Dia adalah Heise, panglima tertinggi yang merupakan klan Naga langka penghuni Legendary Land. Tangguh, kejam, kekuatannya di atas rata-rata penghuni dunia legendaris. Anak buah sang kegelapan terhebat. Nafas api-nya mampu menghancurkan satu wilayah dalam sekali semburan. Dia, perwujudan naga merah, makhluk paling ditakuti setelah sang kegelapan 'Dosta'.
Di dunia manusia, naga dianggap sebagai lambang dewa. Setiap purnama para manusia yang tinggal di lingkup istana Kilan ( Salah satu kerjaan di dunia manusia ) akan memberi persembahan seorang gadis perawan untuk dijadikan tumbal demi kesejahteraan. Mereka melakukan ritual sedimikian rupa memanggil sang naga. Ritual itu berlangsung di gunung keramat. Mereka percaya, gunung tersebut merupakan gerbang menuju negeri para dewa. Setelah ritual selesai, para penduduk akan meninggalkan gadis persembahan di sana.
Tidak ada yang pernah melihat langsung sang naga menjemput tumbalnya. Tetapi, semua orang dapat memastikan bahwa keesokan harinya gadis persembahan itu hilang tanpa jejak.
Dan, salah satu gadis persembahan yang masih hidup berada di tangan Heise. Makhluk itu tak membunuhnya malah mengurungnya, sesekali bermain cinta dengannya. Entah apa yang ingin Heise lakukan pada gadis itu, yang jelas manusia itu begitu spesial bagi sang naga merah.
"Kau membakar kaum ku lagi Heise?"
Pria yang dipanggil hanya menoleh. Menatap malas kepada wanita beriris emas, "Sejenis mu mengusikku."
Perempuan itu mencibir, "Semua pasti gara-gara manusia itu."
Heise tak menanggapi. Ia terus berjalan lurus menuju ruang tahanan. Tempat di mana gadis manusia yang sempat kabur darinya meringkuk tak berdaya. Tetapi siluman rubah ekor sembilan itu menghalangi. Dengan anggun, kaki jenjangnya melangkah. Jemari lentiknya menyusuri rahang tegas Heise. Membelai penuh goda.
"Apa yang kau lihat dari manusia itu Heise? Tidakkah aku lebih baik?" Siluman rubah bernama Ruby itu masih melancarkan aksinya. Jemarinya terus bergerilya di setiap sisi wajah sang naga, "Aku mencintaimu, Heise." Ia memeluk Heise dari belakang, kepalanya bersandar di sisi leher Heise.
Heise bergeming. Tak menunjukan reaksi apapun. Siluman rubah itu memang sangat cantik. Tetapi Heise sama sekali tak berminat. Manik merah itu menyala, "Kau sudah tahu jawabanku, Ruby." Heise melepas kedua tangan yang melingkupi perutnya. Ia kembali berjalan lurus tanpa menoleh ke arah rubah ekor sembilan yang menatap kesal.
"Manusia itu... suatu saat akan menyusahkanmu. Dan ketika itu terjadi, aku yang akan meleyapkannya." Teriak Ruby geram.
***
Mereka terbang melintasi langit. Dari sini kita bisa melihat bagaimana luasnya dunia lain yang sempat Suwa injak. Tetapi, dari sini pula Suwa bisa mengetahui bahwa hamparan es beserta hutan itu termasuk lokasi yang sama. Membentuk pulau kecil.
"Apa ini Legendary Land?" Suwa memberanikan diri bertanya.
"Bukan. Pulau itu bagian dari wilayah istana es. Makhluk sepertiku tinggal."
"Lalu~ apa bedanya pulau itu dengan Legendary Land? Bukankah sama-sama dunia lain?"
Ludra yang berada di belakangnya menggeleng, "Seperti dunia mu. Dunia legendaris juga terbagi-bagi menjadi beberapa pulau dan wilayah. Dulu, wilayah istana es masuk dalam kawasan Legendary Land. Tetapi karena sebuah kejadian, sebagian besar wilayah istana es hancur. Dan kepingan wilayah yang tersisa adalah itu." Ludra menunjuk ke bawah. Pulau berlapis es berada.
Suwa ternganga, takjub. Membayangkan betapa besarnya wilayah istana es dulu. Jika kepingannnya saja membentuk pulau seperti itu.
"Wilayah istana es telah terpisah dari Legendary Land. Lebih tepatnya memisahkan diri. Bersembunyi di dunia manusia. Untuk melindungiku, sang Falcon terakhir." Imbuh Ludra tanpa Suwa sadari ada sinar getir saat Ludra menjelaskan semua.
Suwa menelengkan kepala, tidak mengerti. Namun, ia enggan bertanya lebih. Sudahlah... Semua tak penting baginya. Prioritasnya hanyalah bisa mendapat kebebasan, hidup damai dan bahagia. Dia tidak mau terus-menerus bernasib buruk.
"Lalu kita mau ke mana?"
"Ke dunia mu."
"APA?" Suwa tersentak, Elang raksasa yang mereka tunggangi tiba-tiba mengepakan sayap lebar-lebar. Melesat dengan kecepatan layaknya seekor jaguar. Suwa terkesiap, wajahnya serasa akan hancur terkena atmosfir saking kencangnya. Ia menjerit histeris, bagaimana kalau dia jatuh?
Sigap. Ludra merengkuh pinggang Suwa. Memegang erat agar tak terpelanting ke bawah. Suwa terkesiap akan sentuhan tak terduga Ludra, tetapi rasa paniknya mengalahkan segalanya. Ia membiarkan saja saat sebelah tangan Ludra menangkup erat pinggangnya.
***
Entah berapa jauh jarak tempuh menuju dunia manusia. Yang jelas ketika mendarat, hari sudah larut. Suwa turun dari elang. Jongkok, menepuk-nepuk dada. Dia langsung mengeluarkan isi perutnya. Muntah. Terbang membuatnya mabuk. Kepalanya pusing, perutnya terasa dikocok. Dia bahkan hampir pingsan akibat sensasi baru yang ia rasakan.
"Tahu begini kita jalan saja lewat gua." Suwa melirik kesal.
"Tidak bisa. Gua itu sudah tertutup, lagipula orang yang berhasil masuk tidak akan pernah bisa keluar. Hanya terbang satu-satunya cara kembali ke dunia manusia." Ludra mengulurkan jemari. Memberikan sapu tangan putih untuk Suwa.
Gadis itu mendengus. Segera menyambar sapu tangan kemudian mengusap mulutnya yang basah karena sisa muntahan.
Ludra melihat sekitar. Hutan dunia manusia ini sepi. Menggunakan kekuatannya, ia memotong ranting-ranting pohon. Kemudian menggesekkan salah satu ranting ke kuku elang raksasa. Seketika itu, api menyembul keluar.
Suwa mengernyit, antara heran dan juga takjub. Bagaimana bisa kuku seekor elang bergesekan dengan kayu bisa membuat api hanya dalam satu gesekan. Mungkin saja kuku elang itu terbuat dari besi. Pikirnya.
"Zie." Ludra bergumam kepada elang peliharaannya. Elang raksasa itu seperti mengerti. Perlahan elang itu mengecilkan tubuh menjadi ukuran elang pada umumnya. Burung itu mendadak terbang entah ke mana.
Malam ini begitu dingin. Suwa duduk di atas batang pohon tumbang. Api unggun yang dibuat cukup mampu menghangatkan. Manik gelapnya melirik Ludra yang duduk tenang di sampingnya. Mengamati.
Pria ini benar-benar tampan. Postur tubuh bagus, bibir merah alami dengan mata perak menajubkan. Sungguh sempurna. Suwa membatin. Mengagumi keindahan sosok yang kini berada di dekatnya. Sayang sekali dia siluman. Suwa mendesah, menggelengkan kepala menyayangkan.
"Kenapa?"
"Haaa." Suwa mengerjap tersadar dari pikiran ngelanturnya. Ia jadi salah tingkah saat Ludra menoleh ke arahnya.
"Kau menatapku sembunyi-sembunyi. Kenapa?"
Pipi Suwa mendadak memerah. Ia langsung melengos, duduk tegak dengan kedua tangan bertumpu di lutut, "A-Aku hanya sedang waspada kalau-kalau kau berubah dalam wujud aslimu."
Ludra menaikkan sebelah alis, "Wujud asliku?"
"Ya." Suwa mengangguk, memberanikan diri menatap penasaran makhluk silver itu, "Kau ini makhluk apa? Siluman apa?"
Ludra yang datar itu terkekeh kecil sadar akan maksud Suwa. Gadis ini rupanya berpikir dirinya adalah siluman, "Aku adalah Falcon prajurit perang. Bukan siluman, iblis atau semacamnya."
Suwa sempat takjub saat makhluk dengan wajah tenang itu bisa tertawa walau tawanya nyaris tak terlihat.
"Falcon?" Suwa memiringkan kepala tak mengerti, "Aku tak pernah dengar cerita legenda maupun dongeng tentang Falcon."
"Jangankan kau seorang manusia. Penghuni legendary land saja banyak yang tak percaya. Bagi mereka Falcon hanyalah makhluk yang dianggap mitos."
"Jadi kesimpulannya, kau ini apa?"
"Falcon adalah perwujudan dewa perang."
Suwa ternganga, "Jadi kau dewa?"
Sejenak Ludra terdiam. Perlahan menggeleng, "Bukan, dewa lah yang menciptakan kami." Ludra kemudian meluruskan pandang memberi tatapan tajam ke arah Suwa, "Sepertinya kau terlalu banyak bertanya."
Cepat - cepat Suwa mengatupkan bibir. Peringatan lewat sorot mata perak itu membungkam dirinya. Sudah cukup penjelasan dan ia lebih sayang nyawanya ketimbang rasa ingin tahunya.
Ludra menarik sudut bibir melihat Suwa yang beringsut menjauh. Kemudian telinganya menangkap suara aneh yang berasal dari..... Perut Suwa.
Gadis itu sontak menunduk, memegangi perutnya yang keroncongan. Dia, luar biasa malu. Perut sialan, tidak bisa diajak kompromi. Sedari tadi Suwa menahan lapar. Sejak dipaksa menjadi budak dan kemudian bertemu dengan Falcon, dirinya sama sekali belum mendapat nutrisi. Terlebih dirinya sempat muntah.
"Aku lapar." Cicitnya menahan rasa malu yang sudah menumpuk.
Ludra berdiri, bersiul sekali elang peliharaannya kembali dengan seekor ikan, "Aku tahu." Ludra mengambil ikan dari cengkeraman Zie. Menusuknya ke batang kayu kemudian membakarnya.
Suwa hanya bisa terbengong. Sungguh, tak menyangka bahwa Ludra sesigap ini. Makhluk itu ternyata sedari tadi menyuruh elang peliharaannya menangkap buruan untuk dirinya. Tidak ada manusia yang sepeduli ini padanya. Kecuali manusia itu punya maksud tertentu. Tetapi makhluk ini... Entalah Suwa tidak bisa menyimpulkan.
"Terima kasih." Ucap Suwa sembari mengolak-alik ikan panggang agar matang sempurna.
***
Gadis itu membuka mata. Merasakan tubuhnya terasa remuk redam. Sekujur kulitnya dipenuhi luka. Ia meringis perih.
"Sakit bukan?"
Suara berat itu menyentaknya. Gadis itu mendongak. Menyeret tubuhnya beringsut menjauh.
"Sudah ku bilang kau tak akan bisa kabur." Sang naga merah berjalan pelan, penuh intimidasi. Gadis manusia tahanannya sekali lagi melarikan diri namun lagi-lagi usahanya sia-sia. Perempuan itu malah bertemu dengan sekumpulan siluman rubah kelaparan. Alih-alih ingin membantu gadis itu kabur, tetapi para siluman rubah ingin menyantapnya. Daging manusia terlihat lezat.
"Kau nyaris menjadi santapan para siluman itu."
"Lebik baik saya mati daripada harus kembali di sini." Ucap gadis itu lirih.
Heise menggeleng, tersenyum miring ia berkata, "Jikalau harus mati. Matilah di tanganku, Aira." Heise mencekal lengan gadis itu. Sebelah tangannya merobek paksa kain yang membalut tubuh Aira. Lebam-lebam di kulitnya begitu banyak. Heise kemudian menciumi setiap inci kulit gadis itu. Seiring dengan sentuhannya, perlahan lebam serta luka - luka kecil itu menghilang.
Gadis manusia itu kembali pulih. Kulitnya kembali bersih bersinar tanpa bekas luka sedikitpun. Heise menaikkan sudut bibir, "Kau tahu bukan hukuman yang pantas jika berani melawanku."
Aira menggigit ujung bibirnya. Pasrah saat Heise kembali mencumbu dirinya. Aira seharusnya tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa keluar dari kurungan sang naga. Dia seharusnya tetap menjadi gadis penurut. Tetapi lagi-lagi ketika mendapat celah untuk kabur, akal sehatnya berkata inilah kesempatan. Dan dia pun tanpa pikir panjang melarikan diri dari mansion mewah milik Heise. Namun ujung-ujungnya selalu sama. Gagal. Dan ketika itu Aira harus bersiap menghadapi hukuman dari sang naga.
"Tuan, biarkan saya pergi!"
"Tidak. Tempatmu adalah di sini, Aira." Gumam Heise di sela-sela ciumannya, "Setelah ini, mungkin beberapa waktu aku tidak akan menemuimu."
Setelah puas. Heise merapikan pakaiannya. Ia pun berjalan meninggalkan Aira yang meringkuk lemas.
Waktunya tiba. Dia harus segera menemukan sang Falcon. Prajuritnya sudah menyusuri seluruh Legendary Land. Tetapi hasilnya nihil. Jejak Falcon sama sekali tak tercium. Bahkan tak terlihat oleh bejana ajaib milik sang kegelapan.
Heise mengumpulkan para prajuritnya. Membagi-bagi setiap wilayah legendary land untuk mereka endus. Jajaran prajurit dari berbagai siluman dan monster menganggukkan kepala mengikuti interuksi panglima tertinggi itu.
****
Suwa begitu kenyang, menghabiskan seekor ikan cukup besar sendirian membuat perutnya sesak. Ludra, sang Falcon itu rupanya tidak tertarik dengan daging ikan. Mungkin dia lebih tertarik dengan daging manusia.
'Bersiaplah Suwa, ketika saatnya tiba kau akan menjadi santapannya.' Suwa meneguk ludah. Pikiran negatifnya kembali muncul.
Tetapi sebelum itu terjadi, ia harus bisa lari dari makhluk legendaris ini. Apapun caranya.
Suwa menguap. Kenyang membuatnya ngantuk. Merebahkan diri di dekat api unggun berharap dia tidur nyenyak. Tetapi rupanya dia tidak kunjung bisa tidur. Diliriknya Ludra yang tengah terpejam. Tangannya bersendekap dengan kaki berselonjor menyilang serta punggung bersender di pohon terlihat begitu nyaman.
Suwa mencoba meniru posisi tidur Ludra, tetapi tetap saja hal itu tak berhasil. Malahan membuat punggungnya terasa tertekuk. Mendengus, Suwa bergerak-gerak gelisah. Sebenarnya tidur beralaskan tanah tak masalah baginya. Toh, dulu dia juga sering merasakan. Tetapi entah kenapa, malam ini dia tidak bisa tertidur.
Suwa lalu melirik Zie. Elang itu mengubah ukuran tubuhnya menjadi besar. Elang putih itu juga tampak tidur nyenyak. Meringkuk tengkurap dengan mengatupkan sayap.
Suwa memperhatikan Zie. Elang itu tampak tidak berbahaya ketika tidur. Ahh... Mungkin memang dia hewan jinak. Kemudian manik gelapnya mengamati bulu-bulu putih nan halus milik Zie. Suwa dapat merasakan bulu itu selembut kapas saat menaikinya tadi. Bagaimana jika bulu itu adalah selimut sutera. Suwa membayangkan sambil tersenyum. Dirinya jadi tergoda. Pasti akan sangat menyenangkan tidur beralas bulu.
Suwa berjalan menghampiri elang raksasa itu. Hati-hati ia membelai bulu Zie. Memastikan bahwa elang itu terjaga. Dengan ragu ia naik ke punggung Zie. Bergelung merapatkan tubuhnya ke lekukan bulu-bulu Zie. Sungguh halus dan empuk. Ini adalah kasur ternyaman yang pernah Suwa injak.
"Zie kau elang baik kan? Aku numpang tidur di sini ya?" Bisik Suwa. Tersenyum bahagia ia memejamkan mata merasakan bahwa sebentar lagi dapat tertidur nyenyak.
Seiring kesadaran Suwa menghilang, elang itu tiba - tiba menggeser sedikit sayapnya. Menyelimuti Suwa dengan sayap lebarnya untuk lebih menghangatkan.
Ludra membuka mata. Sedari tadi dirinya sama sekali tidak tidur.
****