Chayeong dan Zeanly menepi diwarung nasi, ya itulah sebutan dari wanita muda itu. 'Gue kira restorant beneran, ternyata cuman warung sangu.' Batinnya.
"Silakan Tuan, Nonna. Duduk, mau pesan apa?" Serobot wanita paruh baya, penjualnya.
Chayeong dan Zeanly baru saja duduk, lelaki itu melihat ke depan sama dimana banyak menu hidangan bermacam macam lebih dari eskpektasi makanan desa yang hanya singkong dan ubi rebus.
"Yang ada saja sajikan." Suruh Zeanly.
Chayeong melotot, hendak ia membatalkan pesanan wanita itu tapi ditutup mulutnya duluan oleh Zeanly. Si penjual yang tak gegabah menunggu konfirmasi, hingga Zeanly mengkode dengan mengangguk.
Si Ibu mengangguk dan pergi, membuatkan pesanan yang diminta. Barulah Zeanly melepaskan bekapannya dari Chayeong, sedangkan lelaki itu ngos ngosan kesal pada gadis itu.
"Kenapa kau pesan semua menu? Kau tahu sendiri aku hanya punya uang sedikit untuk perbekalan." Bisik Chayeong.
"Shutt.. Selain jelek kau juga berisik." Balas Zeanly.
"Aku tahu aku jelek, setidaknya aku berisik artinya hidup." Jawab Chayeong.
"Gak ada yang nyuruh lo bayar pesanannya, untuk ini biar gue yang bayar. Itung itung bayaran karena numpang dirumah ortu lo." Sahut Zeanly tenang.
"Itu kau tak perlu bayar, lagi pula kau akan menjadi menantu pertama dikeluargaku. Sudah sewajarnya aku menampungmu." Ucap Chayeong.
'Bermimpi, siapa yang mau menikah dengan pria kucel dan kumel sepertimu?' Batin Zeanly memutar bola mata malas.
"Hey, jika aku berbicara dengarkan." Tegur Chayeong.
"Berisik sayang, aku sangat lelah jadi aku butuh banyak makanan." Ucap Zeanly.
Chayeong memalingkan wajah dengan pipi bersemu, susah payah ia menahan senyum sumringahnya dipanggil sayang. Tak biasanya ia selemah ini, sangat berbahaya. Dengan gelagat sok sangar, Chayeong menatap Zeanly yang juga menatapnya seperti anak kucing.
'Sial, dia imut sekali.' Batinnya mengadu.
"Karena aku calon suami yang baik, aku yang akan bayar makanan itu nanti-"
"Deal!" Sahut Zeanly tanpa pikir panjang. "Deal itu artinya kesepakatan, tidak ada debat." Lanjutnya menjelaskan.
Makanan tersaji..
Zeanly mencuci tangannya diair kobokan bersih yang disediakan masing masing. Chayeong pun ikut melahap makanan tersebut. Sedangkan Zeanly orangnya pemilih, mencari makanan yang bisa ia makan.
"Kau tunggu apa lagi? Makanlah." Suruh Chayeong dengan mulut penuh nasi hangat.
Zeanly menatap sinis Chayeong. "Kenapa kau jadi berani sekali padaku?" Tanya Zeanly mencari bibit masalah.
Chayeong yang tersadar kalau dirinya terlalu keras pada wanita itu pun menelan makanannya, ia duduk tegap sambil nyengir meminta maaf pada wanita itu.
"Maaf sayang, aku tadi hanya greget cara kau memilih milih makanan." Ujar Chayeong.
"Mulai sekarang aku ingin kau memanggilku Nonna, aku ini bukanlah wanita biasa yang bisa kau kasari sesuka hati." Ucap Zeanly.
"Tapi kan aku calon-"
"Baru calon, jika calon saja kau berani begitu padaku apalagi saat aku menikah denganmu." Sela Zeanly.
Chayeong melihat sekitar mereka, mereka berdua sudah menjadi pusat tontonan karena bertengkar dengan suara terlalu keras. Dengan isyarat permintaan maaf menggunakan tangan, Chayeong merasa bersalah karena mengganggu waktu pengunjung restoran yang lain.
Zeanly berdecak, ia memakan iga sapi yang ia comot dan melahapnya. Bumbu biasa, tak ada yang special tapi terasa gurih karena baru saja dibakar.
"Kita makan dulu, aku minta maaf aku mohon yang tadi tak perlu kita bahas lagi." Bisik Chayeong.
"Ya, tapi tetap kau harus sopan dan memanggilku Nonna." Balas Zeanly disanggupi Chayeong.
Singkat waktu, malampun tiba. Zeanly dan Chayeong sudah berada dipenginapan, mereka meregangkan tubuh. Masing masing memesan kamar, Zeanly menatap jendela yang baru saja ia buka. Ia berada dilantai dua, rumah hotel ini masih asri dengan bambu namun desainnya sangatlah klasik dan menarik.
Cahaya lentera yang terang dan banyak disebrang sana, menyita perhatian Zeanly. Terdengar suara orang orang bersorak gembira seakan menikmati pesta. Hujan telah usai beberapa saat lalu, yang tadinya ia mengantuk pun tak jadi. Ia lebih tertarik dengan sorot cahaya yang kilau dari seberang sana.
Zeanly sudah ada diluar penginapan, berjalan kedepan halaman hotel yang masih banyak orang berlalu lalang dengan pakaian kuno mewahnya.
"Maaf permisi, apa aku boleh bertanya? Cahaya disana itu ada apa ya? Apa ada pesta?" Tanya Zeanly pada salah satu gadis dengan hanbok merah muda.
"Kau siapa? Aku tak pernah melihatmu." Ucap gadis itu.
Chayeong yang kebetulan tengah berada didekat jendela kamarnya, tak sengaja melihat Zeanly yang sudah diluar dengan hanbok biru sederhananya. Karena khawatir terjadi apa apa dengan dambaan hatinya itu, Chayeong memutuskan untuk menghampiri Zeanly diluar sana.
Kembali pada gadis itu yang ditanyai. "Aku Zeanly, aku hanya pengunjung disini." Ucap Zeanly, tak sebodoh itu ia mengatakan jujur identitasnya.
"Ouhh.. Pantas saja aku tak pernah melihatmu. Ouh iya, disebelah sana dekat danau hijau dan luas ada lapangan luas juga. Disana dekat rumah kepala desa disini, karena desa ini sudah termasuk ke wilayah petinggi, jadi ada perayaan. Apa kau juga mau kesana?" Ungkap gadis itu.
Zeanly berpikir. "Perayaan?"
"Iya, tidak dipatok biaya ataupun batasan siapa saja yang bisa ikut melihat perayaan itu. Aku dengar penari hebat dari kota juga diundang, dan.." Gadis itu setelahnya seperti orang berbisik bisik.
"Aku dengar juga ada jenderal Liuzeng, kau tentu tahu sendiri rumor ketampanan yang dimiliki jenderal abdi negara itu." Ucap gadis tersebut sambil menghalu.
Zeanly tersenyum. "Ah begitu rupanya." Sahut Zeanly.
"Namaku Siahe. Aku baru pindah dari desa lain kesini beberapa hari yang lalu, aku juga anak kepala desa disini, apa kau mau ikut denganku?" Tawarnya memperkenalkan diri.
Zeanly menggeleng dengan jelas. "Tidak, maksudku tak perlu repot repot. Sebenarnya aku-"
"Kau takut tidak ada pria tampan ya disana? Jangan salah Nonna, biasanya jika perayaan besar selalu ada petinggi ataupun anak anak petinggi menteri yang ikut melihat. Ayokk!" Ajak gadis itu.
Zeanly yang hampir tak bisa menolak ajakan gadis itu berpikir keras bagaimana caranya menolak, ia hanya ingin berbicara jika ia hanya penasaran dan bukan berarti ingin pergi.
"Nonna!"
Beruntung, Chayeong datang tepat waktu. Gadis yang bernama Siahe tersebut melepas genggamannya pada lengan Zeanly, saat melihat lelaki pucat berambut coklat menghampiri mereka berdua.
"Chayeong?" Ucap Zealy.
"Apa yang Nonna lakukan diluar malam malam begini? Nonna harus istirahat." Ucap Chayeong.
Siahe menatap keduanya, ia menyangka jika Zeanly adalah seorang Lady atau anak dari orang kaya. Terbukti dari ia yang memiliki penjaga pribadi tampan, gagah dan cool.
"K-Kau seorang Lady?" Tebak Siahe.
Keduanya menoleh pada anak kepala desa tersebut.
"Maaf, anda siapa?" Tanya Chayeong pada Siahe.
"Aku Siahe, anak kepala desa disini. Jadi kau seorang Lady? Woahh aku tak menyangka bisa bertemu langsung dengan Lady Zeanly. Pantas saja kulit Nonna sangatlah putih dan bersih, bercahaya dan kharismatik." Fuji Siahe mencari perhatian Zeanly.
"Maaf kalau begitu, saya harus membawa Nonna saya istirahat. Permisi." Ujar Chayeong menarik Zeanly kembali ke penginapan.
"Eh eh mau kemana!" Teriak Siahe yang sudah ditinggalkan mereka.
Siahe masih terpukau dengan penemuannya, jarang jarang seorang Lady bisa keluar dari gerbang pembatas kota. Besok pagi ia harus kembali lagi kesini, kalau ia bangun pagi.
Sedangkan Chayeong dan Zeanly sudah ada didalam kamar Zeanly. Chayeong dengan tanpa permisi mencium bibir Zealy, hanya sebatas mencium lama dan selesai, ia lepaskan dan..
Plak!
"Hahh hahh.. Apa yang kau lakukan!" Marah Zeanly mengatur nafas, dengan kedua tangan menahan dada Chayeong.