masih di luar rumah. Kimberly menatap Nathan penuh dengan kecurigaan.
"Apa ayahmu seorang pejabat?" tanya Kimberly penasaran.
Nathan menyunggingkan senyum sinis ke arah Kimberly. "Tidak bisakah kau berpikir ke arah yang lebih gelap sedikit?" ucap Nathan.
"Apa maksudnya?" tanya Kimberly.
"Apa yang kau pikirkan tentangku?" tanya Nathan.
"Tak ada," jawab Kimberly.
Kimberly tampak resah bukan main. Ia tak bisa tenang. Kakinya beberapa kali bergerak dengan ritme yang sangat cepat.
"Ada apa denganmu?" tanya Nathan dengan ekspresi penasaran. Ia heran karena Kimberly terlihat cemas.
"Aku harus segera sampai di kampus," jawab Kimberly.
"Kenapa?" tanya Nathan.
"Aku ada kelas seperempat jam lagi," jawab Kimberly.
"Kenapa kau diam saja?"
"Kau sudah merusak hariku sejak pagi. Bagaimana aku bisa memikirkan kelas?" sentak Kimberly.
Nathan segera berjalan mendekati mobil yang tadi dikendarai Black. Sepertinya kunci mobil itu masih ada di dalam.
"Naiklah!" ucap Nathan.
"Aku tak bisa .... "
"Kau tak akan bisa ikut kelas ini kalau kau terlambat," ucap Nathan.
"Sebelumnya kau juga mengatakan hal yang sama," ucap Nathan.
"Aku? Benarkah?" gumam Nathan seraya berpikir. "Ah, sudahlah. Sekarang naik. Kalau kau tak ingin terlambat."
Kimberly bingung. Ia tak mungkin terlambat ke kampus di hari kedua ia masuk. Kimberly pun akhirnya menuruti apa kata Nathan. Ia memilih untuk naik mobil mewah itu. Dan pergi bersama Nathan.
"Kimberly segera memasangkan sabuk pengaman. Dan Rico memperhatikan Kalau Kimberly terlihat sangat tegang.
"Are you ready?" ucap Rico.
"Ya," jawab Kimberly.
Nathan tersenyum penuh arti. Ia segera memjta6 kunci mobil dan menyalakan mesin. Dalam sekejap saja, saat Nathan menginjak gas. Mobil yang ditumpangi Nathan melaju begitu cepat.
"Aaaah! Aaahhh!" Kimberly berteriak saat mobil yang dikendarai oleh Nathan berlalu dengan begitu kencang.
"kau senang?" ucap Nathan yang begitu bersemangat mengendarai mobil ini.
"Pelankan mobil ini! Pelankan!" pekik Kimberly.
"Tenang saja. Kau akan sampai di depan kampusmu tepat waktu," jawab Nathan begitu santai.
Dan benar saja, dua belas menit kemudian. Mobil yang dikendarai oleh Nathan berhenti di depan kampus jurusan sastra.
Kimberly terlihat begitu kacau saya mobil sudah berhenti. Rambutnya acak-acakan.
"Kau gila! Kau memang sudah gila!" pekik Kimberly.
"Kau cukup mengucapkan terimakasih. Jangan bicarakan hal lain.
"Terimalah!" ucap Kimberly seraya membuka pintu mobil. Namun sama sekali tak bisa terbuka. "Hei! Aku ingin keluar!" ucap Kimberly.
"Keluar saja. Aku tidak menguncinya," ucap Nathan datar.
Kimberly berusaha untuk membuka pintu kembali. Tapi masih saja belum bisa terbuka. "Kau sengaja, ya?" pekik Kimberly.
Nathan melepaskan sabuk pengamannya, lalu membukakan pintu mobil di sisi Kimberly dengan cara digeser, bukan ditarik. "Lihat, kan?" ucap Nathan.
Kimberly hanya diam saja. Saat melihat sikap Narsis Nathan.
Bersambung ...