Chereads / Lost in Amor / Chapter 2 - There is Always a First Time

Chapter 2 - There is Always a First Time

Gadis itu muncul dari arah samping gedung dan berbelok menuju pintu masuk. Aku yang berlari dengan kecepatan penuh tidak bisa menghentikan langkahku, dan....

BRUK!!!

'Aaaarrrghhh...bodohnya.' Refleks kutengadahkan kepala sambil memejamkan mata dan merutuki kebodohanku sendiri dalam hati. Aku yang biasanya selalu berhati-hati, kali ini melakukan kesalahan yang komyol sekali hanya karena ingin cepat tiba di kantor.

"Aduh, aduh, aduh, aduh, apaan sih nih?!" Gadis berkuncir kuda itu berkata panik sambil menepuk-nepuk pundaknya yang tersiram kopi panasku.

Segelas besar kopi yang belum sempat kuminum itu terlempar ke udara, tumpah tak bersisa karena aku menabrak dengan keras gadis di hadapanku ini, meninggalkan noda kecoklatan di bagian belakang kemejanya dan bagian depan kemejaku. Gawat. Aku harus siap-siap menerima makian.

"Kopi." Aku hanya mampu menjawab singkat.

Gadis di hadapanku tampak kesal. Jelas saja. Semua memang salahku yang terburu-buru hingga tanpa sengaja menabrak gadis di hadapanku yang sepertinya juga akan memasuki gedung yang sama denganku.

"Ya Mas ngapain numpahin kopi ke saya?!" Gadis itu melotot dan wajahnya memerah. Sepertinya gabungan antara kemarahan dan usaha untuk menahan rasa panas di pundaknya.

Pertanyaannya sungguh membuatku meringis. Apakah dia pikir aku sengaja menumpahkan kopi panasku?

"Ya maaf ngga sengaja, Mbak. Saya buru-buru. Maaf, Mbak." Aku meminta maaf dan membungkuk untuk mengambil gelas kopi yang sudah kosong itu.

"Yaudah, lain kali hati-hati ya, Mas." Gadis itu berkata.

Wah, sungguhkah hanya itu yang ingin dia katakan? Tidak ada sumpah serapah sepanjang beberapa menit yang diakhiri dengan meminta ganti rugi?

Gadis itu menyipitkan mata sambil memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir. Apa yang sedang dia pikirkan? Kata-kata makian?

Kutatap wajahnya yang berada beberapa inchi lebih rendah dariku, menanti apa yang akan diucapkannya. Tanpa kuduga, dia malah berbalik arah lalu berlari kecil memasuki gedung tanpa berkata apapun. Tertegun aku dibuatnya sampai tanpa sadar aku menahan nafas lebih lama sebelum akhirnya kuhembuskan.

Aku tersadar dari lamunanku, lalu berjalan masuk ke dalam gedung.

Berjaga di depan pintu, seorang security yang bertubuh tegap dengan wajah yang tampak segar seperti baru mandi. Dia menyambutku dengan anggukan dan senyuman ramah. Bukan main memang cara Papa menjalankan perusahaan beliau. Sepertinya tak seorangpun pegawainya dibiarkan bekerja terlalu lama hingga menimbulkan guratan kelelahan di wajah mereka.

"Selamat pagi. Apakah bapak ingin mengunjungi salah satu kantor di gedung ini? Silakan ambil visitor card di resepsionis." Security itu berkata.

Aaah ya. Aku lupa mengalungkan ID card sehingga membuat security menganggap bahwa aku seorang visitor. Kuambil ID card dari saku celanaku, lalu kutunjukkan kepadanya.

Seketika raut wajahnya berubah kaget, lalu berkata,"OH, Pak Siva?! Maaf, Pak, saya tidak tahu. Saya baru masuk dari cuti dan baru di-briefing tadi pagi. Silakan masuk, Pak."

"Ngga apa-apa. Santai saja." Aku tersenyum melihat kegugupannya.

Minggu lalu Papa sudah memperkenalkanku kepada seluruh orang di gedung ini, termasuk security.

"Perlakukan mereka semua dengan baik, karena mereka adalah keluarga dari perusahaan kita, yang bersama-sama membuat perusahaan berjalan dengan baik." Itu pesan Papa.

"Oke, saya masuk dulu." Kataku sambil menepuk pundaknya.

Aku berjalan ke arah deretan lift di sebelah kanan. Suasana gedung masih sepi karena memang ini baru jam 6. Kulihat gadis tadi berdiri menunggu di depan pintu lift yang tak berapa lama kemudian terbuka. Aku berlari kecil mengejar pintu lift sebelum terlanjur menutup, dan...yeaaaah, akhirnya aku berhasil, tanpa menabrak gadis itu untuk kedua kalinya.

Tak bisa dia sembunyikan ekspresi terkejutnya ketika melihatku lagi. Kusunggingkan senyumku, namun tak dibalasnya. Ah sudahlah, wajar saja kalau dia masih marah.

Aku melihat ke arah tombol lantai tujuan dan kulihat angka 12 sudah ditekan. Oh, jadi gadis ini juga bekerja di lantai 12? Tapi, di lantai itu hanya ada perusahaan Papa. Apa mungkin...gadis ini salah satu pegawai Papa? Ah mungkin cuma visitor. But, wait, seingatku tadi dia langsung berjalan masuk tanpa ditanya security. Jadi memang dia bekerja di gedung ini.

Aku mengambil posisi di belakang gadis itu, menyandarkan tubuhku ke handle lift sambil berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya jika benar gadis itu dan aku bekerja di perusahaan yang sama.

Kuamati gadis di depanku ini. Bagian belakang kemejanya yang kini berwarna kecoklatan membuatku mengatakan sesuatu yang akhirnya aku sesali.

"Maaf ya, Mbak, bajunya jadi kotor, Mbak kerja di sini? Kalau boleh tahu, Mbak kerja di kantor yang mana. Biar nanti saya belikan baju untuk ganti, Mbak. Nggak enak saya."

Oh...my...God...Apa yang baru saja aku katakan? Bukankah itu terdengar seperti seseorang yang berusaha sok akrab? perlahan kujambak bagian belakang kepalaku, berusaha membuat otakku berfungsi dengan lebih baik.

Gadis itu tentunya mengeryitkan dahi ketika mendengar pertanyaanku.

"Ng...nggak papa, Mas, Nggak usah diganti." Jawabnya.

"Tapi, Mbak, bajunya kotor banget karena tadi kopi saya tumpah semua ke baju Mbak. Atau gimana kalau saya ganti....." beberapa menit selanjutnya aku mengucapkan kalimat yang entah bagaimana bisa keluar dari mulutku yang tidak bisa berhenti mengatakan sesuatu yang bodoh. Bahkan kami sedikit berdebat sampai keluar dari lift hingga aku dianggap berusaha menguntitnya, hingga tiba-tiba...

"Ada apa ini, Mbak Gi...oh, eh, selamat pagi, Pak Siva. Sudah datang, Pak? Silakan masuk." Pak Robi, security kantor berkata.

Kejadian selanjutnya adalah aku yang terkejut karena akhirnya aku tahu siapa nama gadis yang membuatku melewatkan pagi ini dengan serangkaian kejadian yang membuat pikiranku campur aduk.

"Brigitta. Senang bertemu dengan Anda." Ucapnya ketika kami berjabat tangan.