Chereads / Shousetsuka ni Mainichi ga Muzukashii / Chapter 23 - Masa Lalu Fitria Bagian 8

Chapter 23 - Masa Lalu Fitria Bagian 8

Beberapa saat kemudian, setelah Fitria berganti baju, dia beranjak dari tempat tidurnya kemudian dia berada di depan meja kecil dan hendak menyantap makanan, "Kau tidak menjelaskan pada mereka (keluargamu) kalau sakit?" tanya sang editor ramah ini yang memulai pembicaraan.

"Ng ..., untuk apa? Tidak penting." Jawab Fitria dengan begitu dingin seperti biasa.

Niatnya setelah menyelesaikan lemburan, dia akan nongkrong bersama bos lamanya juga tapi, ah~ sudahlah! Apa daya kondisinya saat ini cukup lemah.

"Kenapa kau begitu peduli padaku? Padahal aku cuek padamu ...."

"Hahaha, memangnya butuh alasan, ya?" dia tertawa kecil dan menganggap perkataannya itu seperti lelucon. "Tidak ada hal khusus, kok. Terlebih lagi, tempat tinggalku ada di sekitar sini."

"Apa kamu lebih suka kalau masuk rumah sakit saja?"

"Tidak!" jawab Fitria cepat dengan wajah kaku-nya. Reaksi Fitria yang menjawab pertanyaannya yang cukup santai itu membuatnya terdiam sesaat.

'Pasti ada hal buruk yang terjadi di kehidupannya sebelumnya.'

Kemudian, Fitria memakan hidangan yang disuguhkan secara perlahan, entah seenak apa pun rasanya, di lidah Fitria masih tetap hambar.

Saat kita sakit, indera pengecap kita akan kehilangan rasa sesaat sehingga terasa hambar, hal ini dikarenakan pelepasan protein yang disebut sitokin yang berfungsi untuk menambah kepekaan rasa dan sel daya tahan tubuh untuk membantu melawan penyakit. Lalu, cairan tubuh akan berkurang dan beresiko menyebabkan dehidrasi.

Begitu selesai makan dan meminum segelas air yang disuguhkan di sana, Fitria hendak membereskan peralatan makannya, dan di saat itulah sang editor ramah ini kembali membawa kotak obat.

"Ah~ kamu taruh di sana saja, ya. Biar aku yang bereskan!"

"Kamu perhatian sekali."

"Eh, tidak juga, kok. Karena kamu masih tampak lesu. Oh, ya, sebaiknya kamu bisa memilih obat di sini, hmm ... penurun panas kah atau–"

"Terima kasih." Ucap Fitria tiba-tiba memotong perkataannya.

"Eh?" dia pun memandang heran Fitria.

Fitria tidak tahu bagaimana dia bersikap tapi, sebisa mungkin dia tidak ingin merepotkannya lebih dari ini. Dia meraih kotak obat dan mencari obat yang cocok untuknya, tanpa berkomentar panjang, dia meminumnya.

'Dia tak hanya ramah, tapi juga baik hati ....'

Fitria tersenyum tipis dan wajahnya menunjukkan rasa syukurnya.

"Oh, ya, kamu tidak membawa pulang berkasku juga?" tanya Fitria memastikan dengan menoleh ke kanan kiri dan di sana hanya ada tasnya saja.

"Eh, tidak. Memangnya kenapa?" tanya sang editor ramah itu dengan polosnya.

Dan saat Fitria tak berkata apa pun, dia menyadari niat tersembunyinya, "Aakh—!! Jangan-jangan kau masih mau melanjutkan pekerjaanmu?"

Fitria memalingkan pandangannya, mukanya masih terlihat pucat, dia hanya sedikit mengangguk dan berkata, "Seandainya masih sempat ...."

"Oi! Kau tidak ingat tadi sore kau pingsan? Sebaiknya jangan memaksakan diri!" sang editor ramah itu menatapnya dengan ekspresi malasnya.

"Tapi, aku sudah mengambil banyak bagian. Aku ingin menyelesaikannya ...."

"Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Fitria—!!"

"Karena ..., karena ... aku ingin menjadi seperti dirimu!" tegas Fitria sambil menatapnya sungguh-sungguh.

Saat mendengar Fitria mengucapkan hal yang tak terduga seperti itu, 'Entah aku harus bangga mendengarnya? Atau aku harus sedih terhadap diriku sendiri?'

Tapi, begitu dia hendak meresponsnya, Fitria sedikit merintih kesakitan, kepalanya kembali pusing.

"Oi, Fitria, kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

"Ya, aku ingin istirahat sebentar."

"Ya, baiklah."

....

Fitria pun akhirnya segera berbaring di tempat tidurnya lagi.

Sementara sang penghuni apartemen ini segera membereskan perabotan, mencuci bersihnya, dan memindahkan kotak obat ke tempat semula.

Saat dia mencuci piring di dapur, dia teringat perkataan Fitria tadi, "Fitria ingin menjadi sepertiku?"

Beberapa jam pun berlalu, di malam harinya, dia mengecek ponselnya yang penuh dengan pesan chat, dia tidak membiarkannya menumpuk dan tenggelam.

"...."

Dia membalasnya satu per satu. Dia juga membalas pesan milik Icha yang bertanya keadaan rekan kerjanya ini, "Dia tidak apa-apa, sekarang sudah tidur setelah makan dan minum obat."

"Fuah~ sepertinya Fitria belum menjelaskan pada bos juga tentang keadaannya," gumamnya.

Dalam hatinya berkata, "Haruskah kali ini aku membantunya?"

****

Waktu pun berlalu ....

Perlahan gelapnya langit malam mulai tersapu dengan sinar mentari yang muncul ketika fajar.

Kala itu, suara gemericik air terdengar sampai ke telinga Fitria, membuatnya terbangun dan menatap ke arah di mana suara itu berada. Berbatasan dengan dinding, dia merasa, 'Pasti suara itu ada di kamar mandi ....'

Tak berselang lama saat dia telah mengubah posisi berbaring ke posisi duduk, seorang pria setengah telanjang bulat masuk ke kamarnya.

CKLEEEK!!

"Oh, kau sudah bangun!?" tanyanya, meskipun dia masih mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawah.

"Ya, baru saja." Jawabnya singkat.

Dia pun bersiap-siap untuk mencari pakaian kemudian memakai minyak wangi dan minyak rambut lalu bersiap pergi bekerja.

"Kalau tubuhmu belum terasa baik, sekarang izin libur saja."

"Ya, niatku begitu." Fitria tidak punya pilihan lain hari ini.

"Sudah bilang ke bos?"

"Ini, baru buka hape, baru mau bilang." Kata Fitria sambil meraih ponselnya.

"Yah~ mungkin nanti Icha dan aku akan menjelaskan sebagai saksinya. Mungkin beberapa berkas yang kau tangani akan dialihkan."

"Aku mengerti."

Fitria hanya menjawabnya singkat lalu segera mengirim pesan ke bos-nya. Dan, saat itu juga pesannya langsung terbaca, dia mendapatkan izin untuk hari ini.

....

"Aku tidak tahu kenapa kamu mengambil lebih banyak berkas, lalu kamu ingin menjadi sepertiku?" gumamnya memulai pembicaraan.

"Haruskah aku jujur padamu? Kalau apa yang kukatakan ini menyakitkanmu nanti bagaimana?" Fitria meresponsnya dengan memberi pertanyaan untuk memastikan perasaan sang editor ramah yang baik hati ini.

"Eh~ tidak masalah, toh di ruangan ini hanya kita berdua." Ucapnya dengan santai, "Katakanlah, jangan sungkan."

Akhirnya Fitria mengatakan alasan terbesarnya karena iri pada pekerjaannya yang cukup mudah, dan terlihat santai. Rata-rata naskah yang orang itu koreksi minim kesalahan, tidak seperti miliknya Fitria.

Fitria merasa harusnya dirinya layak mendapatkan naskah dengan koreksi minim seperti itu.

Saat mendengar alasan konyol Fitria ini, dia tertawa kecil lalu berkata, "Kamu masih jauh lebih baik dariku. Dulu, aku bahkan tidak menguasai banyak materi kepenulisan. Aku selalu mengambil bagian sedikit, kena marah sampai dibilang pemalas pun pernah. Tapi, itu dulu, dan suatu hari aku menutupi kekuranganku dengan bagaimana caranya agar aku menemukan penulis dengan kesalahan minim? Aku sama sepertimu, dan disitulah aku mulai menyibukkan diriku. Aku belajar menghadapi mereka, dan aku belajar bersama mereka untuk memperbaiki naskahnya."

"Yah~ dari situ aku merasa seperti ada sesuatu yang membuat penulis dan editor terikat."

"Kalau begitu bagaimana caranya?" tanya Fitria penasaran.

"Jangan buru-buru, Fitria. Nanti kau juga akan segera menemukan penulis seperti yang kau inginkan."

"Kau juga bisa mengambil bagian tersantai, dan kau bisa mewujudkan impian terbesarnya."