Entah kata apa yang dapat menggambar perasaan Arabella hari ini. Hatinya berbunga-bunga, perasaannya membuncah hingga tidak bisa lagi mengolah kata yang pantas untuk dia ucapkan.
Melihat bagaimana lelaki itu masih segar, terlihat seperti menikmati kehidupannya walau dalam kesendirian dan kesepian.
"Kau tidak ingin turun?" tanya Gerald saat melihat Arabella yang masih terdiam di posisinya.
"Kau mengenalnya?"
"Bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya, Ara. Dia ayah mertuaku,"
Benar juga. Sepertinya otak Arabella sudah mulai tercemar oleh kebodohan.
"Mau sampai kapan kalian di dalam sana?" tanya Alexander sambil berkacak pinggang. Lelaki itu sudah lebih dulu keluar sedangkan Arabella dan Gerald masih di dalam mobil.
"Ayo, bertemu ayahmu."
Arabella menerima uluran tangan Gerald saat lelaki itu tiba-tiba sudah membuka pintu samping mobilnya dan menyuruhnya untuk keluar.
Genggaman tangan itu terasa berkali-kali lipat lebih hangat.
"Kau tidak perlu terlalu terkejut, Ara. Bahkan seminggu yang lalu kau baru saja bertemu dengan ayahmu,"
Kepala Arabella mengangguk.
Perlahan, lelaki itu mengajaknya mendekat ke arah ayahnya. Meski jantungnya benar-benar sudah berdetak berkali lipat sekarang, Arabella tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri ketika dia bertemu dengan ayah.
Sosok yang bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya.
"Selamat siang, ayah," sapa Gerald.
Lelaki paruh baya yang tadinya sedang menyiram bunga itu sentak menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Gerald. Dia tersenyum dan menghampirinya.
"Apa kabarmu, nak?" tanya ayah sambil menepuk punggung Gerald.
Kemudian, dengan mudah ayahnya berjalan mendekatinya, menarik tubuhnya ke dalam pelukan hangat itu sambil mengecup pucuk kepalanya. "Ayah merindukanmu."
Tidak. Air mata Arabella akan segera keluar sekarang.
Diangkatnya dua tangan miliknya untuk mencengkram kemeja putih yang sedang dikenakan ayahnya, kemudian dia menenggelamkan kepala di dalam pelukan ayah sambil menangis kencang.
Pelukan ayahnya masih terasa sama.
Semuanya masih sama.
"Hei, kenapa menangis?" tanya ayah bingung. Lelaki paruh baya itu sibuk mengelus kepala Arabella yang semakin membuatnya menangis kencang.
"Gerald, ada apa dengan istrimu?" ayah bertanya kepada Gerald karena melihat putrinya terus menangis tersedu-sedu.
Gerald menggeleng. "Dia hanya merindukanmu. Berikan pelukan terbaikmu, ayah. Dia hanya menginginkan itu saat ini,"
Ayah mengangguk saja. Sepuluh menit berlalu, pelukan itu baru bisa terurai. Tidak peduli dengan wajahnya yang sudah semerah tomat dan rambutnya berantakan serta mata yang sembab, Arabella hanya ingin berada di sisi ayahnya lebih lama.
"Sudah puas nak? Yuk masuk, ayah akan masak makanan kesukaanmu. Untuk memperbaiki suasana hatimu, bagaimana?"
Arabella mengusap pipinya yang basah. "Mau."
Ayah tersenyum hangat. Lelaki itu menggenggam lembut tangan putrinya dan menuntunnya masuk ke dalam.
Rumah ini terlihat tidak begitu besar dari luar, namun jika sudah berjalan masuk ke dalam, maka akan berbeda pandangan karena di dalam jauh berkali lipat lebih luas dari kelihatannya.
Rumah ini juga terlihat hijau dan asri. Ayahnya sepertinya sangat senang bertanam, bahkan ada beberapa tanaman ikut masuk ke dalam rumah.
Ayah menuntunnya ke arah dapur yang rapih, kemudian ikut serta mengajak Gerald dan Alexander untuk duduk di sana sedangkan dirinya sibuk memasak di depan.
"Bagaimana? Senang?"
Arabella mengangguk. "Sangat."
Gerald tersenyum lebar, tangan lelaki itu mengusap kedua pipinya lama bahkan menatap tepat di kedua matanya. "Aku tidak suka melihatmu menangis. Namun akan aku maafkan kali ini karena kau menangis bahagia. Lain kali, aku tidak akan mengijinkan kamu menangis."
Terdengar sangat manis.
"Kau tidak melihatku kah? Setidaknya hargai aku di sini!" cibir Alexander kesal. Lelaki itu bahkan langsung bergerak menghampiri ayah dan membantunya mempersiapkan makanan.
"Ara, ada banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan kepadamu. Mungkin setelah kita pulang dari sini?"
Arabella menimbang keputusan itu. "Sebenarnya, aku ingin meminta izin kepadamu,"
Gerald mengangkat alisnya.
"Aku ingin tinggal beberapa saat di sini sebelum aku kembali. Bolehkah?"
Gerald terlihat sedikit terkejut, namun lelaki itu mengangguk. "Tentu saja, aku tidak bisa melarangmu, kan?"
Arabella tersenyum sebagai balasan. Beberapa saat ayahnya kembali sambil membawa dua piring disusul piring yang dibawakan oleh Alexander.
Wangi harum masakan sangat tercium menggoda selera. Ayahnya ternyata tetap sama, hanya ceritanya saja yang berubah.
"Ayah, bolehkah aku menginap di sini?"
Ayah bingung. "Loh? Kamu akan meninggalkan suamimu sendiri? Mana bisa dia ditinggal olehmu, nak."
"Gerald, bisakan?" tanya Arabella sambil merengek. Dia benar-benar ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan menginap di rumah ayahnya. Dia akan kembali mendekatkan diri dan tidak akan menyiakan kesempatan ini.
"Kalau begitu, Gerald tinggallah di sini. Hanya beberapa hari saja, mungkin putriku sedang benar-benar merindukanku,"
Gerald tersenyum puas. Terlihat sekali dari wajahnya yang menatap Alexander jahil.
"Baik ayah. Aku akan berada di sini sampai beberapa minggu. Jadi, kau yang harus menggantikan kekuasaanku, ya?" tanya Gerald kepala Alexander yang sudah misuh-misuh di tempatnya. Lelaki itu menatap Gerald tajam seakan penuh dendam.
"Kau benar-benar harus ikut?" bisik Arabella pada lelaki di sampingnya.
"Tentu saja. Kau kan istriku."
Pipi Arabella memanas kemudian merona merah. Tanda kepemilikan itu entah mengapa terdengar sangat menyenangkan di dengar.
Sadar Arabella!
"Kalian bisa tidur di kamarku, aku akan merapihkan kamar tamu untuk aku tempati," ucap ayah.
Tunggu, kalian?
Maksudnya, Arabella dan Gerald akan tidur dalam satu kamar?
Tidak benar ini.
"Satu kamar? Maksud ayah?"
Ayah malah terlihat terkejut. Namun Gerald lebih cepat berakting di depan ayahnya. "Maksudnya adalah bagaimana kami bisa menempati kamar ayah sedangkan ayah berada di kamar tamu. Kami saja yang merapihkan kamar itu,"
Ayah mengangguk setelahnya. "Baiklah kalau begitu."
***
Langit gelap menyambut. Alexander sudah kembali ke istana, tetapi dua pasang insan itu masih pada pendiriannya.
Gerald sedang asik tiduran di atas kasur sambil membaca buku, sedangkan Arabella masih menahan diri untuk melompat ke atas kasur empuk itu jika tidak mengingat di atas sana ada lelaki lain.
Arabella tetap harus menjaga perasaan Kei.
"Ara, kemarilah. Aku tidak akan menggigitmu," ucap Gerald entah keberapa kali setelah dirinya masih saja melihat Arabella duduk di atas kursi dekat jendela.
"Tidak. Aku tidak akan tidur di atas ranjang itu bersamamu!"
Gerald terkekeh, balasan lelaki itu sungguh amat santai.
"Kita ini, suami dan istri kan? Maka sudah sepantasnya kita berada di atas kasur yang sama,"
Arabella memutar bola matanya. Mulai deh, sifat tengil lelaki itu mulai terlihat.
"Aku tidur di sofa saja." Ucap Arabella final. Kemudian, dia bangkit berdiri dari atas kursi menuju sofa yang ada di dekat kasur untuk membaringkan dirinya di sana.
Namun, belum sempat kakinya mendekati sofa itu, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan langsung terhempas di atas benda empuk yang sangat Arabella pahami.
"Gerald!"