Lexa beruntung karena bantuan Bocca dia datang tiba tepat waktu. Esme sudah geleng-geleng saja menatap Lexa yang begitu heboh berlari berusaha meraih mesin absensi di detik-detik terakhirnya. Mengenakan celana hitam dan kemeja seragam bewarna pink dengan rambut pendek yang sedikit berantakan, Lexa mengatur nafasnya di depan mesin absensi.
"Lexa, ayo ikut aku!" ucap Esme yang cepat menarik tangan itu ke dalam toilet wanita.
"Ada apa?" tentu saja Lexa bingung dan makin bingung saat wanita itu menyodorkan sebuah kotak padanya.
"Apa ini?" tanya Lexa penasaran.
"Ini semua isinya adalah peralatan make up untukmu," ucap Esme bicara dan segera Lexa membuka isinya.
"Dari siapa? Untuk apa?" Lexa melihat isinya yang lengkap.
"Tentu saja untuk kau gunakan selama bekerja! Bukankah Pak Berto sudah mengatakannya padamu untuk berdandan? Hari pertama kemarin anggaplah kesalahan pertamamu! Jangan diulangi lagi!" ucap Esme jelas.
"Aku masih tidak mengerti. Permintaan itu masih tetap tidak masuk akal untukku. Kalau memang dia suka wanita yang bisa berdandan, kenapa aku yang diterima bekerja di sini? Lagipula apa bagusnya wanita berdandan sedangkan banyak hal lain yang bisa dibanggakan dari seorang wanita?" Lexa memang belum mendapatkan jawaban dari itu.
"Citra perusahaan! Semua itu adalah untuk citra perusahaan. Aku tidak mengerti kenapa Pak Berto tidak menjelaskannya padamu. Perusahaan ini merupakan salah satu dari tiga perusahaan terbaik di Perancis dan salah satu dari sepuluh perusahaan terbaik di dunia. Tentu saja seluruh karyawannya tanpa terkecuali harus mencerminkan prestasi itu walaupun itu karyawan rendahan seperti kita sekalipun! Apa kau mengerti sekarang?" tanya Esme sudah terlihat seperti seorang guru yang mengajari muridnya.
"Ah, begitu. Aku mengerti sekarang," Lexa paham.
"Sekarang bawa ini ke atas dan berdandan," ucap Esme sudah siap kembali.
"Kenapa tidak ajarkan aku?" rujuk Lexa.
"Aku tidak punya banyak waktu! Kalau meja resepsionis kosong aku bisa dimarahi. Cari saja di internet," Esme meninggalkan Lexa sendirian.
Lexa sudah berada di 'ruang kerja'nya sendiri saat ini. Menatap sekotak alat make up yang mendadak dia miliki. Lexa bahkan belum sempat bertanya pada Esme siapa yang memberikan semua peralatan ini. Tidak mungkin Esme kan? Apa ini fasilitas perusahaan? Ah tapi rasanya perusahaan juga tidak akan mungkin membuang uang mereka untuk alat make up selengkap ini dan untuk karyawan sepertiku," Lexa jadi bingung sendiri masih menatap kotak hitam bermotif macan tutul ini.
Valdo berjalan santai masuk ke dalam SMA Ecole Business School yang memang berfokus pada pembelajaran bisnis. Salah satu sekolah paling mahal yang ada di Perancis dan juga merupakan milik keluarga Lycaon yang dikelola oleh ibunya sendiri. Valdo bisa dikatakan adalah murid yang paling di sekolah itu. Paling tampan, paling tenar, paling disegani, dan paling segalanya meskipun dia tidak pernah menganggap dirinya sendiri begitu. Dia tidak suka dikaitkan dengan ibunya apalagi kakaknya. Dia ingin dihargai sebagai seorang Valdo titik. Bukan anak siapa atau adik siapa.
Alasan yang sama yang membuat Valdo terus menerus mengendarai bis meskipun kalau dia mau, dia sangat bisa mengendarai mobil atau apapun yang dia inginkan. Setidaknya, dengan naik bis, dia bisa melihat dan mengamati kehidupan manusia yang nyata. Seperti saat Valdo bertemu dengan Lexa. Gadis yang sampai detik ini namanya terus terngiang dalam pikirannya.
Valdo jadi ingat bagaimana dia tidak sengaja melihat Lexa berboncengan dengan seorang pria tadi pagi. Entah kenapa dia merasa perlu bertemu lagi dengan Lexa. Apalagi dia memang berjanji akan mengunjunginya ke perusahaan itu. Tempat yang Valdo kira tidak akan pernah dikunjunginya. Valdo tersenyum tampan membuat para gadis di sekelilingnya seolah meleleh tanpa mereka tahu ada gadis lain yang membuat Valdo tersenyum seperti itu.
"Valdo baby, senyummu cerah sekali pagi ini? Apa yang kau pikirkan? Pasti aku kan?" Rose sudah duduk saja di pinggiran meja Valdo.
"Kau tidak pernah berhenti berusaha!" senyum itu segera luntur dari bibir Valdo.
"Kenapa kau selalu ketus begitu? Apa kau kira aku akan mundur saat kau memperlakukan aku dengan kasar? Hihihi. Aku tidak semudah itu Valdo," ucapnya dengan nada suara menggoda.
"Lagipula apa kurangnya Rose di matamu itu, Valdo? Dia cantik, kaya, datang dari keluarga terpandang!" itu suara Anna, salah satu sahabat Valdo.
"Jangan memaksaku bicara atau aku akan menyakiti kalian semua!" Valdo menggebrak meja dan mendorong sedikit tubuh Rose agar tidak duduk lagi di mejanya.
Valdo memang selalu ketus pada siapapun. Menurutnya semua orang di sekolah itu sama saja. Palsu dan hanya ingin memanfaatkannya saja. Termasuk Rose yang memang merupakan anak seorang pengusaha lainnya di bidang pengolahan minyak. Ya dia kaya dan perusahaan ayahnya juga besar, tapi lalu apa hubungannya dengan Valdo? Dia tidak menyukai dunia yang penuh dengan ketamakan itu.
Valdo punya satu orang sahabat bernama Tonny. Satu-satunya orang yang bisa dia percaya di sekolah itu. Tonny adalah teman yang bisa masuk di SMA itu karena dia punya otak cerdas. Ibu Valdo memang cukup baik memberi kesempatan dua hingga tiga orang masuk setiap tahunnya dengan cuma-cuma. Tanpa dipungut biaya sepeser pun. Biasanya ibu Valdo yang akan memilihnya sendiri dan entah apa kriterianya tidak ada yang tahu.
Tonny dengan rambut lurus dirapikan ke belakang hanya menatap Valdo dari belakang bangkunya. Dari segi manapun dia merasa minder kalau dikatakan sebagai sahabat seorang Valdo. Pria itu yang mendekatinya duluan dan mengajaknya berteman, jadi bisa apa dia. Tonny hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Valdo selalu ketus pada Rose.
"Kenapa kau tidak memberinya kesempatan? Dia sangat tergila-gila padamu!" bisik Tonny.
"Kau tahu alasanku!" Valdo menjawabnya santai.
"Tidak semua orang hanya menginginkan manfaat darimu! Ada juga yang tulus seperti aku contohnya," ucap Tonny meyakinkan.
"Aku percaya padamu, tapi tidak padanya! Dia dan ayahnya sama saja. Berharap bisa bekerjasama dengan kakakku dan aku yakin tidak akan berhenti di sana! Mereka akhirnya ingin menguasai seluruh perusahaan dan aset kami!" ucap Valdo yakin.
"Bukankah kau terlalu berlebihan? Kalau kau benar-benar menjalin kasih dengannya aku yakin perusahaan kalian bisa menjadi lebih besar. Raksasa industri di seluruh dunia!" Tonny berangan.
"Ada apa kau ini? Sejak kapan kau terobsesi sekali dengan kehidupan pribadiku?" Valdo sedikit emosi.
"Maaf maaf. Aku hanya tidak ingin kau terlalu kasar pada wanita. Perempuan bisa sangat mengerikan kalau sudah bicara mengenai hati! Apalagi tipe wanita seperti Rose itu. Aku takut dia dan ayahnya terutama akhirnya akan marah padamu! Kau lasti tidak mau berurusan dengan orang-orang seperti mereka," Tonny mengingatkan.
"Kau pikir kalau mereka maju maka aku akan mundur begitu? Hahaha. Kau tenang saja. Selama dia tidak bertindak lebih jauh. Dia aman!" senyum Valdo penuh arti.