Berjalan aku ke belakang melihat Kak Maya yang bekerja di dapur kantin "Udah selesai ngepelnya Kak, ada lagi yang bisa aku kerjain?" Tanyaku ke Kak Maya.
Nampaknya kerjaan dia juga sudah mau selesai. Sudah mengikat plastik sampah dia. Tinggal di buang saja lagi.
"Udah selesai yaa.. Bersihkan ngepelnya?" tanyanya agak bercanda.
"Bersihlaah. Masa nggak bersih ngepel doang." balasku agak bercanda juga.
"hu um yaudah. Nggak ada lagi kerjaan. Bangkunya udah di naikin ke meja kan?"
"Eh iya.. belum . Aku naikin dulu." Balik aku ke depan lagi buat naikin bangku-bangku kantin nih. Gampang aja naikinnya. Cuma bangku-bangku panjang itu aja yang agak susah dikit. Dikit aja sih susahnya.
"Al.." Kak Maya memanggilku.
"Apa Kak..?" sahutku. Pergi aku menghampiri dia lagi.
"Ada apa sama kamu?"
"Ada apa kenapa pula ? nggak ada apa-apa."
"Nampak sama Kakak, kamu agak beda aja kamu dari biasanya. Biasanya semangat kali kerja, ketawa-ketawa dengan adik-adik tuh. Kini udah berubah aja lagi. Diam-diam aja. Kasian juga adik-adik tu kamu PHP in. Lagi ada masalah apa? cerita-ceritalah sama Kakak. Kalau urusan anak muda, Kakak udah pengalaman." Pede juga dia.
Tapi betul juga kata Kak Maya kalau dipikir-pikir. Biasanya aku becanda-becanda sama cewek-cewek SMP ini. Aku rayu-rayu juga sampai pada salting aku buat. Tapi, se salting-saltingnya mereka, tetap aja mereka balik lagi, balik lagi ke sini. Sampai dua kali, tiga kali sehari main ke kantin Kak Maya nih.
"Hmm.. sebenarnyaa ada..." aku gantung sedikit omonganku. Soalnya agak ragu juga aku mau bercerita. Masa ke Kak Maya ceritanya yang istri dari Bang Anton, kakak Sepupuku. Nanti kalau dia cerita ke Bang Anton, kan malu jadinya.
"Memang ada masalah sedikit Kak. Tapi nggak bisa dibilang masalah anak muda juga sih. Agak serius dikit."
"Apa tuh.. Ceritainlah sama Kakak. Siapa tau Kakak bisa ngasih saran yang bagus." katanya. Bersemangat pula dia nampaknya.
"Iya juga sebetulnya Kak, aku lagi butuh saran yang agak bijak dikit."
"Serius banget masalahnya? kamu nggak bikin Melan hamil kan?"
"Ah Kakak nih... becanda aja."
"Yaa siapa tau kan, banyak anak ABG sekarang kayak gitu."
"Aku bukan ABG sekarang Kaak, udahlah nggak jadi curhatnya." Pura-pura merajuk aku sedkit.
"Hehee... Yaudah di depan tulah cerita ha.."
Pergi Kak Maya ke depan melewatiku. Setelah itu dia turunkan lagi satu bangku yang tadi sudah aku naikkan. Aku susul nurutin bangku juga.
"Udah, mulailah ceritanya.." katanya sambil sedikit menggeser kursinya ke dekat aku. Terlalu dekat aku rasa. Hampir menempel pula kursi kami.
"Gini Kak, Kak Maya kan tau aku mau kerja di Pabrik Karet baru tuh. Kalau Ijazah SMA ku udah keluar, mau langsung aku masukin."
"Iya, kata Mamak, udah dijamin sama Pak Desa kalau kamu bakal terima di situ.."
"Iya itu Kak." kataku.
Aku memang tinggal nunggu waktu aja lagi untuk bekerja di pabrik baru tuh. Soalnya, dulu waktu pabrik itu dibangun, aku dan kawanku Romi sudah pergi kesana kemari buat menemui orang-orang yang kira-kira bisa masukin ke sana. Sampai ahirnya, Bapak Kepala desa ngasih kami berdua jaminan kalau kami berdua pasti akan diterima di pabrik tersebut, asal syaratnya terpenuhi.
Syaratnya Insya Allah bisa kami penuhi dengan mudah. Cuma Ijazah SMA, SKCK dan beberapa syarat lain yang sudah kami punya juga. Jadi intinya, aku tinggal nunggu Ijazah SMA ku keluar aja. Dan timingnya itu pas sekali dengan jadwal pembukaan pabrik. Yaa bisa dibilang beruntunglah aku nih. Setelah lulus SMA langsung ada pekerjaan yang menunggu. Cuma, kini ada sedikit problem.
"Tapi Kak Maya tau juga kan aku pacaran sama Melan?" dia nggangguk. "Nah, Melan tuh maksa aku buat kuliah Kak. Katanya, kalau aku nggak kuliah, orang tuanya nggak akan setuju sama hubungan kami nanti."
"Owh... galau karena itu? trus gimana? mau putus sama Melan?"
"Itu dia Kak. Aku nih sebetulnya nggak tau juga seberapa sayang aku sama melan tuh. Tapi rasanya aku siap-siap aja putus sama dia. Rasanya yaa gitulah Kak, nggak terlalu sayang kali aku sama melan tuh. Tapi yaa sayang juga gitu."
"Hahaa gimana sih kamu nih. Sayang aja tapi nggak tau.." celetuknya."Emang Melan tuh nggak tau keadaan ekonomi kamu. Kok main maksa sih dia.." tambahnya.
"Itulah kata Kak Maya tuh... dia udah tau kondisi aku, tapi tetap juga maksa. Cuma dia nggak maksa tok juga Kak, dia tuh ngasih jalan buat aku. Katanya, Pinjamlah uang dia dulu buat uang pangkal kuliah tuh. Nanti kalau udah kuliah kan bisa kita kerja sama-sama. Katanya gitu Kak. Aku jadi bingung juga. Awalnya aku mau mutusin dia, tapi ngeliat keseriusan dia kayak begitu, aku jadi ragu juga Kak. Tapi kalau mau minjam uang dia tuh kayaknya nggak mungkin Kak. Masa minjam uang dia sih. Uang yang mau dia pinjamin itu, asal Kak Maya tau yaa, itu uang tabungannya yang dia tabung sejak SMP. Jahat kali aku kalau sampai makai uang jerih payahnya dia tuh..."
"Waduuh... berat juga yaa problemnya. Kakak kira cuma soal nggak mau putus aja." Kata Kak Maya. Berputar dia menghadap ke meja. Serius juga dia nampaknya berpikir.
"Tapi hebat juga yaa Melan tuh. Mau dia minjamin uang sama kamu. Dia kan nggak kaya juga."
"Itulah kata Kak Maya tuh. Nggak tega aku minjam uang dia tuh. Tapi aku juga nggak tega mutusin dia. Dia segitunya gitu.."
"Tapi kamu sayang kan sama dia?"
"Yaa gitulah Kak. Kalau dibilang sayang ya sayang. Kalau nggak sayang, aku nggak bakal galau kayak begini.." kataku.
"Hee hee... Bahaya juga yaa. Sampai galau pula adik Kakak nih." Katanya bercanda lagi. Balik dia menghadap ke aku lagi.
"Udah kamu ceritain ke Mamak?" tanyanya lagi.
"Eh mau cerita gimana? Mau kuliah tapi minjam uang Melan? he hee.."
"Iya juga sih.. Kakak nggak bisa juga ngasih solusi soal masalah ini Al. Berat juga soalnya. Kakak nggak pernah ngalami yang begini ini. Tapi akan Kakak pikirin juga nanti solusinya dengan serius. Ini masa depan kamu soalnya."
"Itulah Kak, makasih. Pusng kepala aku jadinya." sambil garuk-garuk kepala.
"Wajar sih..." Kak Maya ngagguk-ngangguk. "Ini masalah penting menurut Kakak Al. Kalau kamu kuliah, yaa berat kan uangnya. Apalagi sampai minjam uangnya Melan. Iya kalian bakal tetap sama-sama. Kalau nggak gimana? bisa kemakan budi kamu nanti. Tapi kalau putus, trus kamu kerja di pabrik, ya sayang juga. Takutnya nanti kamu nyesal. Gimanapun, menurut Kakak yaa, tujuan hidup kita itu ya mencari pasangan. Kuliah tinggi-tinggi, cari uang yang banyak, itu semua buat apa? buat nyari pasangan kan? dan kamu sekarang udah ada Melan yang sayang sama kamu sebegitunya. Kakak juga tau Melan tuh anak baik. Tinggal kamu perjuangin aja. Cuma yaa berat yaa perjuangan kamu." Dia tepuk-tepuk bahuku memberi semangat.
"Iya juga yaa Kak. Tunggang tunggik nyari uang tujuanya buat nyari pasangan juga yaa."
"Iyaalah.."
"Trus gimana ya aku sekarang ini Ka?" tanyaku makin bingung. Sebelumnya aku agak berat ke putus aja, 60 persen mau putus. Tapi setelah mendengar kata-kata Kak Maya, aku malah tambah sayang sama Melan.
"Ndak tau juga Kakak Al. Kakak aja galau mikirinnya, apalagi kamu yaa. Pasti lebih galau lagi. Pantes nggak ada lagi kamu becandain budak-budak SMP tadi."
Aku senyum-senyum aja mendengarnya.
"Sebenarnya ada solusi ekstrim yang terpikir sama Kakak nih. Tapi yaa gitu deh, kayaknya nggak mungkin juga."
"Apa tuh Kak? Bilang ajalah dulu, nanti aku pertimbangin." desakku.
"Ehmm... Solusinya kalian Nikah aja. Kalau kalian nikah, pasti nggak akan putus. Nggak ada cerita utang budi. Dan kamu minjam uang dia nggak akan beban juga. Toh uang istri sendiri. Tapi kayaknya nggak mungkin yaa. Masa mau nikah muda banget."
"Itulah... ada-ada aja Kak Maya nih. Masa iya nikah muda banget gini. Lagian, kalaupun aku mau, Melannya juga nggak akan mau. Dia aja masih manja gitu kok. Belum lagi Mamak, belum lagi Bapak sama Mamaknya dia. Duuhh serem Kak ngebayanginnya."
"He hee.. iya juga sih.. Yaudah kita pikirin solusi lainnya." Katanya.
"Hu uuh" anggukku setuju.
Lama aku bercerita dengan Kak Maya sampai nggak berasa udah Azan Ashar. Artinya sudah 2 jam kami bercerita.
Sejujurnya aku merasa agak aneh cuma berdua dengan Kak Maya di dalam ruangan tertutup gitu. Apalagi duduk kami berdekatan. Kadang waktu dia berkicau di depanku membuatku bisa mencium bau mulutnya.
Tapi yaa, karena sepertinya Kak Maya biasa saja. Nggak ada yang aneh. Aku juga jadinya biasa aja.