Adrian duduk menunggu, dia sengaja datang tiga puluh menit lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Dia ingin melihat Rembulan berjalan memasuki kafe, entahlah dia sangat menyukai melihat Rembulan berjalan melewati pintu masuk.
Adrian jadi mengingat ketika pertama kali melihat Rembulan berjalan memasuki ruangan rapat panitia natal. Pandangan matanya lurus seolah tak terintimidasi dengan suara-suara yang menggodanya. Sebagai anak kelas satu yang terlihat menarik, pasti banyak kakak kelas yang usil menggoda atau mengajak berkenalan. Adrian ingat dia melihat Rembulan yang tak peduli dengan suasana di sekitar yang berisik terutama suara dari deretan belakang, anak-anak kelas tiga yang merasa bebas bertingkah apa saja karena mereka sudah senior.
Rembulan duduk tegak dan tetap memandang lurus, terkesan angkuh. Justru itu sangat menarik di mata Adrian. Dia penasaran dengan perempuan yang satu ini. Ketika dia dipilih menjadi ketua panitia natal dan harus berbicara di depan, sesekali matanya melirik Rembulan. Perempuan itu tetap dengan gayanya yang tak peduli, asyik mencatat dan mendengarkan, padahal di belakangnya duduk anak kelas tiga yang minta ampun ributnya. Adrian tak kuasa untuk marah, dia terlalu segan dengan seniornya.
Adrian melihat sekilas ketika Ari mengajak Rembulan bicara dan gadis itu mendadak berdiri berpindah tempat. Adrian semakin dibuat penasaran.
***
Adrian menunggu dan matanya melihat ke arah pintu masuk, dia memilih posisi yang menurutnya strategis. Dia menantikan Rembulan masuk dan menghampirinya.
Bertahun-tahun dia menunggu untuk bertemu gadis itu. Adrian pikir waktu akan menghapus semua ingatan dan perasaannya pada Rembulan. Adrian pikir itu hanya cinta pertama yang akan segera terlupakan. Bertahun-tahun jauh dari Rembulan, beberapa kali memiliki hubungan dengan beberapa gadis, ternyata tidak pernah bisa menghapus ingatannya pada Rembulan. Apalagi saat kemarin bertemu dengan Rembulan, perasaan itu semakin kuat. Adrian pikir itu hanya romansa sesaat karena telah lama tidak bertemu. Ternyata bukan, bahkan ketika Rembulan memperkenalkan kekasihnya, ada terselip perasaan cemburu dan ingin merebut Rembulan dari laki-laki itu.
***
Gadis itu melangkah masuk, berjalan tegak dengan gayanya yang seolah tidak peduli, namun kali ini matanya langsung tertuju pada Adrian. Tidak ada yang berubah, dia tetap perempuan yang sama, gaya berjalannya yang tegak dan angkuh sama seperti dulu. Jantung Adrian berdegup kencang.
***
"Susah nggak menemukan tempat ini?" Rembulan membuka percakapan.
"Nggak juga, " Adrian menjawab sedikit gugup. Di depan perempuan ini dia jarang sekali bisa bicara dengan lancar dan santai. Padahal sedari tadi dia sudah menyiapkan diri.
"Tempat ini lumayan jauh dari rumahmu, kenapa memilih tempat ini?"
"Oh itu karena aku suka tempat ini. Dulu aku pernah bekerja paruh waktu jadi pelayan di salah satu restoran. Sering sekali melewati kafe ini."
"Kamu tahu, karena aku sering melewati kafe ini dan menyukainya walaupun hanya melihatnya dari luar, aku bertekad untuk mengumpulkan uang gajiku agar bisa nongkrong di sini." Rembulan tertawa mengakhiri ucapannya.
"Aku merasa pasti menyenangkan sekali bisa duduk di dalam dan menikmati suasana kafe yang kelihatan elegan. Ternyata persis seperti yang ada dalam bayanganku ketika aku pertama kali bisa duduk di sini dan menikmati secangkir kopi dan beberapa buah muffin."
Adrian memandang dengan tatapan tak percaya. Rembulan seorang anak pengusaha terkenal di Medan, dia bisa membeli apapun yang dia mau.
"Aku tahu kamu nggak akan percaya dengan ceritaku."
"Jelas aku nggak percaya," Adrian menjawab cepat.
"Aku keras kepala ingin membuktikan kalau aku bisa hidup tanpa uang dari mama papa, karena mama papa tidak memperbolehkan aku menjadi penulis. Beberapa tahun aku bekerja paruh waktu sambil menulis, hidup menjadi anak kos. Ternyata menyenangkan." Rembulan tersenyum lebar.
"Sekarang?" Kemarin Adrian melihat kehidupan Rembulan yang sangat baik.
"Panjang ceritanya..." Rembulan mulai menceritakan perjalanan hidupnya selepas SMA, kuliah, bekerja paruh waktu hingga bisa berada di posisi sekarang.
Bertemu dengan teman lama memang menyenangkan untuk menceritakan apa saja apalagi yang diajak bicara adalah Adrian. Laki-laki yang akan selalu mendengarkan setiap patah kata yang diucapkan lawan bicaranya.
***
Raditya menarik David agak sedikit menjauh dari kru yang sedang membereskan semua peralatan syuting. Hari ini Raditya melakukan syuting untuk iklan kopi. Syuting dilakukan di dalam ruangan berpendingin udara, Raditya tidak merasa terlalu lelah. Syuting hanya berlangsung beberapa jam saja. Membawakan iklan kopi membuat Raditya teringat pada Rembulan.
"Vid, kafe mana sih tempat Lo dan Rembulan pernah ketemu?" Raditya berbicara pelan, matanya mengawasi kru yang berada di dekat mereka berdua.
"Kenapa?"
"Kita ke sana ya?" Raditya sedikit ragu. Dia khawatir David akan menertawakan ajakannya. Apalagi kalau David tahu alasan dibalik ajakan itu.
"Kenapa?" Dahinya berkerut melihat Raditya.
"Udah deh, nggak usah nanya kenapa-kenapa terus." Raditya melihat jam tangannya, masih sempat pikirnya. Raditya berjalan cepat menuju tempat parkir, "Ayo !"
"Tapi gue ada janji !" David sedikit berteriak, Raditya menghentikan langkahnya, "Gue boleh tau nggak Lu janjian sama siapa?"
"Sarah," David menjawab singkat.
"Pindahin aja tempat janjiannya ke kafe itu. Sarah juga sering ke tempat itu kan?" David mengangguk, tangannya langsung mengambil ponsel dan menelepon nomer Sarah. Dia mencoba bernegosiasi dan berharap Sarah mau. David malas kalau harus berdebat dengan Raditya.
Raditya berdiri melihat David dengan pandangan tak sabar, dia mendengarkan David bicara dengan Sarah. David mengangguk-angguk, entah apa makna dari anggukan itu. Raditya semakin tak sabar, berkali-kali matanya tertuju pada David dan jam tangannya.
"Oke!" kata David kepada Raditya setelah dia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Raditya langsung mengembuskan napas lega, seolah-olah beban berat yang berada dipundaknya terangkat. Raditya segera berjalan menuju tempat parkir sambil berpamitan dengan beberapa kru yang mereka temui.
***
"Ada perlu apa sama Sarah?" Raditya bertanya dengan rasa penasaran. Matanya melirik David yang berkonsentrasi menyetir.
"Nggak ada apa-apa, cuma sekedar janjian. Sarah menghubungi gue, ngajak minum kopi. Cuma itu." David menjawab dengan nada ringan.
Raditya tahu Sarah menyukai David, Rembulan pernah mengatakannya sekilas. Hanya Raditya tidak terlalu menanggapi. Kalau ada perempuan yang suka pada David menurut Raditya itu adalah hal yang biasa. Jadi cerita Rembulan hanya didengarkan sambil lalu, bahkan Raditya memberikan nomer ponsel David tanpa bertanya alasan Rembulan memintanya. Raditya pikir mungkin suatu saat Rembulan membutuhkan David karena David adalah manajernya.
Ternyata Sarah benar-benar berniat untuk mendapatkan David. Raditya tersenyum lebar, dia tidak perlu mengatakan apa maksud Sarah. Biarlah suatu saat David juga akan tahu.
"Lo ngapain ngajak gue ke kafe?Dari tadi belum dijawab."
"Rembulan ketemuan sama temannya di situ."
"Lalu?"
"Temannya cowok dan suka sama Rembulan." Raditya memalingkan wajah melihat ke jalan. Dia merasa malu dan yakin pasti David akan menertawakannya. Benar saja, David tertawa keras sekali.
"Sejak kapan Lo jadi pacar yang cemburuan! Gila!"
"Sejak dia jadi pacar gue! Puas Lo !" Raditya tersenyum salah tingkah. Memalukan ! sangat memalukan !