Chereads / Mendadak Menikah Denganmu / Chapter 10 - Sakit Tapi Tak Berdarah

Chapter 10 - Sakit Tapi Tak Berdarah

"Iya, lalu jas dan kemeja saya mana?"

Zoya lupa menanyakan kemeja dan jas milik Narendra pada sang ibu, apakah sudah di laundry atau belum.

"Belum selesai dicuci, Pak. Nanti kalau sudah, langsung saja berikan pada Bapak."

"Di laundry kan bukan dicuci sendiri?"

"Iya Pak, di laundry."

"Oke."

Zoya pun melanjutkan pekerjaannya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia sudah selesai membersihkan ruangan Narendra. Setelah itu Zoya pun beranjak ke ruangan karyawan untuk membersihkannya lagi. Ketika ia sedang menyapu ruangan-ruangan karyawan, ia melihat dua orang karyawan yang sedang berbisik, sambil memperhatikan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Zoya merasa tak nyaman diperhatikan seperti itu, ia pun bertanya dalam hati, 'apa ada yang aneh yang ada pada diriku?'

Tidak hanya itu, karyawan lainnya juga memperhatikan Zoya dengan tatapan yang sinis, lalu Zoya mendengar sedikit ucapan mereka.

"Eh ini kan orang yang katanya mengambil uang kalau dia lagi bersih-bersih ruangan?" Ucap salah seorang karyawan wanita yang berkacamata.

"Iya, ini dia orangnya, hati-hati, kalau menaruh dompet atau hp!" Balas seorang karyawan wanita dengan yang berbadan gempal itu.

Semua mata tertuju pada Zoya yang sedang menyapu ruangan itu. Zoya tidak mengerti apa maksud ucapan mereka, mengapa mereka menyangka Zoya mengambil uang?

Setelah selesai menyapu ruangan, Zoya meletakkan sapu pada tempatnya, lalu ia menghampiri Aida.yang sedang membersihkan lantai toilet.

"Mbak!" Panggil Zoya. Aida pun menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Zoy?"

"Tadi, saat aku sedang membersihkan ruangan admin, lalu ada beberapa orang yang bisik-bisik membicarakan aku, lalu aku mendengar sedikit pembicaraan mereka. Katanya aku adalah orang yang mengambil uang mereka saat aku sedang bersih-bersih ruangan. Maksudnya apa sih, Mbak?"

"Aku juga nggak tau, tiba-tiba tersebar berita kalau kamu mengambil uang karyawan-karyawan disini saat kamu sedang membersihkan ruangan mereka."

Zoya mengernyitkan keningnya, ia tidak pernah melakukan hal itu, tapi mengapa bisa ada berita itu?

"Mbak, aku nggak pernah mengambil uang orang lain. Bener deh!" Tutur Zoya sambil mengeluarkan air mata. Ia tidak menyangka ada orang yang dengan teganya memfitnahnya seperti itu.

"Yaudah, kalau memang berita itu nggak benar, kamu santai aja."

"Tapi aku kesal Mbak, mendengar fitnahan seperti itu!"

"Sudah Zoy, nggak usah nangis, lanjutkan kerjaanmu sana! Nanti kalau ada yang lihat, malah nggak enak." Ujar Aida, karena ini masih jam kerja, jangan sampai terlihat oleh senior lain kalau mereka sedang berbincang.

Zoya pun masuk ke dalam toilet, karena ia masih ingin mengeluarkam emosinya dengan menangis, agar perasaannya lega. Ternyata seperti ini dunia kerja, lebih kejam dibandingkan dunia sekolah, yang sudah dianggap teman, bisa saja menusuk dari belakang.

Drrttt ... Drrttt ...

Benda pipih milik Narendra yang ia letakkan di atas meja kerjanya bergetar. Narendra menggapainya, ternyata ada telepon dari Haris, teman kuliah Narendra dulu. Narendra pun langsung menerima panggilan itu.

[Hallo, Ris.]

[Iya, Ren. Lo lagi sibuk?]

[Iya, biasa lagi kerja. Kenapa?]

[Malam minggu mau pada kumpul nih. Ikut yuk!]

[Dimana?]

[Di Lentera Cafe.]

[Oke, nanti gue kabarin lagi ya.]

[Ikutlah, sesekali ketemu, kan kita udah jarang kumpul.]

[Iya.]

[Yaudah deh, gue cuma mau kabarin itu aja.]

[Oke.]

Narendra menutup teleponnya. Sebenarnya, ia mau berkumpul dengan teman-temannya namun mereka semua sudah menikah, jadi ada yang bertemu dengan mengajak istrinya, ada juga yang mengajak istri dan anaknya. Jadi, kurang berasa kebersamaannya ketika teman-temannya itu mengajak keluarganya, sedangkan Narendra hanya seorang diri.

Narendra melirik jarum jam pada jam tangan yang ia pakai, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Narendra menelepon ke pantry, ia ingin menyuruh salah seorang office girl untuk membelikannya makan siang, namun teleponnya tidak di angkat. Narendra menelepon Imel, sang sekretaris, namun ternyata sama saja, tidak juga diangkat.

"Pada kemana sih telepon nggak diangkat?" Gumam Narendra, ia sedikit kesal. Akhirnya ia keluar dari ruangannya, lalu ia menunggu lift untuk turun ke basement. Saat sedang menunggu lift, Narendra melihat Zoya yang sedang melewatinya.

"Zoya!" Panggil Narendra lalu Zoya pun menoleh ke arah yang memanggilnya itu.

"Kenapa, Pak?"

Narendra memandang mata Zoya yang terlihat sembab dan memerah, 'ada apa dengan Zoya?' Batin Narendra.

"Ke ruangan saya, sekarang!" Perintah atasannya itu.

Zoya pun mengekor di belakang Narendra, ia masuk ke dalam ruangan atasannya itu. Narendra duduk di kursinya.

"Silahkan duduk!" Narendra mempersilahkan Zoya untuk duduk di kursi yang terletak di hadapannya.

"Kamu kenapa? Kok mata kamu sembab?" Tanya Narendra yang sudah bisa menebak kalau Zoya pasti habis menangis.

Nggak apa-apa kok, Pak!" Balas Zoya. Tidak mungkin kalau tak terjadi apa-apa tapi mata Zoya memerah.

"Ada masalah dengan keluarga?"

"Nggak ada kok, Pak."

"Ada masalah sama pacar ya?"

Zoya menggelengkan kepalanya, "nggak juga."

"Lalu?"

Kalau Zoya ingin mencari muka pada atasannya itu, sebenarnya bisa saja, Zoya tinggal cerita tentang masalah yang sedang dialaminya, namun Zoya bukan tipe orang yang seperti itu, Zoya tidak berkeinginan untuk mencari muka pada atasan.

"Saya cuma sedih aja, Pak. Saya ingin kuliah, saya ingin sukses, agar bisa membanggakan kedua orang tua saya." Tutur Zoya.

"Kamu kan bisa kuliah sambil kerja. Ya kan?"

"Iya. Rencananya saya juga mau seperti itu. Mau mengumpulkan uang dulu untuk pendaftaran kuliah."

"Ya sudah, semangat kerjanya biar kamu bisa meraih cita-cita kamu."

"Iya, Pak."

"Sekarang, kamu beliin makan siang untuk saya ya!" Perintah Narendra seraya memberikan uang pada Zoya.

"Bapak mau makan apa?"

"Saya mau makan nasi bakar."

"Baik, Pak."

"Kembalinya untuk kamu beli makan juga ya!"

"Iya."

Zoya melangkahkan kakinya untuk turun menggunakan lift, lalu ia menuju ke kantin. Setelah sampai di kantin, ia langsung membeli makanan yang dipesan oleh atasannya itu, lalu Zoya pun beli makanan yang sama untuk dirinya. Setelah itu, ia langsung menuju kembali ke ruangan Narendra.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Masuk!"

Zoya masuk ke dalam ruangan Narendra lalu ia memberikan satu porsi nasi bakar untuk atasannya itu, lalu ia memberikan uang kembaliannya juga.

"Terima kasih ya!" Ucap Narendra.

"Iya Pak, sama-sama."

Zoya beranjak keluar dari ruangan Narendra.

"Zoya!" Tiba-tiba Narendra memanggilnya lagi. Zoya pun menoleh.

"Ada apa, Pak?"

"Minta nomor hp kamu dong, biar mudah dihubungi saat jam istirahat."

Zoya pun memberikan dua belas digit nomor ponselnya pada Narendra.

"Ya terima kasih." Ucap Narendra, setelah itu Zoya keluar dari ruangan atasannya itu.

Zoya beranjak ke pantry untuk makan makanan yang baru saja ia beli. Zoya makan sendirian, teman-temannya seolah menjauhinya karena fitnah tentangnya itu. Ia tidak tahu siapa yang awalnya membuat fitnah tersebut sampai akhirnya menyebar luas hingga ke karyawan-karyawan lain. Sakit, tapi tak berdarah, itulah yang Soya rasakan saat ini.