"siti kesini sebentar," ucap seorang pria dengan rambut yang sudah mulai kelabu.
dialah Abdul jalil ayahnya Siti, tubuhnya tampak seperti tengkorak hidup di gerogoti penyakit komplikasi yang sudah akut.
hampir sebulan dia terbaring sakit dan baru seminggu yang lalu baru pulang dari Rumah Sakit, karena kehabisan biaya rawat inap yang mahal terpaksa perawatannya hanya di rumah alias berobat jalan.
"ada apa ayah sahutnya pelan.
Siti mendekat dan duduk di sisi pembaringan,
tangannya terulur memijat lengan ayahnya.
"kamu ini sudah cukup umur dan adik perempuanmu juga sudah besar,apa kamu tidak mau menikah?" tanya ayahnya.
Siti hanya tertunduk tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya.
Dia paham pertanyaan itu pasti selalu di tanyakan oleh ayah maupun ibunya yang sering berceramah panjang kali lebar saat membicarakan bab pernikahan.
"kenapa diam?" sambung ayahnya sambil terbatuk batuk.
Sebenarnya Siti sudah punya tambatan hati
Sodikin tetangga desa yang dia kenal lewat medsos. Pemuda yang sehari-hari berjualan ketoprak keliling di Pondok gede Bekasi sana. Tapi belum sempat dia kenalkan pada ayah dan ibunya karena Sodikin jarang pulang kampung.
Siti berharap Sodikin adalah cinta terakhir Siti setelah Gito pacarnya yang dulu tega mengkhianati Siti dengan menikahi sepupunya sendiri.
Mungkin inilah waktu yang tepat bagi Siti mengenalkan Sodikin pada Orang tuanya.
"Ditanya ayahnya kok, malah melamun " tiba-tiba Ibunya ikut bersuara.
Entah sejak kapan beliau datang.
"Iya Bu, Siti sudah punya calon suami kok..besok malam saya ajak bertamu dan berkenalan dengan ayah serta ibu" ucap Siti yakin.
"Benarkah itu Nak?" Tanya ayahnya sumringah.
"Iya ayah" balas Siti.
"Orang mana dia? Anaknya siapa?" Tanya ibunya menyelidik.
"Tetangga desa Bu," jawab Siti tertunduk.
"Kamu sudah pernah di kenalkan dengan orang tuanya?" Cecar ibunya.
"Sudah beberapa kali Siti di ajak ke sana" Siti menjawab dengan malu.
"Apa?" Ujar ibunya kaget.
"Kenapa Bu, kok malah terkejut harusnya senang dong. Siti sudah punya calon." Sela ayahnya.
"Bukan begitu pak, tapi.." ibunya ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Sudahlah Bu, namanya juga anak muda. Kayak Ibu tidak pernah muda saja" seloroh Ayahnya.
" iya iya, anak kesayangan ya begitu di bela terus" ucap permpuan setengah baya tersebut sambil menekuk wajahnya.
Siti hanya tertunduk dan diam seribu basa mendengar pembicaraan orang tuanya.
Kemudian ayahnya bertanya.
"Namanya siapa?kerjanya di mana?" Ucap Ayahnya.
"Sodikin ayah, dia jualan ketoprak di bekasi" jawab Siti dengan lugas.
"Kapan kamu ajak ke sini?"sambungnya lagi.
"Besok sore mungkin, kebetulan dia juga pengin ketemu ayah sama ibu makanya dia pulang" Kata Siti sambil memainkan ujung bajunya.
"Ya sudah, kamu suruh dia ke sini,bilang saja kami menunggu." Ucap Ibunya tersenyum.
"Terima kasih Ibu" ucap Siti dengan pelan.
Siti paham ibunya yang selalu mendesak dan selalu bertanya kapan Siti punya pacar.
"Ibu malu selalu di gunjing para tetangga karena kamu belum menikah.
Kamu di bilang perawan tua
Perawan tidak laku dan lainnya.
Apa kamu tidak kasihan sama ibumu?" Selalu perkataan itu yang jadi andalan sang ibu tiap membicarakan tentang pernikahan.
Selalu perkataan itu yang jadi andalan sang ibu tiap membicarakan tentang pernikahan.
Siti hanya terisak tidak mampu menjawabnya. Bukan karena sakit hati di marahi ibunya, tapi penyesalan yang teramat dalam mengingat kesalahannya dahulu saat bersama Gito. Saat masih berpacaran dengan Gito, Siti selalu berkata meyakinkan pada ibunya tentang rencana pernikahan bersamanya. Itulah kesalahan Siti pada Ibunya.
Namun di balik semua itu Gito menjalin hubungan yang lebih intens dengan sepupunya, Gito melamar dan menikah tanpa sepengetahuan Siti dan orang tuanya.
Untuk menebus kesalahannya, Siti ingin memberikan kejutan pada orang tuanya dengan tidak buru-buru mengenalkan Sodikin pada mereka.