***
"Bagaimana kabarmu selama ini?"
Alis Aletta sedikit mengerut, bibirnya sedikit terbuka menatap Arkhano yang terlihat santai ketika bertemu dengannya lagi.
'Tidak cukup baik? Baik? Sangat baik?' batin Aletta. 'Ku jawab dengan yang mana?'
Aletta tersenyum tipis. "Baik. Bagaimana kabarmu, Arkhano?" ujarnya seolah kalimat tersebut telah dipersiapkan dengan matang sebelumnya.
"Syukurlah kamu baik-baik saja." Anehnya, Arkhano terlihat sangat lega ketika mendengar kabar Aletta. "Bagaimana aku terlihat di matamu? Apa terlihat cukup baik?" jawabnya yang kemudian membalikkan pertanyaan dari Aletta.
"Kamu ini.... Ditanya kok malah balik bertanya?" sahut salah satu kakak kelas mereka.
Arkhano tersenyum miring. Dia terkekeh kecil setelahnya. "Aku kan hanya bertanya pada Aletta. Bagaimana aku terlihat di matanya?" ujar Arkhano sembari melirik Aletta.
Gadis itu tersenyum canggung. Dia memegangi pahanya. 'Kakiku gemetar,' batinnya. 'Apa terlihat oleh orang lain?' sambungnya khawatir.
"Bagaimana, Aletta?" tanya Arkhano lagi. Dia tetap tersenyum menatap Aletta, membuat debaran jantung gadis itu terus menggila.
"Kamu... kamu terlihat baik," jawab Aletta gugup sehingga dia mengulangi perkataannya.
"Sungguh?" Arkhano sedikit menutup mulut dengan tangan. Dia menatap Aletta dengan mata yang sedikit memicing.
"Iya. Kamu terlihat baik," ulang Aletta yang mengalihkan tatapan darinya. "Oh, tadi kenapa, Kak? Kakak bertanya apa?" ujar Aletta mengalihkan pembicaraan dari Arkhano.
"Aku bertanya padamu, selama ini kamu ke mana?"
"Oh, itu... aku ke luar negeri," jawab Aletta sembari merapikan rambutnya ke belakang telinga.
"Di mananya? Luar negeri itu kan banyak. Malaysia juga luar negeri, kan?" ulang kakak kelasnya yang membuat Aletta cukup tidak nyaman. Mereka bahkan tidak sedekat itu.
"Ya... di luar negeri saja."
"Ya, di mananya, Aletta?"
"Uh... itu--"
"Kau tidak sadar? Aletta tidak nyaman ditanya seperti itu," sela Arkhano menatapnya tak suka. "Kalau dia tidak mau menjawab, sadarlah. Itu privasinya!" tegas Arkhano.
"Apa, sih?" Kakak kelas itu menatap Arkhano dan Aletta dengan tak suka. "Membuat malas saja!" cibirnya yang langsung berbalik dan pergi dari sana.
"Ya sudah, pergi saja kalau malas. Tidak ada yang memaksamu untuk tetap di sini," cecar Arkhano sembari tersenyum getir.
"Uh, Arkhano...." Aletta menoleh padanya dengan tatapan khawatir. Pria itu mulai menatap satu per satu kakak kelas yang masih mengerubungi Aletta dengan tajam.
"Kalian juga mau menanyakan hal yang sama? Pergi saja. Aletta punya privasi," ujar Arkhano yang membuat mereka satu per satu meninggalkan Aletta dan dirinya.
Sekarang, hanya tersisa Arkhano dan Aletta di dekat pintu masuk. Arkhano melirik Aletta yang memegangi lengan dengan ekspresi yang kurang bagus.
"Kamu... tidak perlu melakukan hal seperti itu," ucap Aletta menoleh pada Arkhano.
"Terima kasih," balas Arkhano menatap lurus manik Aletta. Membuat gadis itu memutus kontak mata dengan Arkhano.
"Terima kasih," kata Aletta tak menatapnya.
"Sudahlah. Kamu juga terlihat tidak nyaman." Arkhano mengulurkan tangan. "Mau duduk bersamaku?" tawarnya tiba-tiba.
"Huh?" Aletta menatap Arkhano dan uluran tangan itu secara bergantian.
"Puncak acara akan dimulai. Mau duduk bersamaku?"
"Aku... aku akan duduk bersama Gea," ujar Aletta sembari menunjuk keberadaan Gea yang entah ada di mana. Gadis itu sudah menghilang, tak lagi di tempatnya yang awal.
"Gea mungkin cukup sibuk hari ini. Dia panitia, kan? Tidak mau duduk bersamaku saja?"
Aletta sekali lagi menatap uluran tangan Arkhano yang masih kukuh di sana.
"Kalau begitu, permisi." Gadis itu meletakkan tangannya di atas tangan Arkhano yang langsung digenggam erat oleh pria itu sambil tersenyum lebar.
Arkhano membawa Aletta ke meja tempatnya dan Sean tadi. Meja yang berada di paling pojok dan terasingkan.
"Halo, Aletta!" sapa Sean saat Arkhano membawanya ke sana.
"Halo, Kak Sean!" Aletta tersenyum. Dia menoleh sejenak saat Arkhano menarik kursi untuknya.
"Terima kasih," ujar Aletta singkat.
"Bukan apa-apa," balas Arkhano yang duduk di sampingnya.
Sean menahan senyum melihat Aletta yang tampak canggung dan Arkhano yang terlihat bersemangat. Sungguh pemandangan yang berseberangan.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, Kak. Kalau Kakak?"
"Sudah baik dan menjadi sangat baik saat melihatmu. Oh, astaga!" kaget Sean pada akhirnya. Dia menatap nyalang pada Arkhano yang berekspresi datar setelah dengan sengaja menendang tulang keringnya.
"Kenapa? Kenapa, Kak?" tanya Aletta terkejut.
"Bukan apa-apa. Pinggangku... tiba-tiba sakit," jawab Sean dengan sudut bibir yang berkedut. "Ah, sepertinya aku harus ke toilet lebih dahulu," ujar Sean yang langsung berdiri.
Aletta mengerutkan alis. Sean tidak terlihat seperti orang yang sakit pinggang melainkan seperti orang yang pincang.
"Jangan dikhawatirkan. Dia memang sudah tua, jadi sering sakit pinggang," ujar Arkhano yang menuangkan jus jeruk ke gelas kosong, kemudian menyodorkannya pada Aletta.
Aletta terkekeh kecil mendengarnya. "Kak Sean tidak setua itu. Lagipula, kalau kak Sean tua, kamu yang seumuran dengannya juga tua dong, begitu?" ujar Aletta sembari menerima gelas tersebut. "Terima kasih," katanya sambil tersenyum tipis.
"Yah... aku...."
"Lupakan saja," balas Aletta sembari terkekeh singkat, kemudian meneguk jus tersebut.
"Ya, mari kita lupakan." Arkhano mengetuk-ngetuk meja dengan pelan. "Bagaimana kabar tante Stefani dan om Varrel?"
"Mereka baik-baik saja. Mereka sedang di Bali saat ini."
"Oh, di Bali? Kamu tidak ikut?" ujar Arkhano sedikit terkejut.
"Ikut kok. Aku hanya pulang lebih cepat," balas Aletta tersenyum pada Arkhano.
"Kenapa?" tanya Arkhano. "Maksudku, kamu kan bisa berlibur lebih lama di Bali setelah sekian lama.
"Kalau begitu, aku tidak akan hadir di sini." Aletta tersenyum singkat. Dia menatap Arkhano sekilas. "Dan aku juga tidak akan bertemu denganmu lagi."
***
Tak
Aletta meletakkan gelas beer yang telah diteguknya setelah sekian kali dengan kasar. Dia mengurut kening.
'Sial...! Kenapa mulut ini hanya berbicara hal-hal yang tidak berguna saja?!' kesal Aletta membatin.
Setelah mengucapkan hal-hal yang memalukan pada Arkhano, dia langsung pergi ke toilet dan menghubungi Gea untuk pulang karena terlalu malu untuk bertemu dengan Arkhano lagi.
Dan tentu saja Gea tidak bisa diajak pulang bersama, karena gadis itu menjadi panitia yang diharuskan untuk berada di sana selama acara berlangsung.
Tak perlu basa-basi lagi, Aletta langsung memesan taksi online dan melarikan diri dari Hotel Queenza. Dan bukannya meminta supir taksi untuk mengantarnya pulang ke apartemen, Aletta malah meminta supir taksi untuk mengantarnya ke bar yang waktu itu dia kunjungi bersama Gea.
Se-frustrasi itulah dia dengan mulutnya yang telah mengatakan hal memalukan di depan Arkhano.
"Kenapa belum mabuk juga?" gumamnya yang merasa menyayangkan kemampuannya yang sulit untuk mabuk. Padahal, Aletta ingin mabuk saat ini.
"Oh, aku bisa mencobanya dengan itu."
Aletta mendongak. "Hei!" panggilnya pada bartender. "Tolong buatkan bomb shot untukku."
"Kamu serius?" tanya bartender sembari melihat sekitaran Aletta. Tidak ada satupun orang yang menemani.
"Buatkan saja. Aku ingin mabuk!"
"Baiklah. Tunggu sebentar," ujar bartender tersebut yang langsung mengerjakan tugasnya.
"Akh, malu sekali...!" gerutu Aletta sambil menutupi wajahnya ketika mengingat kembali ucapannya pada Arkhano.
"Ini. Silakan," ujar bartender itu memberikan gelas yang berisi bomb shot dengan hati-hati.
Aletta menyeringai tipis. "Terima kasih," ujarnya yang langsung meneguk beberapa campuran minuman beralkohol yang dijadikan satu itu.
"Astaga!" kaget sang bartender melihat Aletta yang langsung menghabiskan segelas bomb shot yang dibuatnya.
"Uh, tolong buatkan lagi," pinta Aletta memberikan gelas yang sudah kosong.
"Kamu... kamu bisa kehilangan kesadaran."
"Tapi, aku ingin mabuk... lebih mabuk... tolong... berikan lagi...," ucapnya mulai melantur dan pandangannya pun mulai kabur. "Satu lagi...."
Aletta menyodorkan gelasnya pada sang bartender.
"Hentikan, Aletta."
Sebuah tangan yang berurat menggenggam erat lengannya. Membuat Aletta langsung menoleh. Wajah pria itu terlihat berbayang di mata Aletta. Namun, dia masih bisa menyadari pemilik suara itu.
"Lepaskan... bukan... urusanmu.... Aku ingin mabuk...."
"Hentikan. Kamu sudah mabuk!" seru Arkhano yang sejak awal sudah berada di sudut ruangan, memantau Aletta dari jauh dengan kekhawatiran.
"Uh... kenapa juga kamu ada di mana-mana?" gumam Aletta yang meletakkan gelas bomb shot, kemudian turun dari kursi dan berjalan dengan sempoyongan.
"Kamu mau ke mana?" ujar Arkhano menahan tangan Aletta.
"Bukan urusanmu!"
"Astaga... tunggu sebentar!" ujar Arkhano melepas tangan Aletta, kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribu kepada bartender.
"Kuharap itu cukup. Aku akan kembali lagi nanti kalau kurang."
Arkhano mengambil tas tangan Aletta yang tinggalkan di meja bar, kemudian langsung berlari kecil mengejarnya yang telah berjalan lebih dahulu.
"Hei, ini terlalu banyak!" seru bartender yang tak dihiraukan oleh Arkhano.
"Aletta! Kamu mau ke mana?"
"Uh, berisik sekali...! Toilet! Aku mau ke toilet!" jawabnya sembari berjalan sempoyongan. "Di mana toilet?"
"Toilet bukan di sana." Arkhano mengarahkan tubuh Aletta ke arah timur laut, kemudian menuntunnya.
"Lepas. Aku bisa berjalan sendiri," ujar Aletta menggoyangkan pundaknya yang dipegang oleh Arkhano.
"Apanya yang bisa berjalan sendiri? Kamu sempoyongan seperti itu!"
"Bisa! Lepaskan aku, Jelek!"
"Huh, jelek?" Arkhano melotot. "Terserah kamu sajalah," ujarnya melepaskan Aletta. Namun, dia tetap berjalan di belakangnya dan mengawasi gadis itu sampai masuk ke toilet.
Arkhano menghela napas panjang sembari bersandar di dinding. Dia merasa beruntung dengan keputusannya yang memilih untuk mencari Aletta setelah gadis itu tiba-tiba meninggalkannya. Saat sedang mencarinya, dia secara tidak sengaja melihat Aletta ke luar dari toilet dengan terburu-buru, kemudian dia memilih untuk mengikutinya yang ternyata malah datang ke bar dan minum dengan sangat bar-bar.
'Apa dia memang suka seperti ini?' tanya Arkhano membatin sembari melihat-lihat lorong dengan pencahayaan yang remang.
"Hmm...."
Arkhano menoleh. Mendapati Aletta yang telah ke luar dari toilet.
"Sudah?" tanya Arkhano yang membuat gadis itu menyadari keberadaannya.
"Kamu... kenapa kamu ada di mana-mana, Arkhano...?" Aletta memicingkan mata.
Gadis cantik itu mendekati Arkhano sampai pria itu melotot karena Aletta yang tiba-tiba memojokkannya.
"Hei, Aletta! Sadarlah!" ujar Arkhano meneriakinya tertahan.
"Kenapa?" Aletta mengarahkan tangannya, mengelus pipi Arkhano, membuat kelopak mata pria itu terus bergetar. "Malu?" tanyanya lagi dengan suara yang rendah.
Arkhano menatapnya dengan mata yang melotot. 'Gawat...! Terlalu dekat!' batinnya sembari menahan pundak Aletta.
"Aletta, jangan begini. Kamu... kamu sedang mabuk. Ayolah, kamu yang malu nantinya," ujar Arkhano menenangkan gadis yang terus menatapnya dengan tangan yang terus mengelus pipinya.
'Siapa yang sedang menenangkan siapa?' batin pemilik nama lengkap Arkhano Nanggala Wijaya, lain dengan mulutnya. Alisnya mengerut, menatap Aletta dengan tajam.
"Hmm, aku tidak suka." Aletta memicing. Dia sedikit berjinjit dan kemudian....
Cup!
Tubuh Arkhano seketika menegang.
———