Chereads / The Garden Indipendence / Chapter 6 - 5. The Hidden

Chapter 6 - 5. The Hidden

Waktu semakin berlalu, anak-anak yang sedang latihan randai tetap fokus pada gerakan yang diberikan oleh leadernya. Mereka menari, melompat kemudian memukul kain yang berlebih dicelana galembong mereka. Celana galembong adalah celana ukuran lebar dengan ditengah-tengahnya ada kain berbentuk segitiga, sehingga terkesan seperti rok kalau dilihat dari jauh.

"Teh..." mereka kemudian kakinya kebelakang, dengan posisi orang yang sedang latihan pencak silat.

"Asss!!!!" Berubah posisi lagi, mereka angkat kaki mereka satu. Begitulah seterusnya. Lalu masuklah lakon. Tapi sebelum masuk ke lakon, mereka akan bermonolog dengan nyanyian kalau kata orang badendang.

"Manolah niniak...nan Jo mamakkkkk

cukuik panonton....

kasadonyo....

(cukuik panonton kasadonyo)"

Begitulah dendang pembukanya yang diiringi oleh tarian dimana para penari randai adalah, laki-laki. Diiringi bunyi saluang yang mendayu-dayu. Suara itu menembus ketelinga seseorang yang jaraknya seharusnya tidak terdengar oleh manusia normal. Anak itu kemudian menangis ketika mendengar suara saluang yang terasa sangat mengerikan baginya.

Dia menangis sambil menutup telinganya. Saat dia seperti itu, tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya datang menyelamatkan remaja laki-laki yang baru saja membeli sesuatu. Seharusnya suara saluang inilah yang menjadi favorite masyarakat sekitar. Kalau orang mendengar suara saluang yang mendayu-dayu jiwa mereka pasti akan tentram. Namun tidak dengan remaja laki-laki yang tidak diketahui siapa namanya.

Wajahnya tampan, tapi kulitnya pucat dan raut wajahnya seperti orang yang tersiksa. Suara serta syairnya membuat sekujur badannya memerah. Kemudian ia pingsan.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Karena sibuk bercanda disepanjang jalan, Monra dan Risu sudah sampai di area Pasailalang. Dia menatap wajah Risu sembari mengingat sesuatu.

"Kenapa Mon?"

Dia teringat akan Yanda yang selalu menghampirinya. Dia tertawa tidak percaya kalau Yanda idaman menyukai seorang yang sangat tidak pedulian sama sekali. Apalagi urusan cowok.

"Kamu beneran gak suka sama Yanda?"

"Nggak"

"Lah kenapa? kan dia ganteng"

"Dia cuman pemberi harapan palsu doang"

"Terserah deh. Ya udah aku balik dulu ya."

"Oke."

Kerumah mereka berpisah. Monra mengarah ke Masjid. Sementara Risu ke arah satunya lagi tepatnya ada bangunan pos ronda. Ia berjalan sendirian tanpa ada yang menemani. Ketika ia berjalan, ia melihat sosok perempuan cantik disebalik pohon kelapa mengintipnya. Dia memakai pakaian sejenis Bundo Kanduang.

Karena tidak ada siapapun, dia mendekati perempuan itu. Dia tampak anggun dan berkelas seperti perempuan Minang zaman dulu, dimana mereka menjaga betul auratnya. Dia tampak terhormat dengan pakaian yang dia kenakan. Mata perempuan itu lurus kedepan sambil tersenyum menghadap Risu. Ketika Risu mendekati perempuan itu, ada ratusan kunang-kunang yang mengelilinginya. Risu kemudian mencoba menyodorkan tangannya, begitu juga dengan perempuan. Hingga akhirnya jari telunjuk mereka saling bersentuhan. Tapi anehnya setelah interaksi yang dia lakukan perempuan itu menghilang. Dan cahayanya terbang ke angkasa mengikuti ratusan kunang-kunang yang datangnya entah darimana.

Jika dipikir-pikir mana ada kunang-kunang disiang hari? Semenjak ia pingsan banyak kejadian aneh yang mungkin perlahan bakal suatu cerita yang baru.

Waktu semakin cepat dan berlalu. 6 jam kemudian hari sudah mulai sore. Jam segini biasanya Risu menghabiskan waktunya untuk menonton anime. Tapi kali ini dia membuka laptop bukan untuk streaming anime, melainkan mencari sebuah informasi tentang misteri Lapangan Merdeka. Dia mencari seluk beluk apa yang terjadi di Lapangan Merdeka itu. Namun yang ia temukan adalah wacana Revitalisasi Lapangan Merdeka.

Tidak ada jawaban yang ia temukan.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi?" Rasa penasarannya mulai muncul.

"kenapa aku mengalami kejadian aneh?"

Tapi untuk apa dia pikirkan semua itu? Tenangkan dulu, jangan tergesa-gesa. Anggap saja kejadian tadi hanyalah halusinasinya semata.