"Ini harus kau obati, Gerald!"
"Tidak mau! Aku harus cepat-cepat kembali sebelum perempuanku dalam bahaya!" teriak Gerald sambil melepaskan kain balutan hangat yang ada di dekat perutnya.
Alex menggeram kesal. "Kau benar-benar keras kepala! Kau bahkan tidak bisa lewat area perbatasan jika kondisi tubuhmu lemah seperti ini!"
Tidak ada yang bisa Gerald lakukan selain menghela napas pasrah dan merebahkan kembali tubuhnya di atas ranjang.
Melihat Alex yang telaten membersihkan beberapa luka di tubuhnya, terutama pada bagian perut dan punggung yang sudah lebam.
Dua minggu ini, dia disibukkan untuk menjaga pertahanan di daerah istananya. Pasukan lawan menyerang dengan sangat hebat, sampai-sampai dia harus ikut turun tangan jika tidak ingin sesuatu hal terjadi pada kerajaannya.
Dua minggu ini juga, Gerald merindukan gadis itu lebih dari apa pun. Gerald juga tahu tentang konsekuensi apa yang akan terjadi pada gadis itu ketika keadaannya seperti ini.
Dan Gerald berjanji, akan menyembuhkan perempuan itu dengan segala kekuatannya. Gerald tidak akan membiarkannya kesakitan lebih jauh lagi.
"Cepatlah!"
"Argh!" teriak Gerald saat Alex dengan sengaja menekan kencang pada luka di perutnya.
Alex terkekeh sambil mendumel kesal. "Harusnya ku biarkan saja perempuan-perempuan itu menyentuh tubuhmu, jika kau cerewet seperti ini!"
Gerald mengeluh dengan mata terpejam menahan sakit. "Kau benar-benar kurang ajar! Awas saja kau! Akan aku turunkan derajatmu jika aku bertemu ayah!"
"Ayahmu lebih mempercayaiku dibanding kau, Gerald."
"Sudah selesai. Kau bisa menemui gadismu sekarang." Ujar Alex sambil merapihkan kotak medis dan pergi keluar kamar.
Gerald menghela napas berat. "Aku harap kau baik-baik saja, Ara," lirihnya sedih sambil menutup mata untuk mengistirahatkan dirinya sejenak.
Hanya lima menit.
Waktu itu cukup bagi Gerald.
Segera lelaki itu bangkit dari duduknya dan menyambar kemeja hitam pendek yang ada di dalam lemari. Proses penyembuhan luka pada tubuhnya biasa tidak memakan waktu yang lama, mungkin hanya perlu waktu dua hari untuk penyembuhan luka-lukanya.
Tidak apa. Sudah biasa bagi Gerald.
Meski semuanya berubah semenjak dia menemukan gadis itu. Gadis masa lalu dan masa depannya yang dapat mengubah 180° kehidupan Gerald.
Suara ketukan pintu menghentikan pergerakan Gerald. Lelaki itu memutar bola matanya dan berjalan mendekat ke pintu untuk membuka benda persegi panjang besar itu.
"Ada apa lagi?"
"Maaf tuan, ada hal genting yang harus dibicarakan oleh para petinggi."
Baru saja Gerald hendak menyemburkan api amarahnya, namun semuanya digagalkan ketika melihat seorang yang menghampirinya itu. "Baik, saya akan segera ke sana."
Lagi-lagi, Gerald gagal menghampiri gadisnya.
Maafkan Gerald, Arabella.
***
"Sakit bu," rengek Arabella kepada ibunya sejak beberapa waktu ini. Gadis itu terus menangis sepanjang waktu sambil menahan sakit yang menimpanya sejak dua minggu terakhir ini.
Segala cara sudah dilakukan oleh ibunya dan Kei. Mulai dari diberi obat, dikompres, dibawa ke dokter, dan lainnya. Namun tidak ada satupun yang berhasil.
Arabella tidak tahu sakit apa yang menimpa dirinya. Sangat aneh, mengingat dia tidak pernah jatuh atau dipukul oleh benda tumpul, namun luka-luka pada tubuh dan wajahnya seakan menggambarkan hal tersebut.
Pernah sesekali, dia, ibunya dan Kei hampir ribut karena mereka mengira jika Arabella dijahati oleh orang lain. Namun Arabella menyangkal, dia bersumpah tidak pernah berkelahi dengan orang lain.
Dan dua minggu belakangan ini seolah menjadi pertanyaan menggantung yang belum memiliki jawaban. Mengapa bisa ada luka lebam, sedangkan Arabella sehari-hari kerjanya hanya di kasur saja.
"Tahan ya sayang, ibu juga bingung harus bagaimana. Kau tahu kan? Segala cara sudah kita lakukan untuk mencari tahu sumber lukamu itu, namun tidak ada satupun yang berhasil." Jelas sang ibu sambil berusaha mengompres bagian tubuh Arabella yang lebam berwarna biru dan ungu.
"Kei di mana, bu?" tanya Arabella sambil terisak.
"Ibu sudah menghubunginya sejak kemarin, namun dia belum menjawab telepon dari ibu. Mungkin ada beberapa hal penting yang harus dia lakukan."
Tak lama, suara bel pintu berdering. Membuat ibu bergegas pergi menyusul untuk melihat siapa yang bertamu.
"Loh, kamu?"
"Permisi bu, saya Gerald. Teman Arabella."
Ibu Arabella mengernyit. Sudah lama sekali sejak pengusiran lelaki itu dari rumahnya, kenapa sekarang dia mengaku-ngaku sebagai teman Arabella?
"Ada urusan apa, dik?" tanya ibu berusaha seramah mungkin. Paling tidak bisa jika tidak ramah dengan tamu.
"Saya sempat dengar, kalau Arabella sedang sakit selama dua minggu belakangan ini? Boleh saya menjenguknya, ada beberapa obat-obatan yang saya miliki untuk penyembuhan luka dalam."
"Saya sudah berusaha menyembuhkan Arabella selama dua minggu terakhir ini, namun tidak ada satupun yang mempan. Jika memang kamu bisa, silahkan masuk,"
"Terimakasih bu,"
"Saya boleh panggil adik, siapa?" tanya ibu berusaha mengakrabkan diri.
"Ibu boleh panggil saja, Gerald."
"Kamu tampan seperti dewa. Ibu bisa melihat aura berbeda dari tubuhmu, mengapa begitu ya?" kekeh ibu sambil membuka pintu kamar Arabella.
Gerald tersipu malu. "Mungkin hanya perasaan ibu saja."
"Itu Arabella. Sejak dua minggu lalu, dia tidak bisa ke mana-mana karena mengeluh sakit. Terkadang, ibu sampai menyerah, tidak tahu lagi bagaimana menyembuhkan dia."
Gerald menatap nanar ke arah gadis yang sedang berbaring lemah di atas kasur. Dari jauh saja, dia bisa merasakan hatinya berkedut sakit begitu melihat banyak luka pada wajahnya.
Itu masih pada wajahnya, belum sampai ke dalam tubuhnya.
Bahkan, seorang Gerald saja sulit menahan rasa sakit itu. Apalagi Arabella.
"Ibu tinggal kalian ya? Ada sesuatu yang harus ibu urus."
Gerald mengangguk dan tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
Gadis yang sejak tadi masih berbaring, belum juga sadar akan kehadirannya.
"Ibu, siapa yang datang?" tanya Arabella dengan suara parau. Kedua kelopak matanya masih tertutup rapat.
Karena tidak mendapatkan jawaban, gadis itu membuka kelopak matanya, kemudian beringsut terkejut setelah mendapati lelaki yang dua minggu ini tidak mengganggu hidupnya.
"Kau, bagaimana bisa ada di sini?" Arabella meringis saat tubuhnya bergerak. Hal itu membuat Gerald mengambil kursi dari meja belajar dan menariknya mendekati kasur.
"Aku harus menyembuhkanmu." Tatapan Gerald lurus menatap mata indah gadis di depannya.
"Bagaimana bisa? Bahkan seorang dokter profesional saja tidak bisa menyembuhkanku!"
"Bisa. Aku bisa, Arabella. Kau hanya harus percaya kepadaku."
"Bagaimana aku percaya?"
Gerald mendekat. "Tutup kedua matamu, lalu letakkan kedua tanganmu di atas tanganku," ucapnya sambil memberikan telapak tangan kepada Arabella.
Arabella tidak tahu, mendapat angin dari mana karena dia begitu mempercayai lelaki di depannya.
Namun, ketika dia meletakkan tangan di atas tangan hangat milik Gerald, kemudian lelaki itu menggenggamnya hangat, dia tidak lagi merasakan apa pun dari tubuhnya.
Semua sakitnya hilang.
Benar-benar hilang.
***