"Aku bukan dedemit. Aku manusia" jawab gadis itu,
Lagi, Naraka terkesima. Cantik. Satu kata yang pantas menggambarkan wajah dari gadis itu.
"Kamu masih di sana kan?" tanya gadis itu dengan tatapan mata yang kosong.
Naraka masih dalam keadaan tenggelam dalam dunianya. Menikmati keindahan dunia fana yang berputar dalam pikirannya.
"Masih kok" sahut Naraka kemudian, dengan tatapan yang masih terikat pada gadis itu. Lagi-lagi gadis itu tersenyum mendengar jawaban Naraka.
"Ah-, aku kira kamu udah pergi" kata Lisya legah, mendengar Naraka masih berada di sekitarnya.
"Ka---mu" tunjuk Naraka, dengan kalimat yang gamang untuk dia selesaikan.
"Aku buta" potong Lisya, membuat Naraka menganga.
Penasaran dengan jawaban gadis di sampingnya. Naraka menghampiri gadis itu. Kemudian melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu. Ingin membuktikan perkataan gadis itu, benar atau tidak adanya. Karena sekilas gadis itu tidaktampak seperti seorang tunanetra.
"Maaf? Kamu beneran buta? Maksud aku, aku kira-, aduh gimana ya ngomongnya…" Naraka kebingungan, seketika otaknya blank dengan hal yang takutnya akan mengakibatkan gadis di depannya tersinggung.
"Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu."Sahut gadis itu"siapa nama mu?" tanya nya ke pada Naraka dengan sorot mata yang ntah menghadap ke mana. Ingin rasanya Naraka, mensejajarkan bahu gadis itu dengan bahunya. Sayangnya, itu akan terasa tidak sopan dan akan membuat Naraka seperti seseorang yang akan melakukan pelecehan kepada seorang gadis yang baru saja dikenalnya.
"Nama ku Arkana Naraka. Panggil aku Naraka, Na-ra-ka, bukan Neraka ya? Karena cita-cita aku jadi penghuni surga. Aaamiin" jelas Naraka mengundang gelak tawa gadis itu.
"Baik, Naraka. Akan aku ingat. Nama ku Alisya Putri, kamu boleh panggil aku Lisya" kata Lisya dengan senyum yang memamerkan kedua lesung pipitnya,
"Kalau aku panggil dengan nama Putri bagaimana? Biar ada kesan tersendiri di antara kita berdua?" usul Naraka, membuat Lisya tersenyum mendengar usulan Naraka, teman barunya.
"Boleh" sahut Lisya,"Kamu-, ada keperluan apa di panti ini? Mungkin aku bisa bantu?" tanya Lisya ingin tahu apa yang dilakukan teman barunya di panti, karena tidak semua orang bisa memiliki akses keluar-masuk ke dalam panti mereka. Mengingat panti mereka kini, tengah menjadi salah satu bagian dari yayasan Kasih Bunda milik keluarga Fernandez.
"Aku ingin menjenguk Rei" jawab Naraka dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya. Ntah mengapa bertemu Lisya seperti sesuatu yang menyenangkan bagi Naraka. Mungkin karena sosok Lisya yang berbeda dengan gadis-gadis yang ditemui selama ini.
"Kamu teman Rei? Seingat aku, Rei tidak mememiliki seorang teman pria. Kalian kenal di mana?" tanya Rei curiga. Bagaimanapun juga Lisya sangat mengenal Rei. Rei tidak suka bergaul dengan lawan jenis, bukan berarti Rei menyukai sesama jenis. Hanya saja Rei membatasi diri untuk berteman dengan pria.
"Ah-, aku rumit menjelaskannya. Tapi yang jelas bukan karena kami saling mengenal. Tetapi, sahabatku yang meminta aku untuk mengunjungi Rei setiap hari. Bisa dibilang, aku ditugaskan untuk melaporkan perkembangan kesehatan Rei setiap hari. Miris kan hidup aku? Bekerja seperti selayaknya bodyguard Rei" jelas Naraka membuat Lisya menganggukkan kepalanya,
"Jadi kamu ke sini untuk Rei, mau aku antar ke kamar Rei?" tawar Lisya, membuat Narak senang. Setidaknya dia tidak sendiri berada di ruangan Rei.
"Boleh, apa aku tidak menganggu kamu?" tanya Naraka, tanpa dapat menyembunyikan nada bahagia di perkataannya.
"Tidak, aku sudah selesai membaca" jawab Lisya, membuat Naraka mengernyitkan dahi nya. Naraka masih belum mengerti dengan perkataan Lisya. Bukankah Lisya seorang gadis tunanetra? Bagaimana dia bisa membaca? Sangat aneh bukan?
Setidaknya hal itu yang berada di dalam pikiran Naraka sejak tadi. Membaca? Bukankah hal itu tidak mungkin bagi penyandang tunanetra?
"Membaca? Bagaimana caranya?" tanya Naraka spontan, seketika Naraka menggigit bibir bagian bawahnya. Bahkan Naraka menepuk bibirnya sendiri, merasa tidak enak dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari dalam mulutnya.
Bukannya tersinggung. Lisya malah tersenyum dan menjawab rasa penasaran Naraka,
"Kamu tau huruf Braille? Aku membaca menggunkan huruf itu.
"Maaf. Apakah aku menyinggung perasaan kamu? Aku benar-benar tidak tahu. Sungguh, maafkan aku" sesal Naraka.
Lisya mencoba mencari sumber suara yang terdengar sendu dan tulus. Kedua mata Lisya memang buta, tetapi hatinya tidak. Dia bisa membedakan siapa yang tulus dan palsu ke padanya.
"Aku tau, kamu pasti akan bertanya seperti itu. Sama seperti orang awam lainnya. Karena mereka belum mengerti. Dulu, aku di sekolahkan Bunda di tempat sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Jadi, aku belajar di sana menggunakan huruf Braille dengan pengajar ahli khusus. Sehingga itu membuat aku termotivasi untuk belajar dan melakukan hal baru" jelas Lisya dan mendapatkan respon antusias dari Naraka,
"Sepertinya seru" celetuk Naraka,
"Kamu terdengar seperti sedang menghibur kebutaan ku?" goda Lisya,
Kontan saja Naraka panik,"eh-,bukan itu maksud aku. Aduh! Maaf-,aku beneran gak ada maksud kesana. Aku benar-benar merasa dunia kamu penuh tantangan. Seperti itu" ralat Naraka, mengundang gelak tawa Lisya,
"Sudahlah. Aku mengerti. Aku hanyabercanda. Mari aku antar ke kamar Rei, bukan kah kamu ingin pergi ke sana? Jangan lupakan tujuan utama kamu ke sini" kata Lisya mengingatkan Naraka,
Naraka memukul jidatnya. Dia benar-benar lupa dengan tujuan awalnya. Bisa-bisa mati dua kali dia, jika Luo tidak mendapatkan laporan tentang kesehatan Rei. Eh-, Naraka belum mati bukan? Kenapa bisa mati dua kali?
"Ah-, kamu benar. Ayo!" ajak Naraka,
Lisya mencoba meraba letak tongkat lipatnya. Naraka yang melihat itu, segera membantu Lisya untuk segera mendapatkan tongkatnya. Lisya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, sebagai ungkapkan terima kasih kepada Naraka. Naraka tersenyum, sayangnya senyuman Naraka tidak dapat terlihat oleh mata cantik Lisya.
*.*.*
Rei terkurung di dalam ruang kerja Luo. Niat hati, ingin bercerita tentang kepiluan yang terjadi hari ini. Malah terjebak dengan kejadian yang membuatnya nyaris membuat Luo marah bahkan membuat kesalahpahaman antara Luo dan Naraka. Saat Rei membuka beberapa kertas-kertas di meja Luo, dia melihat sebuah amplop berwarna merah dengan logo naga berwarna emas.
Sayangnya, tangan Rei dengan berani menarik amplop itu dari kumpulan kertas-kertas yang seharusnya terbuang.
"Ini apa?" tanya Rei kepada Luo yang kini tiba-tiba mengunci tatapannya pada amplop yang Rei pegang,
"Oh itu, seharusnya kamu gak ambil. Karena kamu ambil. Kamu membuat aku ingin menghadirinya" jawab Luo membuat Rei menelan ludah.
Rei menyadari sesuatu. Sepertinya apa yang dia lakukan bukal hal yang baik. Rei menggigit bibir bagian atasnya. Membuat Luo tidak tahan untuk menggoda Rei alias Agatha yang masih duduk di atas pangkuannya.
"Apa aku berbuat salah lagi?" tanya Rei hati-hati, jujur saja Rei tidak ingin mengusik amarah Luo. Kerena hal itu tidak baik bagi kesehatan jantung, hati dan otaknya.