Alsiel yang melihat perempuan itu menangis, jadi merasa bersalah. Alsiel langsung menoleh ke arah Vin yang tidur di belakang kakinya. Setelah itu, menoleh ke arah gadis kuncir dua yang kini malah duduk-duduk di bawah pohon mangga.
Alsiel takut kalau ia ternyata salah sangka. Bisa jadi Vin jatuh bukan karena remaja perempuan itu, tapi Vin jatuh sendiri karena kecerobohannya. Lalu, apa alasan perempuan tadi berteriak-teriak seperti tadi? Alsiel jadi merasa dilema.
Alsiel mendekat ke arah perempuan berambut indigo kuncir dua, yang masih di bawah pohon mangga. Hanya gadis itu yang bisa menjelaskan kejadian sesungguhnya.
"Hei, kau siapa, heh? Kau temannya Vin dan Gil, ya? Lalu, apa maksudmu berteriak seperti tadi?"
***
"Hei, kau siapa, heh? Kau temannya Vin dan Gil, ya? Lalu, apa maksudmu berteriak seperti tadi?" Alsiel berucap, dingin. Ia menatap tidak suka ke arah gadis yang tertunduk itu.
"Oii ... kau tidak terluka, 'kan? Kau bisa melompat dari lantai dua tadi, masak terluka hanya karena kulempar ke pohon mangga?" Alsiel sedikit menurunkan nada bicaranya.
Jika gadis itu benar-benar teman sekelasnya Vin, maka Alsiel akan berada dalam masalah. Bisa saja gadis itu akan melaporkan pada orang tuanya dan Alsiel akan berakhir di penjara karena menyiksa anak di bawah umur.
Ameri belum menjawab. Ia masih menunduk, dan sepertinya tengah menangis.
Alsiel semakin merasa bersalah karena telah membuat anak orang menangis.
"Hey, jangan diam saja! Cepat katakan kau ini siapa? Jika bukan dirimu yang coba mencelakai Vin tadi, lalu siapa? Cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi! Aku akan memikirkan untuk memaafkanmu jika kau bisa menunjukkan jika kau tidak mencoba mencelakai anakku." Alsiel kembali berucap.
Awalnya, Alsiel mengira gadis itu yang akan membunuh Vin. Tapi, melihat ekspresi sedih yang ditampilkan gadis itu saat ini, Alsiel jadi merasa bersalah.
"Hoi ... kau itu bisu atau apa, hah? Cepat jawablah!" bentak Alsiel kembali.
Ameri lalu mendongak. Tatapannya berubah sendu, menatap ke arah Alsiel.
Kerutan tercetak di kening Alsiel. Ia masih merasa bersalah karena sudah membuat anak gadis orang menangis.
"A-apa? Kenapa kau menatapku seperti itu, huh?!" sungut Alsiel, gugup. Ia memang tidak pernah berinteraksi dengan perempuan selama ini. Dia belum bisa move on dari ibunya Vin.
Ameri bangkit dan menatap kagum ke arah Alsiel.
"Wah ... sudah kuduga jika itu Anda, Tuanku!" seru Ameri. Ia menerjang ke arah Alsiel, membuat tubuh Alsiel jatuh ke belakang. Ameri saat ini tidur telungkup di atas tubuh Alsiel yang telentang.
"Kau masih saja tampan seperti dulu, Tuanku."
"Haahhh?!" Alsiel memekik, tidak paham. Ia terus mendorong wajah Ameri agar tidak terlalu dekat dengan dirinya.
"Oh ... tahukah Anda berapa lama saya telah mencari, Tuanku? Akhirnya ... saya menemukan Anda, Tuanku!" Ameri berseru heboh. Ia masih merangkak di atas tubuh Alsiel yang telentang.
Sumpah, tubuh Alsiel langsung gemetaran. Ia merasa tidak pernah berada dengan seorang gadis sedekat ini.
"Apa-apaan ini, hah? Kau benar-benar orang mesum, ya? Jadi, setelah kau gagal menggoda putraku, sekarang kau malah menggodaku? Begitu?!" bentak Alsiel. Kedua tangannya berada di lengan Ameri, tidak membiarkan gadis itu berada lebih dekat dengannya.