"Pernahkah kau memikirkan ke mana kau akan terbang, kalau kau bisa terbang?" tanya Nana kepada aku yang kecil, cengeng, dan mudah merajuk kalau keinginanku tak tercapai.
Pertanyaan Nana itu tak pernah kujawab, bukan karena aku kecil tak pernah mampu membayangkan manusia bisa terbang selain dalam komik dan film; tetapi karena langit memberiku rasa kesepian yang parah.
Ia memiliki kemampuan untuk menyedot seluruh jiwaku ke dalamnya dan menenggelamkannya tanpa ampun. Aku tak menjawab Nana karena aku tak ingin terbang. Tapi pertanyaan itu berhasil menghentikan rajukanku karena menerbitkan kesadaran di kepala; 'Kalau kau bisa… kalau kau mampu… semua kalau-kalau yang mengiringi keinginan. Kau tak mampu mengendalikan keinginanmu, tapi kau tahu mana yang kau bisa. Jadi, inginkan yang kau bisa saja.'
Nana pernah mengajariku bagaimana membunuh keinginan yang tak mungkin terkabul. Suatu hari di masa kecilku, aku sangat menginginkan seekor anjing kecil yang bisa kuajak lari-lari pagi atau menemaniku membaca komik. Namun, Nana dan Dada tidak mampu membelikan anak anjing. Mereka mengatakan padaku untuk bersabar menunggu pamanku memberikan salah satu anak anjingnya suatu hari nanti.
Lalu, aku kecil memandangi anak lelaki lain yang asyik bermain dengan anak anjingnya dengan mata sedih, dan aku kemudian akan marah-marah melampiaskan iriku. Nana lalu memintaku menuliskan keinginanku di atas kertas, satu keinginan ditulis di setiap selembar kertas kecil bekas kalender. Setelah selesai kutulisi 10 lembar bagian belakang kertas-kertas kalender itu, masing-masing kulipat menjadi perahu kertas kecil. Setelah itu Nana dan aku akan menghanyutkannya satu demi satu di kali kecil di kaki bukit, sambil mengucapkan terima kasih pada Tuhan atas 10 keberuntungan dan kebaikan yang kuterima hari itu.
Satu demi satu perahu kertas kecil itu hanyut. Aku mengucapkan terima kasih Tuhan telah membuatku bangun pagi dalam keadaan sehat, membuat Nana sehat sehingga bisa membuatkanku susu cokelat hangat dan telur kukus untuk sarapan, serta membuatkan Dada teh jahe sehingga Dada bisa bermain sepeda denganku sebelum aku mandi, lalu mengajariku membuat busa sabun, dan itu membuat Nana punya waktu untuk membuatkan kue ubi manis kesukaanku.
Lalu, aku berterima kasih pada Tuhan atas kedua orang tuaku yang bekerja keras sehingga aku bisa memiliki pakaian yang nyaman dipakai dan bagus, buku-buku untuk kubaca, dan mainan-mainan, dan untuk bisa membayari semua kebutuhan Dada dan Nana sehingga keduanya punya banyak waktu mengurusi dan memanjakanku.
Setelah sepuluh keberuntungan yang kurasakan sejak bangun tidur itu kuucapkan dan perahu-perahu kertas hanyut jauh dari pandangan mata kami, aku sudah tak merasa sakit hati lagi meski Nana belum bisa membelikanku anjing kecil. Aku melakukan hal yang sama ketika dadaku penuh sesak oleh kebingungan dan ketidakpastian. Aku bahkan tak tahu apakah aku harus menangis atau marah atau tak melakukan apa pun. Binar menemuiku bukan untuk mengajak kabur ke tempat di mana semua orang tak mengenali atau meributkan kami, tapi untuk memintaku berpura-pura mencintai Hanun dan bermesraan dengannya hanya untuk melibas semua berita tentang kemesraan aku dan Binar.
Aku merasa ada yang salah dengan semua itu. Bukankah Binar menangis berjam-jam menolak untuk melakukan pemotretan hanya karena melihatku bersandiwara mencium kening Hanun? Lalu mengapa di saat seluruh dunia tahu bahwa aku dan ragaku adalah miliknya, Binar ingin aku bersandiwara lagi? Aku tak memahami semua yang terjadi malam ini. Mengapa aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku.
Aku mencari sepuluh lembar kertas dan pena untuk menuliskan sepuluh keberuntunganku hari ini. Pertama, aku bangun tidur dalam keadaan sehat, tak kurang sesuatu apa pun. Terima kasih, Tuhan. Kedua, aku bisa menikmati sarapan roti tumpuk buatanku sendiri dengan banyak selai stroberi dan menikmatinya sambil bertele-video-pon dengan Carra dan Mama. Ajaibnya, tadi pagi mereka berdua tidak mempertanyakan video atau pemberitaan apa pun tentang aku dan Binar. Entah mereka belum melihatnya atau sengaja tidak bertanya padaku, karena tak ingin merusak tele-video-pon kami yang memang jarang sekali kulakukan. Terima kasih, Tuhan.
Ketiga, Kharisma mengatur pertemuanku dengan Binar untuk pemotretan baju berenang di sebuah vila yang berpemandangan indah. Itu adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan karena Binar begitu mengagumkan dan semuanya berlangsung indah menyenangkan. Terima kasih, Tuhan. Tapi, Tuhan, mengapa momen yang luar biasa itu harus diakhiri dengan Kharisma mengumpat menerima telepon, memeriksa laptopnya, kemudian wajahnya jadi sepucat mayat, memberi tahu kami berdua tentang lima perusahaan besar yang ingin meninjau ulang kontrak mereka dengan Binar gara-gara foto video candid kami berdua.
Tapi… Keempat, Binar yang terkejut kemudian harus melakukan meeting tertutup khusus dengan manajemen, meninggalkanku sendirian. Dalam kondisi kalut seperti itu, dia sempat memeluk dan menciumku beberapa detik sebelum bergabung dengan para direktur dan CEO untuk pertemuan penting itu. Terima kasih, Tuhan.
Kelima, Kandi datang menenangkan perasaanku seketika ketika kugunakan nuye untuk memanggilnya. Sesungguhnya, aku merasa tidak enak menggunakan nuye karena tak ingin mengganggu kebersamaan Kandi dengan Langit, Ray, dan Dayu di Angkak. Namun, hati dan pikiranku begitu galau setelah tidur siangku dihentikan telepon Kharisma tentang 5 kontrak terbesar Binar yang benar-benar digagalkan akibat video-video candid kebersamaan kami. Syukurlah Kandi tidak menunda datang sedetik pun untuk menenangkanku dan membawaku ke Bivan. Terima kasih, Tuhan.
Keenam, Kandi menemaniku dengan menjadi ada. Tanpa memaksakan tanya ataupun mementingkan rasa penasarannya, hanya ada di dekatku dan mendengar semua yang kukatakan dan kupikirkan tanpa menuntut jawaban apa pun dariku. Itu sangat menenangkanku, Ya Tuhan, terima kasih.
Ketujuh, Kandi men-teleport-ku untuk melihat Binar dari dekat. Itu pemandangan yang menusuk perasaanku sangat dalam, tetapi entah mengapa Kandi selalu punya obat penenang dalam setiap responsnya kepadaku. Ia menunjukkan kekuatan magisnya; bahwa aku sesungguhnya bisa berada di ruangan di mana Binar sedang diinterogasi keluarganya tanpa terlihat. Hanya dengan menempelkan batu kecil nuye-ku dengan batu kecil berwarna sama di tengkuknya Kandi. Fakta baru itu sedikit menenangkan kegundahanku. Terima kasih, Tuhan. Betapa ajaibnya Kandi… betapa ajaibnya sekarang hidupku.
Kedelapan, Kandi memindahkan anjing-anjing untuk mengusir paparazi! Ya Tuhan, itu sangat menakjubkan! Tiba-tiba aku merasa tidak terlalu merana, meskipun dadaku masih terasa sakit dan sesak melihat Binar. Kandi mengalahkan delapan orang paparazi—musuh abadiku itu hanya dalam waktu beberapa detik saja. Terima kasih, Tuhan.
Kesembilan, Kandi membawaku terbang. Aku hampir merasa itu tidak nyata. Tak ada kata-kata yang bisa menceritakan perasaanku melihat Kandi dengan tubuh mungilnya ternyata selama ini membawaku terbang untuk berpindah tempat. Aku merasa hebat. Terima kasih, Tuhan.
Kesepuluh, kekacauan pikiranku akibat semua ide gila Binar tentang mengaburkan persepsi publik tentang kami seketika hilang oleh kata-kata Kandi padaku. Kandi bisa mendengar isi kepala Binar juga. Aku merasa sangat hebat. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Tuhan.
Semua kata-kata syukur dan keberuntunganku itu tidak kubuat perahu kertas seperti yang kulakukan dahulu bersama Nana, tapi kubuat pesawat kertas kecil, yang kuterbangkan di langit Dangiye bersama Kandi. Ini benar-benar mendamaikan hatiku. Kandi membuatku bisa terbang, aku bisa menerbangkan pesawat-pesawat kertas ke langit mana pun aku mau.
Aku menatap perempuan ajaib ini, napasnya meniup-niup ubun-ubunku. Seketika kuminta ia mengangkat tubuhku ke atas agar kepala kami sejajar, agar aku bisa menatapnya. Kandi langsung melakukannya.
Tangan kananku yang sekuat mungkin menahan posisi batu hijau di gelangku tetap menempel kuat di batu hijau di tengkuk Kandi; jadi terasa lebih relaks. Kini tangan kiriku tidak lagi memeluk pinggangnya, tapi punggungnya. Ujung hidung kami saling menempel. Dari lubuk hati terdalam kukatakan terima kasih yang paling tulus kepadanya.
"Istirahatlah, Armein… aku akan membawamu ke Bivan agar kau beristirahat…" sahutnya perlahan. Aku menjatuhkan kepalaku di bahu kanannya, menghirup leher dan rambutnya, dan tertidur.
Entah berapa lama Kandi membiarkanku tertidur, aku terbangun di atas ranjang bulu di rumah kecil yang kini kukenal baik dan terasa seperti rumahku sendiri. Kami sudah di Bivan, dan wangi makanan yang disiapkan Kandi membuat aku merasa baru terbangun dari tidur panjang yang menenangkan.
Perempuan dengan tujuh lembar selendang melayang-layang ajaib di punggungnya itu terlihat masih melakukan beberapa hal dengan makanan dan minuman di atas meja kayu indah berhias daun dan bunga merambat yang entah dari mana. Kandi terlalu seperti peri, tapi juga terlalu nyata. Aku tak mengerti apa yang sedang Tuhan suguhkan padaku lewat keberadaan Kandi. Ia terasa seperti semua perempuan yang menyayangiku, Mamaku, Nanaku, dan Carra; dalam satu tubuh yang ajaib itu. Namun, di saat yang sama, ia juga semua lelaki yang melindungi dan menyayangiku selama ini; Dada, Binar, dan Papa. Mereka semua dalam satu tubuh ajaib itu. Yang tak sedikit pun mengerjapkan matanya ketika wajah kami berhadap-hadapan, dan saat kedua ujung hidung kami menempel, dan aku yakin ia menghirup napasku seperti aku menghirup napasnya.
Ia dari jenis yang berbeda, yang tidak memerah pipinya saat kutatap lekat-lekat; seperti perempuan lain pada umumnya—baik yang memuja ketampananku atau yang belum pernah mengenalku dan baru bertemu denganku; atau… jangan-jangan Kandi itu tidak memiliki hati. Ia hanya sosok yang sangat baik tapi tak berhati? Tapi hatiku terasa penuh bersamanya; terasa lengkap dan kuat. Bagaimana mungkin sesosok makhluk tak berhati bisa membuat hatiku terasa penuh.
Bayangan Binar semalam dan semua keputusannya sudah tidak membuatku terpuruk lagi. Kandi dan masakannya membuatku merasa kuat melakukan dan menghadapi semuanya. Semua kebingungan yang ditimpakan Binar ke dalam kepala dan batinku sudah tak memberatiku lagi. Bersama Kandi aku merasa mampu melakukan semuanya. Kalau Binar bisa melakukannya, seharusnya aku juga bisa.
"Kandi, apakah kau tahu cara lebih mudah untuk mengikuti permainan Binar? Aku benar-benar malas menemui Hanun lagi…" teriakku padanya. Meski aku tahu sesungguhnya Kandi bisa membaca isi pikiranku tanpa aku harus bertanya dengan suara kencang, entah mengapa aku ingin merusak keheningan ini dan berkomunikasi dengannya seperti manusia biasa. Kandi tersenyum dan melemparkan sebutir apel kepadaku. Untuk membungkam mulutku barangkali.
"Mengapa harus bersama Hanun? Kau kan bisa melakukannya dengan perempuan-perempuan lain?" jawabnya.
"Perempuan-perempuan lain?" ulangku.
Tapi aku tak perlu menunggu jawabannya karena kami berdua kemudian saling bertatapan dan seketika tertawa-tawa bersama. Tiba-tiba saja aku merasa otakku sudah terkoneksi dengan Kandi. Telepati.
Kami menertawakan kemungkinan betapa lebih mudahnya Kandi membawaku bertemu perempuan di belahan bumi mana pun, memotret mereka bersamaku seperti layaknya turis berfoto bersama warga lokal, dan mengunggahnya ke media sosial. Kesimpulan itu sama sekali tidak harus kami bahas atau bicarakan, kami langsung tahu itu yang akan kami lakukan dan tertawa senang berdua.
Aku tertawa berkali-kali bukan hanya merasa senang dengan "telepati" kami, tetapi karena biasanya aku dan Binar yang melakukan ini. Bersepakat tanpa harus mendiskusikannya. Sesuatu yang kami pahami begitu saja seolah dua otak kami terhubung kabel tak terlihat yang membuatnya selalu sinkron. Dengan Kandi, telepati kami jadi lebih masuk akal karena ia memang benar-benar bisa mendengar apa yang tebersit di kepalaku, seperti siaran radio di telinganya.