Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Aku Sudah, Move On?

🇮🇩Naru01
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Cerita ini dihapus dan dipindah ke platform sebelah, terimakasih kepada para pembaca yang sudah membaca ceritaku ini. Cover by Pixabay (edit by Robiah_art)

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Patah Hati

Gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu menangis sesegukan, terduduk lemas di trotoar pengguna jalan. Ia tidak peduli dengan tatapan orang sekitar yang mulai mengarah padanya. Ia juga tidak peduli tas serta pakaiannya basah akibat hujan yang turun begitu saja, padahal prakiraan cuaca hari itu mengatakan hal sebaliknya.

Hatinya terasa sakit seperti diiris silet, setelah mendengar kalimat penolakan yang dikumandangkan pria idamannya selama 5 tahun terakhir.

Sebenarnya bukan penolakannya yang kini ia tangisi, namun lebih pada kalimat yang diucapkannya yang membuatnya sangat kecewa.

"Aduh Siti, gue bukannya benci sama loe, tapi buat jadi pacar enggak deh." Ucap cowok yang mengenakan seragam sama dengan Siti, entah mengapa ada kesan berbeda dengan seragam itu meski bahan yang digunakan sama.

Gadis dengan rambut kepang dua itu terheran, ia meremas kedua tangannya. "Tapi kamu bilang suka sama aku?" Cicitnya, entah mengapa, keberanian yang sudah dikumpulkannya sedari pagi tadi lenyap seketika.

Cowok tinggi dengan wajah kece itu menautkan kedua alisnya, "Maksud gue suka dalam hal lain, bukan sebagai cewek. Lagian kalau gue pacaran sama loe, yang ada gue malu."

"Hah? Malu kenapa?" Gadis itu terhenyak, rasa sesak mulai menjalari hatinya karena kalimat itu.

Cowok itu menatapnya dari atas sampai bawah, kemudian menghela nafas pelan. "Nama loe Siti, kayak orang kampung. Dan muka loe-" ucapnya sambil mengibaskan telapak tangannya di wajah, "Nggak banget deh."

Siti nama gadis itu, ia mengusap pipinya bingung. Tidak ada yang aneh dengan wajahnya, menurutnya ia cantik, setidaknya itu yang selalu ibu dan ayahnya katakan.

Memang ia sedikit berisi, pipinya agak Chubby, namun ia memiliki mata yang besar dan bulat seperti yang diinginkan banyak orang. Bukan hanya itu saja, bulu matanya lentik dan alisnya tebal.

Jadi apa kurangnya?

Oh iya, ia mengenakan kacamata karena penglihatannya agak rabun berkat ketekunannya belajar tiap malam. Tapi kata ibunya, orang yang memakai kacamata itu terlihat pintar dan elegan.

Ia juga kurang begitu tinggi, hanya berkisar 150 cm. Lagi-lagi ibunya berkata, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Karena usianya masih belasan, Siti masih bisa bertambah tinggi.

Jadi tidak ada masalah seharusnya dengan penampilannya, setidaknya itu yang ada di pikirannya.

Bahkan, pria yang kini menampilkan wajah kesal sambil berkacak pinggang di hadapannya pernah memuji penampilannya, katanya 'lengkap sudah' sambil tersenyum. Memang, sebenarnya Siti agak kurang sadar akan makna pujian itu. Ia hanya memandangnya dari sudut pandang hatinya yang tengah berbunga-bunga, tidak dari sudut pandang rasional dan senyuman aneh yang dilemparkan cowok itu kepadanya.

"Duh Siti, kalau gini mending kita nggak usah temenan aja dari dulu." Tambahnya lagi, cowok itu mulai terlihat kesal.

Siti tergagap, "Tapi kamu yang duluan ngajak ngobrol aku."

"Apa hubungannya?" Tanyanya sambil menyunggingkan senyum miring, ia kembali menatap penampilan gadis yang mulai menundukkan wajahnya, sesaat menggelengkan kepala pelan.

"Gini ya, gue kasih loe saran aja." Siti mengangkat wajahnya, ia mendongak menatap cowok itu dengan wajah sendu.

"Mending loe pacaran sama cowok yang ... Selevel sama loe, uhm siapa ya? Oh iya, si Jali. Dia bakal cocok banget sama loe." Ucapnya sambil cengengesan, ia menepuk bahu Siti pelan.

Gadis itu diam, 'Jali?'

Jali memang cowok yang baik, perhatian, tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang, senyumnya manis, tapi ... Tingkahnya sangat mengganggu.

Bukannya Siti tidak menyukainya, hanya saja Jali terlalu sering mengganggunya. Ia selau melemparkan lelucon bodoh yang pada akhirnya membuat gadis itu kesal, seperti 'apa persamaan Siti dan dokter? jawabannya sama-sama pakai kacamata.' Kemudian ia akan tertawa kencang, sehingga perhatian semua teman sekelas tertuju padanya.

Bukannya ia tidak suka diperhatikan teman sekelasnya, hanya saja, tatapan mereka seperti sangat terganggu dengan tawa menggelegar milik Jali. Membuat Siti sangat malu, sedangkan si pelaku sendiri malah asik terus tertawa tanpa henti sampai Faqih menghentikannya.

Sedangkan cowok di hadapannya, ia membuat Siti merasa nyaman. Bukan hanya karena wajahnya, namun perlakuan cowok ini terbilang manis. Siti bahkan sering diajak main ke kafe atau ke rumahnya, sambil menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas sekolah.

"Gimana?"

Lamunan Siti buyar seketika, "Gi-gimana apanya?"

"Kalo loe mau, gue bisa bantuin loe jadian sama Jali. Keliatannya dia juga suka sama loe." Ucapnya sambil mengangkat dua aslinya bersamaan, Siti semakin bingung.

"Ta-tapi, aku sukanya sama kamu." Kini wajah gadis itu mulai memerah karena malu, harus berapa kali ia mengatakan 'suka' agar pria di hadapannya tahu bahwa rasa sukanya tidaklah main-main.

Cowok itu terdiam, sesaat gelak tawa menguar ke udara begitu saja, cowok itu tertawa keras hingga membuatnya jongkok.

Wajah Siti mulai tidak karuan, kini wajahnya merah padam karena malu. Tangannya mulai meremas ujung baju putih yang dikenakannya, ia serasa ingin mengubur diri saja jika tahu akhirnya akan begini.

"Siti, loe masih belom sadar berada di level mana? Level kita tuh jauuh." Ucapnya sambil mengangkat tangannya ke udara, kemudian tertawa lagi.

Sesaat tawanya terhenti, ia berdiri menatap gadis yang pelupuk matanya mulai berembun dan bibirnya mulai bergetar. Terlihat jelas ia ingin menangis, namun ditahan sekuat tenaga.

Cowok itu melangkah sedekat mungkin, sedangkan Siti mundur seirama dengan langkah cowok itu.

"Kalo loe mau, kita nggak usah pacaran. Tapi jadi temen tidur, mau?" Ucapnya dengan wajah serius,

Siti tidak faham, ia menatap matanya langsung. "Hah? Apa itu?"

Cowok itu tersenyum, ia melangkah lebih dekat dan membisikan sesuatu yang membuat mata gadis itu membulat seketika. Siti terhenyak, ia mundur beberapa langkah hingga tersandung kakinya sendiri dan terjatuh.

Bukannya menolong, cowok bernama Ivan Maulana itu malah tertawa keras sambil menutup mulut dengan tangannya.

"Segitu aja kaget, loe harusnya tahu kalo banyak cewek yang ngantri buat dapetin gue dan nerima apa yang gue tawarkan barusan ke loe. Harusnya loe bersyukur, setidaknya gue ngasih loe kesempatan meski loe jauh dari tipe gue."

Ia berjongkok, "Sini gue bantu." Kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu, namun uluran tangannya tidak diterima dan malah ditepis dengan kasar.

Jijik, itulah yang dirasakan gadis itu saat ini.

Siti berdiri, lalu berlari dengan cepat tanpa memperdulikan apapun lagi. Ia bahkan tidak sempat membersihkan pakaiannya yang terkena debu, sesekali ia mengusap air mata yang mulai turun ke pipinya semakin deras.

Ivan mendengus, ia menatap punggung gadis yang kini sudah menghilang dengan wajah datar.

"Apa maksud loe ngomong kayak gitu?"

Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang, membuatnya terkejut dan menoleh seketika.

Ivan tersenyum miring, "Jali."