Sindi terbelalak seraya mundur beberapa langkah. Dia terus saja meperhatikan Syifa yang saat ini kembali menatap ke arah ponselnya.
Kali ini jempol Syifa tergerak, menekan bagian pengambilan video terbaru di ponsel Sindi. Rupanya di sana hanya ada satu video saja.
Sejenak, Syifa terlebih dahulu menatap ke arah sang empunya dengan tatapan tajam, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya lagi.
Syifa mulai memutar video itu. Seperti halnya tadi, dia tidak melihatnya seorang diri, melainkan, tentu para santriwan yang ada di dekat Syifa ikut-ikutan melihat apa yang ada di dalam ponsel Sindi.
Di tayangan putaran video itu hanya menampakkan cuplikan saja. Tidak keseluruhan mulai dari Syifa awal bertemu hingga perempuan itu meninggalkan Albert.
Di sana hanya menampilkan bagian seperti yang ada di tangkapan gambar. Hanya saja, ini berbentuk video. Bahkan, suara di video itu tidak terdengar kalau saat itu Syifa sedang mengeluarkan suara---berkata kepada Albert kalau dia sudah memutuskan keputusannya.
"Apa yang kamu ambil sebagai pacuan bukti ini belum tentu sesuai dengan realita yang ada!" Syifa bersuara tegas. Dia kemudian melempar begitu saja ponsel tersebut ke arah sang empunya. Tentunya hal itu membuat banyak pasang mata membelalak, terkejut dengan tindakan Syifa.
Kalau saja Sindi dan para santriwati lainnya tidak siap siaga, pasti ponsel itu akan terjatuh begitu saja.
"Kamu ada masalah apa saya saya?" tanya Syifa.
Sindi yang baru saja memeriksa ponselnya pun kini kembali menatap Syifa. Perempuan itu menyunggingkan senyum.
"Maaf, Asyifa. Bukankah tadi Abah bilang kalau kamu ditunggu Abah di ruangannya?"
Syifa menoleh ke arah sumber suara. Lebih tepatnya ke arah Gus Arfan.
"Segera ke sana. Tidak baik membuat orang menunggu lama."
Syifa bergeming sejenak. Namun, setelahnya, dia langsung beranjak begitu saja menuju ruangan pribadi Kiai Faizan. Bahkan, Syifa mengabaikan cemoohan Sindi yang terus saja menilai karakter ketidaksopanan Syifa.
Saat berhenti tepat di depan pintu ruangan Kiai Faizan yang terbuka, Syifa mengingat pada saat awal perempuan itu datang ke sini bersama Gus Arfan. Membaca catatan 'tempat suci' di lantai ini, membuatnya langsung melepas sandal dan bergegas masuk ke dalam.
Syifa menunduk, saat Kiai Faizan sudah menyambut kehadirannya seraya menjawab ucapan salam yang baru saja Syifa ucapkan.
"Maaf, Kiai. Tapi itu tidak seperti apa yang Kiai saksikan di ponsel Sindi." Syifa mencoba membela diri. Bagaimanapun juga, Sindi benar-benar hanya mengambil video dan gambar mengenai cela Syifa. Dia tidak turut mengambil bagian Syifa menemui Albert saat itu.
"Duduklah."
Syifa sejenak melihat pergerakan tangan Kiai Faizan yang mengarah ke arah kursi di hadapan beliau.
Sesaat, Syifa mengangguk kemudian duduk.
"Kenapa kamu tidak izin terlebih dahulu, Syifa? Selain karena itu peraturan pesantren, hal itu juga untuk menghindarkan fitnah apabila terjadi hal yang tidak diinginkan."
Syifa menunduk. "Maaf, Kiai. Saya tidak izin karena saya pikir tidak akan terjadi seperti ini."
Kiai Faizan menghela napas, "Apa yang membuatmu menemui dia, Syifa?" tanyanya dengan penuh kelembutan. Bahkan, saat Syifa kembali mendongak, dia sama sekali tidak mendapati raut murka yang ditunjukkan sang Kiai. Membuat Syifa rasanya bisa leluasa untuk terbuka.
"Saya ...."
Syifa mulai menceritakan semuanya perihal alasan mengapa dia nekat menemui Albert saat itu. Bahkan, Syifa juga berkata, sebenarnya dia bisa saja melawan Albert ketika lelaki itu mencoba menyentuh dirinya. Namun, Syifa terlebih dahulu menyadari karakteristik seorang Albert. Lagipula, tujuan Syifa pada saat itu ingin menyelesaikan permasalahannya, sekaligus mengingatkan Albert agar lelaki itu tidak turut membawa-bawa orang terdekatnya---para santri Al-Huda atau bahkan kenyamanan pesantren yang biasa sebagai pacuan ancaman Albert.
"Bahkan, pada saat awal saya menginjak ke pesantren ini, saya juga kabur dari kejaran Albert. Tetapi untung ada putra Kiai yang saat itu menolong saya," ucap Syifa.
"Sebenarnya ada apa Syifa? Kenapa kamu bisa berhubungan dengan Albert?" Kiai Faizan bertanya dengan lembut. Namun, Syifa menggeleng pelan. "Maaf, Kiai. Saya belum bisa menceritakan hal itu."
Kiai Faizan tersenyum dan mengangguk.
"Tapi, memang apa yang dikatakan Sindi itu benar, Kiai. Saya hanya perempuan hina." Syifa kembali berujar.
"Stt. Jangan bicara seperti itu."
Syifa menunduk. "Saya minta maaf atas kesalahan saya, Kiai."
Kesekian kalinya Kiai Faizan menggeleng. "Jangan meminta maaf kepada saya. Tapi meminta maaflah kepada Allah."
Syifa kembali mendongak. "Tapi Kiai tahu sendiri saya bagaimana. Saya perempuan kotor dan hina. Rasanya saya malu meminta maaf sama Allah. Apalagi saya sudah banyak sekali melakukan dosa. Masa-masa saya sangat kelam. Rasanya mustahil jika saya mendapat maaf dari Allah."
Kiai Faizan tersenyum. "Kalau kita menuruti rasa malu untuk mendekatkan diri kepada Allah, hanya karena mengingat kesalahan kita, percayalah Syifa, kalau itu godaan syaitan. Syaitan mengiming-ngimingi hal tersebut agar kita tidak kunjung mendekat kepada Sang Pencipta. Agar kita terus larut dalam kesalahan yang kita perbuat." Kiai Faizan menghela napasnya.
"Kita harus melawan rasa malu itu, Syifa. Allah Maha Baik. Jika seumpama ada hamba-Nya yang datang kepada-Nya, maka Insyaa Allah, Allah akan dengan senang hati menerima dan menyambutnya." Kiai Faizan sejenak menahan ucapannya. Beliau bangkit menuju sebuah kardus aqua dan kembali ke tempatnya semula.
"Minumlah."
Syifa tercekat. Kedua tanganya dengan ragu-ragu terulur untuk menerimanya. "Terima kasih, Kiai."
Kiai Faizan tersenyum. Mempersilakan Syifa meminum terlebih dahulu.
"Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman ; Wahuwallazii yaqbalut-taubata 'an 'ibaadihii wa ya'fuu 'anis-sayyi-aati wa ya'lamu maa taf'aluun. Yang memiliki arti ; Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan," (QS. Asy-Syura 42: Ayat 25)."
Syifa tertegun dengan lantunan ayat yang baru saja dilantunkan Kiai Faizan. Entah mengapa, hatinya begitu bergetar saat mendengarkan ayat itu. Terlebih lagi mendengarkan arti surat tersebut dari kiainya. Seumur-umur, baru kali ini Syifa bisa merasakan bacaan ayat Al-Qur'an terasa begitu menyentuh di hatinya.
"Allah kerap menegaskan dan juga berfirman dalam Al-Qur'an. Kalau Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan hamba-Nya, selagi hamba-Nya itu mau bertaubat dan mengakui kesalahannya. Apakah kamu masih meragukan hal itu, Syifa?"
Syifa menggeleng, pelan.
"Tidak ada kata mustahil bagi Allah. Jika Allah menghendaki, Kun Fayakun. Jika Allah berkata 'jadilah' maka jadilah sesuatu tersebut. Begitu juga kala kita meminta dan memohon ampunan kepada Allah. Kita harus berserah diri. Jangan berpikiran mustahil mendapat ampunan dan maaf dari Allah."
"Tapi, Kiai. Kesalahan saya begitu banyak. Masa lalu saya yang kerap menjadi--"
"Sttt. Semua manusia mempunyai masa lalu. Mempunyai aib tersendiri. Sebesar apa pun kesalahan kita, dosa-dosa kita, jika kita benar-benar bertaubat kepada Allah, maka insyaa Allah, Allah pasti akan memaafkan serta mengampuni dosa kita. Innallaha ghafururrahiim. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang."