"Selamat pagi," sapa Antony pertama kali begitu sampai di meja makan.
Dikecupnya pipi sang putri kesayangan sebelum duduk di sampingnya dan mengambil roti panggang untuk dirinya sendiri.
Elsalsabil Yuliardana namanya. Putri kecil berumur empat tahun hasil buah cinta Antony bersama sang Istri, Zeya Yuliana.
Anak itu sangat cerdas, jarang menangis dan pintar melihat situasi layaknya orang dewasa. Seperti pagi ini, melihat bahwa ibunya di seberang meja sana tidak memedulikan sapaan Anton, dia segera menghibur sang Ayah dengan menyentuh kedua pipinya.
"Jangan lihat Mama, ya. Dia lagi sibuk main ponsel. Papa bicara sama Elsa saja."
Anton tersentuh untuk yang kesekian kali. Bersyukur atas sikap dewasa dari sang putri semata wayang, yang menyadari bahwa hubungan di antara kedua orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.
Ayah tampan itu mengangguk dan tersenyum manis. "Mama mungkin sedang menghubungi teman kantornya. Biarkan saja, jangan di ganggu," bisik Anton di telinga Elsa. Membuat anak kecil itu kegelian dan berakhir tertawa kencang.
"Kalian bisa diam tidak, jangan ribut di meja makan!" Selaan Zeya pun menggema tiba-tiba. Matanya berkilat ganas ketika menatap wajah sang suami.
Namun, Anton sudah terbiasa. Dia dengan mudah menjadikan kemarahan sang istri sebagai lelucon untuk mengalihkan perhatian anaknya.
"Oh, tidak. Singa betinanya sudah marah, ayo kita cepat pergi!"
Anton buru-buru mengangkat tubuh sang anak dalam gendongannya. Mengambil dua roti panggang dari atas meja secara acak, sebelum berlari ke depan sambil memperagakan gaya pesawat terbang untuk menghibur sang putri tercinta.
"Hahaha ..." Elsa tertawa kencang. Memegang erat leher sang ayah dan nampak sangat bahagia.
Di meja makan, Zeya mengerutkan kening. Menyaksikan tawa kedua orang itu tanpa sedikitpun ekspresi yang berarti.
Mendengus pelan, dia kembali fokus pada layar di ponselnya dan seketika merubah ekspresi wajahnya menjadi tersenyum.
***
"Elsa jangan nakal. Harus main sama teman-teman yang lain, okay?"
Anak kecil yang terlihat imut dengan dua kuncir kudanya itu mengangguk patuh. "Ya. Nanti Elsa bagikan makanan ringan ini dengan mereka. Biar semuanya merasakan!"
Anton tersenyum. Menepuk kepala sang anak dan menyaksikan kaki-kaki pendek itu berlari menuju gerbang sekolahnya; taman kanak-kanak.
Ayah tampan itu juga harus cepat sampai di tempat kerjanya. Tujuh lima belas bel sekolah berbunyi. Masih tersisa beberapa saat dan dia harus cepat. Kalau tidak, dia mungkin akan di cap menjadi guru tidak teladan.
Untungnya jalanan di tempatnya tinggal masih belum terlalu ramai. Tidak macet dan lancar-lancar saja. Dia sampai di depan pintu gerbang sekolah itu sepuluh menit lebih awal menuju terlambat.
Turun dari mobil, Antony berjalan menyusuri lorong menuju ruang kelas yang sebentar lagi akan dia masuki jam pelajarannya, PJOK.
Melewati ruang kelas XII IPA I, dia tidak bisa tidak tersenyum.
"Selamat pagi, Pak Anton!" Sapa anak-anak kelas itu. Mereka benar-benar layak di sebut siswa teladan. Anton pun mengakuinya.
"Selamat pagi juga." Anton tersenyum manis. Menunjukkan sebuah lesung pipit di satu pipi yang menambah kadar ketampanannya.
Para siswi itu pun tersipu malu dengan pipi yang memerah padam. Pak Anton adalah idola para siswi di sekolah ini, ah!
Sayangnya, guru olahraga dengan badan tinggi dan kekar itu tidak menjadi wali kelas mereka. Sebagai gantinya, dia malah menjadi wali kelas para siswa berandal yang tak tau aturan.
Anton pun melanjutkan langkahnya. Melewati kelas XII IPA II, dia masih tersenyum, pun kelas-kelas lain yang masih dalam deretan yang sama.
Baru, ketika kakinya sudah berbelok dan memasuki lorong kelas IPS, senyuman di wajahnya luntur. Digantikan semacam ekspresi pasrah dan tak berdaya.
Apalagi ketika langkah kakinya sudah mendekati kelas XII IPS V. Mendengar keributan dari jauh saja sudah membuatnya geleng-geleng kepala. Telinganya sakit, sungguh. Kelas itu benar-benar definisi dari kelas iblis yang sebenarnya.
"Selamat pagi, anak-anak." Sapa Anton ketika memasuki ruang kelasnya sendiri.
Seperti biasa, tidak ada jawaban sama sekali dari murid-murid biadab itu. Akhirnya, Anton harus mengulang salamnya dengan nada suara yang lebih keras.
"Selamat pagi, anak-anak!" Teriaknya dengan nada suara bariton serak, khas lelaki dewasa yang sedang menahan amarahnya agar tidak meledak saat itu juga.
"Oh, ada Pak Anton. Semuanya, duduk kembali ke tempat masing-masing!"
Yang menjawab barusan adalah satu-satunya siswa yang masih bisa di ajak bicara normal. Pun agak sopan dan berakhir menjadi kandidat terbaik sebagai ketua kelas. Fadila Ihsan namanya.
Remaja culun berkacamata besar yang kalau sudah belajar serius akan lupa tentang apa dan dimana dia berada.
Yang lain, entah bagaimana bisa patuh dengan si ketua kelas. Mungkin karena mereka sudah jelas tahu, jika di balik topeng culun itu terdapat sikap garang yang tanpa ampun. Benar-benar definisi gadis kuat yang tak terduga.
Ketika semua orang sudah duduk di kursinya masing-masing. Hanya ada satu siswi yang masih sibuk duduk di pangkuan seorang lelaki.
Itu si gadis yang terkenal nakal seantero sekolah, Fella Anastasia namanya. Dengan pacar yang tak kalah nakal, malah bisa disebut sebagai bajingan muda yang hobinya bermain-main dengan banyak wanita. Danu Prasetyo, sebutannya.
Mereka di kenal sebagai pasangan yang super tidak masuk akal. Berpelukan di sembarang tempat, bermesraan di depan guru, dan masih banyak perilaku tak terpuji yang sering mereka lakukan di sekolah ini. Sayangnya, para guru tidak bisa begitu saja menghentikan kelakuan mereka.
Danu Prasetyo anak dari keluarga terpandang. Ayahnya sudah sangat berjasa atas banyak pembangunan di sekolah ini. Bisa dibilang, dia adalah donatur tetap yang benar-benar loyal dalam mengeluarkan uang.
Anton menggebrak meja seraya berkata dengan nada dingin. "Kalian tidak punya telinga? Cepat duduk di tempat masing-masing sekarang juga!"
Si gadis Fella yang masih sibuk bercanda dengan sang kekasih terpaksa harus menghentikan kegiatannya. Memutar kepalanya ke belakang, dia menatap wajah Pak gurunya dengan ekspresi menghina. "Ada terlihat saya peduli, Pak? Tidak lihat kami berdua sedang sibuk, huh?"
"Sibuk apa?" Anton melipat kedua tangannya di dada dan bertanya dengan nada menantang. "Kalau kalian memang sebegitu tidak tahu malunya, silakan saja. Kalian boleh bermesraan di sana sesuka hati. Tapi, sebagai gantinya ..." Anton menggoyang-goyangkan ponsel pipih di tangan kanannya. "Kalian harus mau masuk ke dalam rekaman dan go publik di sosial media. Saya mau lihat, sampai sejauh mana nyali anak Pak Prasetyo yang terkenal seantero kota ini membuat malu nama keluarganya."
Mendengar namanya di bawa-bawa, Danu Prasetyo menggertakkan giginya. Ayahnya super galak, dia bahkan tidak berani membantah sedikit pun. Hanya sang Ibu yang selalu jadi tameng perlindungannya. Jika sampai dia debut di internet dengan video tak senonoh seperti ini. Ayahnya bukan hanya murka, bisa-bisa dia betulan di keluarkan dari kartu keluarga!
Menatap wajah Anton dengan pandangan mata kemusuhan, Danu berbisik pelan kepada Fella. "Duduk di kursimu."
Yang di perintah berdecak pelan. Kemudian berdiri dan mengacungkan jari tengahnya pada Anton.
Pak guru di depan sana hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan tenang membuka buku cetak tentang materi PJOK dan memulai pelajaran pagi itu seperti biasa.
Setelah meminta para siswa merangkum satu paragraf soal latihan kebugaran, Pak guru tampan itu berjalan berkeliling meja. Memantau para siswa jika nantinya ada yang sengaja tidak mencatat.
Melihat catatan di buku Danu masih kosong, Anton berdecak pelan, "Kosongkan saja semua tugasmu. Saya mungkin benar-benar tidak bisa membantu kelulusanmu tahun depan."
Danu pun mengangkat kepalanya dan menatap mata Antony dengan seringai jahat. "Apa-apaan. Tanpa bantuanmu sekalipun, aku bisa lulus dengan baik."
Anton balas tersenyum remeh, "Oh, kalau begitu coba saja. Hasilnya akan kita lihat di kelulusan nanti," tantangnya dengan ekspresi wajah datar. Yang mana hal itu berhasil membuat Danu jadi agak was-was.
Pada akhirnya, pemuda itu tetap menulis dalam bukunya. Walau terlihat asal-asalan dan tidak berniat sama sekali.
***