"Tidak ada! Bagaimana mungkin anakku tidak ada di sini? Coba periksa lagi dengan benar, pasti ada yang terlewat," protes Sania kepada pengurus panti asuhan, "mungkin ada kesalahan karena aku yakin anakku dititipkan di sini," tambahnya dengan panik.
Wanita berkerudung pasmina hitam itu sangat yakin, jika dulu sudah meminta sipir wanita untuk menitipkan bayinya di panti asuhan tersebut.
"Maafkan kami Bu Sania, tapi nama dan waktu kelahiran yang Ibu sebutkan tadi memang tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sania hubungi pihak yang dulu membawa putra anda, mungkin dibawa ke panti asuhan lain," tutur pengurus panti asuhan.
Sania merasa dunianya runtuh. Sipir wanita yang mengurus bayinya telah meninggal tiga bulan yang lalu, lalu kini kemana lagi dirinya harus mencari keberadaan putranya itu? Tidak ada teman atau kerabat yang bisa dihubunginya saat ini ketika dirinya baru saja dibebaskan dari penjara.
Ingatan wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu pun, kembali ke enam tahun yang lalu. Di mana dirinya yang sedang hamil muda dituduh menewaskan seorang wanita.
Semua bukti serta sidik jari mengarah pada Sania karena dirinya tertangkap basah berada di kediaman korban, dengan jasad korban yang terlempar ke luar apartemen dan tangannya yang berlumuran darah. Sania pun langsung diseret polisi dan dijebloskan ke penjara tanpa diberi kesempatan mendapat keadilan sama sekali.
Hari Sania sungguh berat tinggal di penjara, terutama dalam keadaan hamil dan mendapatkan perlakuan buruk dari teman satu sel-nya. Ia juga harus bertarung nyawa dengan proses melahirkan yang sulit, hinggga harus terpisah dengan bayinya karena prosedur penjara yang tidak mengizinkan bayi tinggal di sana.
Dengan berat hati Sania menitipkannya di panti asuhan. Setiap hari yang dipikirkannya hanyalah tentang bayinya, bahkan rasa sakit akibat ASI yang tidak tersalurkan tidak begitu sakit dengan rasa sakit karena merindukan anaknya.
Namun, setelah tahun demi tahun dilewatinya dengan air mata setiap harinya. Pengorbanan Sania seakan sia-sia karena putranya tidak pernah ada di panti asuhan. Kini semua angan dan harapannya hilang bagaikan ditiup angin. Entah putranya itu masih hidup atau sudah tiada.
Tiba-tiba Sania teringat mantan suaminya. Ia pikir mungkin saja pria itu yang mengambil dan merawat putranya. Ya. Mantan suami. Pria yang semestinya membela, dan menemaninya waktu itu, malah menceraikannya. Bahkan tidak peduli dengan bayi yang dikandungnya saat itu.
Sania segera mengusap air matanya, berpamitan kepada pihak pengurus panti asuhan dan meminta maaf karena berlaku kasar sebelumnya.
Setelah menempuh waktu satu jam dengan menaiki bis, Sania tiba di kediaman rumah lamanya. Rumah besar itu masih tampak sama seperti dulu, tidak ada yang berubah.
Seorang wanita keluar dari rumah tersebut dengan menatap Sania dari atas sampai bawah karena memakai celana kulot, blouse bermotif bunga dan kerudung yang sudah ketinggalan zaman. Kemudian menanyakan maksud dan tujuannya ke sana.
Sania menanyakan nama pemilik lama rumah tersebut dan ternyata mantan suaminya telah lama pindah, serta tidak ada alamat baru yang diketahuinya.
Sania berjalan dengan langkah yang semakin berat karena tidak tahu lagi harus mencari kemana keberadaan anaknya.
Dengan sisa kewarasannya, Sania pun memutuskan untuk mengunjungi orangtuanya.
"Umi, Abah. Maafkan Sania karena baru bisa menjenguk kalian sekarang," isak Sania duduk bersimpuh di pusara ibu dan ayahnya.
Tangisnya semakin meledak karena teringat enam tahun yang lalu ibunya meninggal akibat serangan jantung setelah mendengar dirinya ditangkap polisi. Padahal ibunya menjanda di usia muda dan membesarkannya seorang diri. Ia belum berbakti apapun sebagai seorang anak. Bahkan di saat ibunya disemayamkan dirinya tidak bisa datang karena berada di penjara.
Masih dalam deraian air matanya, Sania teringat ucapan mendiang ibunya yang selalu berkata bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan dari hambanya. Tapi, kali ini dirinya benar-benar tidak sanggup menghadapi cobaannya. Kehilangan putranya sama dengan kehilangan seluruh dunianya, ia juga sudah sangat lelah dengan segala penderitaan hidupnya selama ini.
Ketika hari semakin petang, Sania perlahan mengumpulkan kewarasannya. Ia pun bangun, lalu berjalan gontai menuju rumah lama orang tuanya.
Namun, tanpa Sania sadari sejak dirinya keluar dari penjara hingga hari saat ini. Ada seseorang yang mengawasi dan mengikutinya.
Baru beberapa langkah Sania berjalan, tiba-tiba dari arah belakang ada seorang pria yang membekap mulut wanita itu hingga akhirnya Sania tak sadarkan diri, lalu pria itu menengok ke kiri dan kanan sembari memapah tubuh Sania menuju mobil yang tidak jauh dari tempatnya tadi. Kemudian Sania ditidurkan di kursi belakang.
"Ini bayaranmu," ujar pria yang duduk di balik kemudi memberikan sejumlah uang pada pria yang membawa Sania ke mobilnya. Ia tidak lain adalah Amran Malik. Pria yang masih memiliki dendam kepada Sania. Calon tunangan dari korban yang dibunuh oleh Sania.
Setelah urusannya selesai dengan orang bayarannya. Amran pun membawa laju mobilnya. Menjauh dari hiruk pikuk Ibukota hingga beberapa jam kemudian tiba di sebuah vila keluarga yang ada di kawasan Kota Hujan.
Sania masih tak sadarkan diri ketika mobil itu tiba di villa. Pria berusia tiga puluh tahun itu membopong Sania ke dalam, lalu sampai di sebuah kamar dan membaringkan wanita itu di atas ranjang.
"Mulai sekarang hidup dan matimu berada di tanganku," desis Amran dengan menyorot tajam pada tubuh Sania yang tidak berdaya.
Baru saja Amran berbalik. Tampak Sania mulai sadarkan diri, membuat pria berbadan tegap itu mengurungkan niatnya untuk ke luar, tapi mengunci pintu kamar tersebut.
Sania memegangi kepalanya yang berdenyut dengan kedua kelopak matanya yang terasa berat. Perlahan menatap langit-langit kamar yang tidak dikenalinya.
"Di mana aku?" gumam Sania yang masih memegangi kepalanya.
"Akhirnya kamu sadar, Sania." Suara bariton Amran yang tiba-tiba membuat Sania melonjak kaget.
Mendengar suara pria, Sania yang terkejut itu langsung terbangun. Detik selanjutnya kedua matanya langsung membelalak ketika tahu siapa pria yang berada satu kamar dengannya itu.
"Pak Amran?!" pekiknya hampir berteriak. Ia ingat betul wajah pria yang merupakan calon tunangan dari korban enam tahun silam.
Sania juga tahu pria dengan tahi lalat di dagunya itu merupakan orang berpengaruh, CEO dari perusahaan jasa penerbangan karena dulunya ia mantan pramugari yang bekerja di sana.
"Kenapa, saya dibawa ke sini, Pak Amran?" tanya Sania dengan suara bergetar sembari mengedarkan pandangannya, mencari tahu sedang di mana ia sebenarnya.
"Seorang pembunuh sepertimu ternyata bisa takut seperti ini?" ejek Amran mendekat ke sisi ranjang sembari melonggarkan simpul dasi yang melingkar di kerah kemejanya.
~Bersambung~
Dukung terus ya. Terimakasih.