Chereads / Secangkir kopi untuk Raditya / Chapter 62 - Aku akan di sini

Chapter 62 - Aku akan di sini

Rembulan memandangi ponselnya, sedari tadi dia mengumpulkan keberanian untuk menelpon Raditya. Rembulan tahu dia salah telah pergi begitu saja meninggalkan laki-laki itu tanpa penjelasan.

Harusnya Rembulan berpikir bagaimana tidak enaknya diperlakukan seperti itu, seperti ketika Ari meninggalkannya, apapun alasannya. Situasi yang terjadi membuat Rembulan tidak bisa berpikir jernih. Tak perlulah Rembulan mencari alasan pembenar akan sikapnya. "Sudahlah, kamu itu salah!" Itu tadi yang dikatakan Sarah ketika Rembulan menelponnya.

Sarah mengomel padanya saat tadi dia menelpon  setelah tiga hari Rembulan mematikan ponselnya. Dia belum ingin bicara dengan siapapun.

"Aku bingung, menghubungi ponselmu tidak aktif. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja, akhirnya aku memberanikan diri menelpon mamamu. Kalian berdua membuat hidupku tidak tenang!"

"Ada apa dengan Raditya?Dia baik-baik saja kan Sar?" Ada terselip rasa khawatir di hati Rembulan.

"Iya, dia baik-baik saja. Setiap hari aku menanyakan keadaannya lewat David. Aku tidak pernah sebegitu ingin tahunya dengan keadaan seseorang, baru kejadian ini yang membuat aku jadi begini. Huh !"Rembulan mendengar Sarah mengembuskan napas.

"Maafkan aku." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Rembulan.

"Bicaralah padanya." Sarah berkata sebelum dia menutup ponselnya.

***

Raditya baru mengangkat telpon pada dering kesekian, "Lan, bagaimana keadaanmu?"Kalimat pertama yang Rembulan dengar dari laki-laki itu.

"Maafkan aku Dit..."

"Kamu baik-baik saja kan?" Suara Raditya terdengar cemas. Rembulan hanya diam, dia sedang tidak baik-baik saja. Tapi dia tidak ingin mengatakannya.

"Dit, aku tahu tindakanku salah telah pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan apapun padamu. Maafkan aku."

"Lan, aku ada di dekatmu dan kamu bisa bicara denganku. Dengan pergi begitu saja itu bukan cara orang dewasa menyelesaikan masalah. Kamu pergi tanpa penjelasan. Kamu tidak memberikan kesempatan untukku bicara." Raditya menumpahkan semua perasaannya. Dia sudah memendam semuanya selama berhari-hari.

"Maafkan aku..."

"Kembalilah! Aku rindu!"

"Aku tidak bisa kembali. Aku membutuhkan waktu untuk mengatasi ketakutanku. Dit, jangan pernah menungguku...aku tak tahu kapan aku akan kembali ke Jakarta. Aku tidak tahu kapan aku akan siap. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa padamu."

"Apakah kita harus mengakhiri hubungan kita?"

"Ya," Rembulan menangis, sungguh berat mengatakannya namun dia tidak mungkin membuat Raditya menunggu dalam ketidakpastian.

"Aku belum siap untuk kehilangan kamu dan aku memang tidak pernah siap untuk itu. Lalu kenapa kamu harus mengatakan itu?" nada suara Raditya terdengar frustasi.

"Jangan menungguku, maafkan aku." Rembulan menutup telponnya, mengakhiri pembicaraannya dengan Raditya. Setelah itu dia menangis.

***

Raditya diam terpaku, hatinya sakit mendengar Rembulan berkata untuk mengakhiri hubungan mereka. Dunianya terasa runtuh. Baru kali ini dia merasa mencintai seseorang begitu menyakitkan.

***

Enam bulan sejak kepergian Rembulan.

"Sar, besok aku akan ke Medan. Ada pekerjaan, aku ingin melihat Rembulan walaupun dari jauh. Tolong berikan alamat rumahnya." Raditya memohon pada Sarah yang duduk di depannya.

Mereka bertiga bertemu di kafe tempat Sarah sering nongkrong bersama Rembulan. Tadi Raditya menelpon Sarah dan mengajaknya bertemu di kafe. Dia sudah tak bisa menahan keinginannya melihat Rembulan walaupun dari jauh.

Sarah tampak berpikir, menimbang-nimbang. Rembulan tak ingin mendengar sedikitpun tentang Raditya, Sarah kadang memancing dengan menceritakan sedikit tentang Raditya. Rembulan langsung mengalihkan pembicaraan dan tak pernah bertanya lebih lanjut. Sarah takut Raditya akan kecewa.

"Aku dikasih apa kalau kasih alamat Rembulan? Ini taruhannya nyawa lho," katanya bercanda dan disambut dengan lirikan tajam dari David. Sarah cemberut demi melihat lirikan mata David. Ih, nggak bisa bercanda!

"Begini saja, akhir-akhir ini Rembulan sedang mencoba menulis novel. Dia sering menulis di sebuah kafe langganannya. Aku pernah diajak ke sana. Dia selalu memilih duduk di sudut dan akan duduk di sana selama beberapa jam. Nanti aku akan tanyakan alamatnya padamu dan jam biasa dia ke sana." Sarah tahu percuma Raditya diberikan alamat Rembulan dan menunggu Rembulan keluar entah kapan.

"Caranya? Rembulan pasti curiga." Raditya sedikit pesimis.

"Tenang saja, aku pasti punya cara. Aku sangat mengenalnya. Gampang lah itu!" Sarah menjentikkan jarinya. David tersenyum lebar lalu membelai lembut kepala Sarah.

***

Disinilah Raditya berada sore ini. Melihat perempuan itu memasuki kafe dengan langkahnya yang tegak. Raditya menutupi wajahnya dengan topi dan sengaja berada duduk di balik pilar agar tidak terlihat oleh Rembulan.

Beberapa bulan tidak melihat perempuan itu membuat jantungnya bagaikan berlari. Andaikan dia bisa menyentuh perempuan itu. Kali ini cukuplah melihat sosoknya dari jauh. Matanya tak bisa lepas memandang perempuan itu. Perempuan itu tetap terlihat cantik seperti terakhir dia melihatnya.

***

Rembulan membuka laptop, baru beberapa baris yang dia ketik, bahkan belum mencapai satu episode. Dia memikirkan kalimat apa lagi yang akan dia tulis. Hanya beberapa bait puisi yang melintas di kepalanya untuk dijadikan prolog.

Ah, sialan! otaknya buntu. Dia sengaja sudah keluar dari cangkangnya dan mencari suasana baru tetap tak bisa menuliskan novelnya.

Rembulan sudah beberapa kali mendatangi kafe ini, dulu bahkan dia pernah mengajak Sarah ke sini. Entah mengapa Rembulan tidak berminat untuk mencari kafe lain, dia sudah terpikat dengan suasananya.

Rembulan mengedarkan pandangan ke segala arah, mungkin ada sesuatu yang bisa dijadikan inspirasi. Bisa saja inspirasi berasal dari sepasang pengunjung yang sedang berpegangan tangan, bunga di dalam vas, beberapa perempuan yang sedang tertawa atau laki-laki dibalik pilar yang menutupi dirinya dengan topi. Laki-laki itu terlihat misterius.

Namun, dia tidak menemukan satupun yang bisa dijadikan inspirasi. Tetap buntu.

Beberapa waktu disitu, kali ini Rembulan merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Duduknya menjadi tak tenang. Segera dia menandaskan kopinya. Rembulan berdiri dan pergi meninggalkan kafe.

***

Satu tahun kemudian

"Dari mana?" Mama melihat Rembulan berpeluh, keringatnya serupa titik-titik air di dahi.

"Dari keliling-keliling kota," Rembulan tersenyum menunjukkan kamera yang dibawanya.

"Apalagi sekarang yang jadi obyek fotomu?"

"Bangunan Belanda, aku mengagumi arsitekturnya, aku sedang tertarik mempelajari sejarah."

"Mau menulis novel sejarah?"

"Mungkin...aku belum tahu." Rembulan menghempaskan bokongnya di kursi yang berada di samping mama. Tangannya mencomot pisang goreng, perutnya lapar. Dari tadi pagi sampai sore berkeliling tak membuat perutnya lapar, setelah sampai di rumah baru dia merasa lapar.

"Beli buku lagi?" Mama menggeleng melihat buku-buku di dalam tas plastik yang berada di tangan Rembulan,  rak buku di perpustakaan lantai dua sudah hampir penuh. Entah akan ditaruh dimana lagi buku-buku yang dibeli anak gadisnya ini.

"Tadi aku mampir ke Titi gantung. Sekedar melihat-lihat, ternyata aku menemukan buku-buku bagus."

"Ah, selalu alasan melihat-lihat." Rembulan tertawa menyambut perkataan mama. Alasannya selalu itu-itu saja, mama sangat mengenalnya.

"Ma, bagaimana kalau dalam minggu ini aku kembali ke Jakarta?" Rembulan bertanya ragu.

"Kamu sudah siap?"

"Ya, ada sesuatu yang harus aku selesaikan."

"Novelmu?"

"Bukan..." Mama tahu yang dimaksud Rembulan.

"Pergilah! Kalau suatu saat nanti kamu ingin pulang ke rumah ini, mama akan selalu menyambutmu." Rembulan tersenyum memeluk mama.

"Kenapa cuma mamamu yang dipeluk?" Papa datang menghampiri, senyumnya mengembang.

"Nggak pernah mau ketinggalan!"

"Lho, harus lah! Sudah lama anak gadisku yang bandel ini tidak memelukku." Rembulan menghambur, memeluk papa erat.

***

"Jadi anak bandel ini mau kembali ke Jakarta?"

"Begitulah katanya." Mama menepuk punggung tangan Rembulan.

"Kau rindu ketemu sama aktor pujaanmu itu?" Papa terkekeh menggoda Rembulan. Mama mengerling, sudut matanya menangkap raut wajah anak gadisnya yang tersipu.

***

Rembulan sengaja tidak memberitahukan kedatangannya ke Jakarta kepada Sarah. Dia ingin memberikan kejutan kepada sahabatnya.

Sebenarnya kepulangannya untuk memastikan perasaannya pada Raditya dan juga membuktikan bahwa dia sudah bisa mengatasi rasa takutnya.

Ada malam-malam tidurnya selalu gelisah dihantui mimpi buruk peristiwa penculikannya dan juga peristiwa di klub. Dia terbangun dengan bersimbah peluh dan kadang menangis. Berat untuknya menghilangkan semua itu.

Satu tahun juga dia tidak mendengar suara Raditya, hanya melihat dirinya lewat iklan berbentuk baliho di jalan atau televisi. Setelah dia menelpon Raditya hari itu dia tidak bicara lagi. Dia sengaja mengabaikan telpon dari Raditya. Dia tidak ingin semakin tersiksa mendengar suara laki-laki itu. Melihat wajahnya saja walaupun tidak secara langsung sudah memporak-porandakan hatinya.

Dia juga sengaja tidak mau mendengar cerita tentang Raditya dari Sarah. Bukan karena Sarah tidak menceritakannya tapi memang dia yang tidak ingin mendengar. Kalau Sarah mulai menyinggung soal Raditya, Rembulan langsung mengalihkan pembicaraan dengan cerita lain. Pernah Sarah bilang kalau Raditya masih menunggunya, begitu mendengarnya jantungnya langsung berdetak cepat. Rembulan sempat terdiam.

Rembulan mengambil penerbangan paling akhir, dia belum ingin bertemu dengan Raditya. Berharap laki-laki itu tidak berada di rumah atau sudah tidur. Sesungguhnya dia belum siap untuk bertemu Raditya. Atau dia takut ternyata semua tidak seperti yang ada dalam imajinasinya. Rembulan tak tahu.

Waktu satu tahun mungkin sudah membuat laki-laki itu melupakannya dan memiliki perempuan lain sebagai kekasih.

***

Rembulan melihat lampu rumah Raditya gelap. Mungkin Raditya sudah tidur. Rembulan perlahan memasuki rumah. Betapa dia sangat merindukan rumah ini. Kopernya diletakkan di sudut, Rembulan belum berhasrat untuk membongkar bawaannya.

Dia berjalan ke arah piano, ini salah satu benda yang dia rindukan. Di rumah orang tuanya juga ada piano, namun piano yang ini selalu membuatnya rindu. Mungkin karena piano ini yang selalu menemani malam-malam sepinya dan segala pergulatannya. Termasuk yang menginspirasi dirinya menulis setiap novel. Di Medan dia sangat tidak produktif. Tak ada satupun novel yang bisa ditulisnya sampai selesai. Hati dan pikirannya menjadi tumpul. Tak ada gairah.

Tangannya menyentuh tuts piano, satu nada akhirnya menjadi dua nada...lalu Rembulan duduk di depan piano dan mulai memainkannya.

***

Apakah perempuan itu ada disini? atau aku berhalusinasi?

Raditya mendengar denting piano dari rumah sebelah, rumah Rembulan. Dia masih terjaga, sedari tadi dia hanya membaringkan tubuh tanpa bisa memejamkan mata. Sejak kepergian Rembulan, dia merasakan kesepian. Dia rindu dengan suara denting piano dan musik yang mengalun lembut.

Raditya duduk di ruang tengah menajamkan pendengarannya, memastikan bahwa itu memang suara denting piano dan itu lagu yang sering didengarnya dimainkan Rembulan.

Raditya tersenyum lebar, ternyata perempuan itu sudah pulang dan Raditya berharap Rembulan pulang untuk dirinya.

Raditya duduk dalam diam, menikmati denting piano yang terus mengalun. Raditya menangis, air matanya mengalir, hatinya terasa sesak. Raditya tak sabar menanti esok, dia ingin memeluk perempuan itu.

***

Raditya melihatnya duduk di atas balkon, perempuan itu duduk tegak membelakangi dirinya. Tubuhnya disinari matahari pagi, perempuan itu bagaikan Dewi. Dia selalu terlihat indah di mata Raditya.

"Selamat pagi tetangga! Adakah kopi untukku?" sapanya, senyumnya merekah. Perempuan itu melihat ke arahnya, tertegun memandang dirinya, lalu tersenyum tipis. Perempuan itu mengangguk.

***

Pagi ini Rembulan sudah menyiapkan sepoci kopi dan beberapa potong bolu meranti yang dibawanya dari Medan. Tadi malam setelah dia selesai memainkan pianonya, Rembulan tak bisa langsung tertidur. Dia tahu besok dia tidak akan menunda untuk bertemu Raditya. Laki-laki yang selalu memenuhi hati dan pikirannya. Satu tahun tidak bisa membuat Rembulan mengenyahkan sosok laki-laki itu.

***

Raditya berdiri canggung, memasukkan satu tangannya ke saku. Dia menunggu di depan pintu, jantungnya berdetak cepat. Dia merasa waktu berjalan lambat, tak tahukah perempuan ini kalau dia sangat rindu.

Rembulan berdiri di hadapannya, tersenyum canggung, dan mempersilahkan Raditya masuk. Begitu Rembulan berbalik, Raditya langsung menghentikan langkah Rembulan. Dia memeluk Rembulan dari belakang tanpa basa-basi, dia tidak ingin menunggu. "Kamu tahu, aku sangat merindukanmu. Jangan pernah pergi lagi, tetaplah disini bersamaku."

Rembulan menyentuh tangan Raditya yang melingkari tubuhnya, "Aku akan disini bersamamu."