Chereads / Wanita Realistis / Chapter 8 - 8

Chapter 8 - 8

"Kamu dari mana aja, Naya kok jam segini baru pulang?" Naya baru saja membuka pintu rumahnya. Tapi, kehadirannya sudah dikejutkan dengan kedua orang tuanya. Dia menghela napasnya, padahal tadi dia baru sempat merasakan kebahagiaan walaupun sederhana. Tapi, melihat kedua orang tuanya dihadapannya membuat kebahagiaannya sirna begitu saja.

"Urusan sama kalian apa?"

"Naya kamu udah mulai enggak sopan ya sama kita. Kita ini orang tua kamu yang gedein kamu. Kamu fikir gedein kamu itu enggak pake biaya." Kini gantian Ayahnya yang angkat bicara sejujurnya dia malas berdebat.

"Ya nanti Naya bakal usaha biar ganti biaya kalian."

"Berapa aja biaya yang kamu kasih itu enggak akan terbayar."

"Terus mau kalian apa? Udahlah Naya capek mau istirahat." Naya tidak mau makin lama berdebat. Dia ingin istirahat.

"Lihat tuh anak kamu mentang-mentang udah nyari duit jadi enggak hormatin kita," ucap Mamanya yang masih terdengar di telinga Naya.

"Kamu juga bukannya ajarin dia yang bener."

"Aku udah ajarin dia bener buktinya juga dia bisa 'kan cari duit sendiri. Kamu yang bisanya cuma nyalahin istri aja!" Naya menghela napasnya kesal. Dia lantas membanting pintu kamarnya dengan keras. Setiap dia pulang ke rumah pasti yang selalu dia dengar adalah perdebatan kedua orang tuanya.

Jika tidak pasti masalah uang. Naya tidak pernah suka di rumah. Di rumah terlalu menyakitkan untuk Naya. Tapi, mengingat dia yang bertemu dengan laki-laki tadi dan menolongnya membuat dia terenyuh. Bahkan untuk pertama kalinya Naya makan dan jajan dipinggir jalan.

Muza....

Namanya sederhana tapi dapat membuat Naya terenyuh.

Flashback on-

"Yuk kita jalan lagi."

"Ke mana? Kamu enggak ada maksud apa-apa bener kan setelah membantu saya." Laki-laki itu malah tersenyum kemudian menunjuk ke arah Taman di seberang Mall. Naya melihat ke arah tersebut.

"Kamu lihat 'kan itu ada Taman banyak jajanan juga kita ke sana aja."

"Mau ngapain itu cuma buat anak kecil."

"Yeh dasar norak. Ayunan itu bisa kamu naikin lagian badan kamu juga nyaru paling sama mereka."

"Apa kamu bilang! Maksud kamu aku kecil gitu. Aku udah kuliah tahu enggak?!"

"Wkwkw aku enggak ngomong tapi kamu sendiri yang ngomong. Udah kamu mau ikut atau pulang aja? Aku sih mau beli cilok dulu."

"Cilok itu bakso kan?"

"Ck. Cilok aja kamu bilang bakso makanya ayo kita beli terus kita coba. Enggak usah khawatir aku yang beliin enggak sampe kayak jajanan Starbucks mu."

"Eeehhh...." Naya terkejut kala laki-laki itu menariknya tiba-tiba. Tidak kencang tapi mampu membuat Naya terkejut.

Sampai di seberang laki-laki itu membeli cilok tersebut. Naya melihat gerobak yang lusuh membuatnya ragu untuk membeli makanan itu.

"Bang 2 ya. Lima ribuan aja." Laki-laki itu memesan dua cilok seharga Lima ribuan. Naya melihat itu sambil mengerutkan keningnya sebanyak itu untuk beli Lima ribu?

"Oke, Mas."

"Aku enggak usah deh." Naya yang ragu dengan rasa cilok itu memilih untuk tidak ikut membeli saja.

"Kenapa?" tanya laki-laki itu. Naya menggelengkan kepalanya dengan ragu. Laki-laki itu langsung menangkap kenapa wanita itu tidak mau.

"Maaf, Mang 1 aja jadinya."

"Oke." Penjual itu pun tidak marah dan mengiyakan pesanan Laki-laki itu.

"Nih, bang duitnya." Laki-laki itu menyerahkan yang pas kepada penjual cilok tersebut. Setelah itu, mereka mencari tempat duduk untuk mereka.

"Nama lo siapa?" tanya laki-laki itu akhirnya. Tidak ada basa-basi yang halus langsung to the point. Tidak ada menatap Naya sedikitpun dan fokus dengan cilok yang ada digenggamannya.

"Naya."

"Oh. Namanya cakep juga pantes yang deketin tadi cakep-cakep."

"Gausah bahas mereka. Yang ada bikin gue merasa muak. Kalo aja tadi lo enggak dateng pasti gue bakal jadi orang yang menjijikan."

"Oh gue kebetulan lewat aja."

"Makasih udah bantuin."

"Lo enggak nanya gantian nama gue gitu?"

"Kalo mau dikasih tahu enggak papa. Enggak pun juga enggak papa." Laki-laki itu terkekeh.

"Judes banget. Nama gue Muza."

"Oh oke."

"Nih Cobain cilok gue," ucap laki-laki yang bernama Muza itu.

"Enggak deh lo aja."

"Lo pasti enggak pernah kan makan kayak gini. Padahal, jajanan murah kayak gini bisa bikin irit dompet, kenyang juga lagi."

"Sorry gue enggak pernah jajan kayak gitu. Lagian em gue lihat tadi gerobaknya lusuh. Gue takut aja itu makanannya enggak hygienist."

"Hahahaha ... lo keluarga kaya ya?"

"Enggak juga. Cuma gue kerja sendiri."

"Lo kerja Dari kecil?"

"Enggak."

"Terus kecil lo kalo jajan di mana?"

"Gue enggak pernah jajan dipinggir jalan. Setiap gue ngumpeg-ngumpet jajan dipinggir jalan gue pasti sakit dan ujungnya kena hukuman sama orang tua gue. Jadi, gue enggak pernah lagi jajan dipinggir jalan. Kata bokap gue dulu yang gapapa mahal yang pennting enggak bikin sakit. Dari situ jajanan mahal yang bikin engga sakit dan jajanan murah bikin gue sakit."

"Baru ketemu orang kayak lo. Mindset lo tu perlu diubah. Yang bikin kayak gitu itu mindset lo sendiri."

"Tapi ya emang kejadian."

"Ck. Pasti lo di keluarga lo anak kesayangan ya? Punya adek kakak gak lo?"

"Punya adek. Ga punya kakak karna anak pertama." Muza menganggukan kepalanya.

"Enak ya jadi lo. Punya penghasilan sendiri, terus kuliah yang bayarin siapa?"

"Gue sendiri."

"Orang tua lo?"

"Em gausah bahas itu." Naya tidak mau membahas tentang keluarganya. Laki-laki itu pun tidak bertanya lebih lanjut. Dia hanya menganggukan kepalanya.

"Nih cobain dulu. Ini enak. Ubah mindset lo kalau ini makanan enak waktu lo telen." Naya menggelengkan kepalanya. Tapi, perutnya berbunyi kemerucuk padahal tadi perasaan dia habis makan.

Krucuk....

"Nahkan lo laper. Nih mending ganjel pake ini dulu. Kenyang tahu."

"Kita ke mall itu aja dulu yuk kerestaurat kita makan." Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. "Dari pada gue makan di sana mending uangnya buat belanja sendiri di masak sendiri malah dapet banyak. Lagian ini kenyang Nay lo coba dulu." Laki-laki itu tetap menyodorkan cilok itu kepada Naya. Padahal, melihatnya saja Naya sudah tidak berselera.

"Nih, coba dulu." Rasa penasaran Naya lebih mendominasi dari pada rasa tidak sukanya dengan makanan itu. Kemudian, dengan ragu dia mengambil bungkus plastik itu.

"Lo ada jaminan kalau misalnya makanan ini nanti bikin gue kena gejala samping. Kayak pusing mendadak, perut sakit atau bahkan kematian."

"Setidaknya sebelum itu terjadi gue kan tadi udah makan duluan." Laki-laki itu memutar bola matanya. Tapi, dia tersenyum juga. Padahal, niatnya hanya bercanda karena wanita itu benar-benar tidak pernah makan pinggir jalan sepertinya.

Naya menusuk cilok itu dengan lidi lagi-lagi dia berkomentar, "Ini lidinya bersih enggak ya? Eh ini lidi apa tusuk? Jangan-jangan."

"Ck kalau enggak mau sini ah. Kesel sendiri jadinya."

"Ehhh ... iya-iya sini aku coba dulu." Naya pun memasukkan cilok itu kemulutnya. Di mulutnya terasa pedas, lengket tapi gurih. Em enak juga sih. Naya menusuk lagi cilok tersebut dan memasukannya ke mulutnya.

"Tadi bilang enggak enak tapi Los ampe 3." Naya mengunyah ciloknya dengan senyum malu. Ternyata enak juga makanan itu.

"Gimana enak 'kan?"

"Enak, Za."

"Makanya mindset lo tu diubah enggak semua yang murah enggak enak."

"Makasih." Naya memberikan lagi cilok yang masih ada. Sepertinya dia cukup tidak enak juga kalau harus dia habiskan.

"Dah habisin aja tadi gue udah makan banyak juga."

"Beneran enggak papa?"

"Ya."

"Makasih, Za."

-Flashback off-

***

Laki-laki pertama yang menyuruh Naya makan dipinggir jalan. Ah, tapi sayang Naya belum sempat meminta nomor teleponnya. Apakah dia akan bertemu dengan laki-laki itu lagi nanti?