Jeritan kesakitan memekakkan telinga. Makhluk - makhluk dari segala jenis, bentuk dan ukuran berjalan tertatih. Punggung layunya menopang beberapa benda berat. Lelah sedikit, akan mendapat cambukan dari sang penjaga. Mereka adalah makhluk yang cukup sial menjadi budak di dunia Legendary. Para penduduk lemah yang membangkang dan tidak mengakui bahwa Dosta adalah penguasa Legendary Land.
"Makhluk lemah, cepat kerja!"
Ctiiiiiaaarrrrr!!!
Satu cambukan bergerigi dilayangkan ke salah satu makhluk yang tak becus menjalankan tugas. Tubuh makhluk itu sudah terlalu lelah dan memutuskan beristirahat.
Makhluk itu meringis. Perih. Tetapi ia tak bisa melawan Orpha. Monster tinggi besar dengan otot seperti beton padat itu merupakan salah satu dari anak buah andalan Sang Kegelapan. Orpha si makhluk bengis ditugaskan sebagai pemimpin pengawas para budak.
Para budak tersebut ditugaskan mengumpulkan barang tambang serta bahan - bahan makanan bagi makhluk - makhluk yang senantiasa mematuhi sang kegelapan. Karena seperti yang diketahui bahwa hampir sebagian wilayah Legendary Land begitu gersang. Hitam pekat. Tak ada tumbuhan yang hidup. Semuanya musnah. Sumber pangan sebagian besar makhluk legendary land telah mati. Membuat para makhluk di dalamnya kelaparan. Hanya makhluk yang beruntung dan cukup mempunyai kekuatan bisa bertahan atau memilih melarikan diri berpindah haluan ke dunia manusia.
Di belantara hutan Legendary, dua makhluk meneropong para makhluk - makhluk lain yang dijadikan budak. Mereka bertengger di atas pohon.
"Cih. Sang kegelapan hanya bersembunyi di balik anak buahnya. Pyuhh pengecut." Cebik salah satu siluman, meloncat ke bawah meletakkan teropongnya kembali.
"Jaga bicaramu, Krok!"
Siluman kerbau itu tak mengindahkan. Memutar bola mata malas kala sang teman menegurnya. Ia lantas berdiri. Menatap menantang.
"Dia selalu mengandalkan anak buahnya untuk melakukan misi. Dia selalu bersembunyi di kastilnya dan di balik topeng konyolnya. Sesungguhnya ia makhluk rumahan yang ber..."
Belum ada satu detik, mendadak mata siluman kerbau itu membulat. Otot-otot matanya menyembul nyaris keluar dari tempatnya. Tubuh liatnya menegang, terasa sesak. Sesuatu sudah mencengkeram seluruh tubuhnya.
****
Dosta duduk bersila. Dia memang jarang keluar dari kastil. Tetapi ia bisa melakukan hal yang sungguh tak terduga. Menakjubkan sekaligus menyeramkan.
Dosta memejamkan mata. Sedetik kemudian, kabut hitam perlahan - lahan muncul dari dalam tubuhnya. Asap hitam itu kemudian terbang keluar menuju penjuru Legendary Land.
Ya.... Raga sang kegelapan masih di sana. Namun tidak dengan jiwanya. Dia bisa berada dimana - mana, dalam bentuk berbeda, dalam wujud siapa saja. Dan saat ini ia menjelma sebagai udara kosong. Tak sengaja mendengar salah satu makhluk rendahan menyepelekannya.
Ohh... Dia tidak marah. Tidak menggertakkan gigi, tidak mengepalkan tangan, tidak bersungut - sungut dan tidak beremosi ria dengan mengobrak - abrik seluruh belantara hutan tersebut lantaran dihina. Dia hanya diam.... Karena makhluk itu tak punya perasaan. Dan.... Tanpa basa-basi, secepat kilat nyaris tak terlihat, Sang kegelapan langsung mencengkeram leher siluman itu. Membuat ucapan sang siluman terbungkam karena jeratan asap hitam yang bagaikan rantai mencekik tenggorokan.
Kabut hitam itu memanjang dari leher turun sampai kaki. Melilit tubuh makhluk bernama Krock. Lilitan tersebut layaknya ular piton yang hendak melumpuhkan mangsa. Meremukkan tulang. Hingga ke dua bola matanya menyembul keluar. Menahan sakit teramat menyiksa.
Tubuhnya mengejang, ia berusaha menarik sang kabut. Namun sayang, asap tak dapat disentuh. Siluman kerbau itu tersengal - sengal tak berdaya. Sangat tersiksa akan jeratan kabut yang semakit meremas tubuhnya. Hingga berharap mati adalah jalan terbaik.
Sementara teman siluman itu hanya menatap takut. Tubuhnya tak mampu bergerak saking gemetarnya. Ia bergidik ngeri dengan mulut ternganga melihat sang teman tersiksa habis - habisan. Dan...
CROOTTT....
Darah siluman kerbau menyembur melapisi tanah. Bagaikan perasan santan, tubuh makhluk itu remuk. Darah hijau mengalir sempurna. Teman sang Krock membeku lunglai melihat saudara satu kaumnya tewas mengenaskan. Tubuhnya hancur lebur seperti dijatuhi tumpukan besi berton - ton.
Kabut hitam tersebut perlahan membentuk siluet manusia. Meski hitam pekat namun bisa terlihat bahwa ia sedang menyeringai, "Jangan macam - macam dengan Sang Kegelapan."
***
"Suwa."
Suara itu menyentaknya, meski dengan nada biasa tapi Suwa berhasil pulih dari kesadarannya. Gadis itu terbangun, sedetik kemudian ia bangkit merasakan perutnya bergejolak tak karuan. Sejak semalam ia tak hentinya merasakan mual. Dia muntah - muntah sampai pingsan. Ya... Semua itu sejak ia melihat bagaimana seluruh keluarga bangsawan Haye tewas mengenaskan karena dirinya. Dan darah segar masih saja terasa melekat di indera penciumannya.
"Kau tak apa-apa?" Ludra menghampiri Suwa. Menepuk-nepuk punggung wanita itu.
Suwa masih saja mual. Tetapi ia sudah tidak bisa mengeluarkan isi perutnya lantaran telah terkuras semalam.
Gadis itu menoleh, menatap Ludra dengan lemas. Wajahnya pucat pasi. Entah itu karena terlalu banyak muntah atau karena takut.
"Jika terus - menerus begini kau akan kehilangan energi." Ludra menghela Suwa untuk duduk dan bersandar di dinding gua. Semalam dia langsung membawa Suwa melesat pergi bersembunyi di gua yang terletak di tengah hutan.
"Makanlah! Perutmu harus diisi." Ludra memberikan beberapa buah - buahan untuk Suwa. Tetapi gadis itu tetap bergeming. Tubuhnya masih gemetar.
Ludra mengamati keadaan Suwa. Gadis ini pasti sangat shyok. Tentu saja, siapa manusia normal yang tidak merasakan hal itu bila melihat pembunuhan sadis di depan mata.
"Mulai sekarang kau harus membiasakan melihat darah, Suwa."
Pernyataan Ludra yang tiba - tiba itu membuat Suwa tersentak. Dia kemudian memalingkan wajah dan berbaring miring dengan punggung tangan sebagai bantal. Dirinya meringkuk, mengingat kembali kejadian 12 tahun lalu di mana seluruh keluarganya dibantai sadis. Hanya ia yang selamat. Gadis kecil yang tertimbun salju, masih dalam keadaan sadar ketika sang ayah meletakkan telunjuknya ke bibir. Sebagai isyarat agar Suwa diam. Dan... Sedetik kemudian mereka memenggal kepala ayahnya beserta seluruh keluarganya.
Sampai sekarang Suwa masih trauma. Apalagi ketika melihat darah, perutnya langsung bergejolak.
"A... Aku yang membunuh mereka." Suwa bergumam lirih merasa bersalah atas semua yang terjadi.
Ludra tak menanggapi. Ia masih diam memperhatikan wanita yang meringkuk membelakangi dirinya. Tak lama kemudian ia berjalan.
Suara langkah kakinya membuat Suwa memutar tubuh dan bangkit dari posisinya. Ia menatap Falcon terakhir dengan heran. Bingung apa yang hendak makhluk itu lakukan.
Ludra berdiri. Membuka baju zirahnya, menampakkan otot - otot liat yang begitu maskulin. Wajah pucat Suwa mendadak bersemu, buru - buru ia menunduk.
"A... Apa yang kau lakukan?"
Sekali lagi Ludra tak menjawab.
Dan tiba - tiba lewat ekor matanya, Suwa melihat seberkas sinar keemasan tengah berpendar. Perlahan Suwa mendongak, kelereng hitamnya melebar. Ia terperangah takjub dengan mulut sedikit terngaga.
Tubuh Ludra.... sang Falcon itu entah kenapa perlahan membentuk sebuah garis - garis tak beraturan di setiap aliran sarafnya. Dan garis - garis tersebut mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Apa yang terjadi dengan tubuhmu?"
"Kekuatanku bertambah." Jawab Ludra datar. Perlahan Ludra melangkah mendekati Suwa membuat gadis itu refleks mundur dan membentur dinding gua.
Suwa mengerjap. Waspada akan tindakan yang dilakukan Falcon padanya.
Dan tiba - tiba gadis itu menangkap sebuah sinar keemasan yang sama seperti milik Ludra di lehernya. Tepatnya pada bagian saat Ludra pernah menyayat lehernya.
"A... Apa ini?" Mata Suwa semakin melebar. Sebelah tangannya memegangi arah datangnya sinar.
Tanpa kata, Ludra semakin mendekat. Menatap Suwa dengan pandangan tak terbaca. Ia sudah mengukung gadis itu.
Perlahan Ludra mendekati wajah Suwa. Memiringkan leher gadis itu dengan sebelah tangan lalu mengecupnya.
***