Dunia legendaris semakin gelap saja. Jika hal itu terus menerus dibiarkan, lama kelamaan dunia itu akan hancur. Sementara makhluk penghuninya dengan terpaksa merangsek masuk, memonopoli dunia lain yakni dunia di mana manusia tinggal. Kalau sampai itu terjadi keseimbangan akan musnah, manusia hanya akan tinggal nama.
Kakek itu bercerita dengan senyum miris. Sementara anak-anak yang ada di hadapannya menyimak bingung.
"Maksudnya ada alam lain selain dunia ini?" Tanya salah satu anak.
Kakek bungkuk itu mengangguk, "Ya, Makhluk mitologi, siluman, penyihir dan berbagai jenis lainnya itu ada. Mereka tinggal di alam lain. Namun dari waktu ke waktu mereka memilih masuk ke dunia manusia, berbaur dengan kita. Mereka bisa merubah diri seperti manusia. Mungkin saja salah satunya ada di antara kita."
Anak-anak itu seketika bergidik ngeri, saling berlempar pandang. Mencari siapa diantara mereka yang bukan manusia. Cerita adanya makhluk lain memang bukan hal baru, semua itu hanya diceritakan oleh para orang tua sebagai dongeng pengantar tidur. Tapi tetap saja anak-anak polos itu tertarik untuk mempercayai.
"Lalu bagaimana caranya agar makhluk-makhluk itu tidak menjarah dunia ini?"
Kakek itu tersenyum, manik birunya berkilat, "Membangunkan sang dewa."
Semua anak terperangah bertanya-tanya. Namun belum sempat mereka bertanya lagi, suara gaduh mengalihkan atensi beberapa penduduk yang berlalu lalang.
Seorang gadis meronta, kedua tangannya terikat. Ia digelandang paksa oleh sekelompok pria berpakaian prajurit. Gadis itu terus meronta namun sama sekali tak meminta pertolongan karena ia tahu tidak akan ada yang menolongnya.
"Dia adalah pelayan bangsawan Haye, mereka pasti menjualnya." Bisik beberapa penduduk yang terlihat iba tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Manik sepekat malam gadis itu mengedarkan pandang, lalu tatapannya tertuju pada kakek berjubah yang duduk tak jauh dari kerumunan.
Mereka saling berpandangan sampai gadis itu berlalu menjauh.
Seiring kegaduhan sirna, perlahan pasar kembali seperti semula. Para penduduk melakukan aktivitasnya lagi. Seketika itu juga, pria tua tersebut menyudahi cerita lalu melangkah pergi.
Kakek bungkuk bertudung hitam berjalan meninggalkan kerumunan. Ia berjalan dengan tongkatnya menyusuri jalanan sepi. Sampai lama kelamaan di setiap langkahnya, bentuk tubuh kakek itu perlahan berubah menjadi tegak dan semakin berdiri tegak.
Wajah keriputnya memudar berganti dengan wajah mulus nan rupawan. Kini ia beralih menjadi pria muda. Ya, dia adalah penyihir. Salah satu makhluk legendary land yang berada di dunia manusia.
"Inilah waktunya." Pria itu menyunggingkan senyum penuh arti.
***
Gadis itu dimasukkan dalam kurungan kayu yang berada di atas gerobak. Mereka bersiap membawanya ke rumah bordil.
Suwa tersenyum miris. Tak menyangka majikannya setega ini. Lalu, putera majikannya yang dia pikir mencintainya hanya diam saja. Tak bergerak sedikitpun untuk membantu. Dan rasa sakit yang dulu masih membekas. Suwa menjalani hidup dengan keteguhan hati luar biasa. Dia menyimpan kepahitan di masa lalu, saat seluruh keluarganya dibantai sadis. Hanya dialah yang selamat. Suwa akhirnya ditampung oleh bangsawan Haye untuk jadi pelayan mereka. Namun ternyata hal itu bukan tanpa maksud. Bangsawan Haye sudah merencanakan mengikat Suwa, lalu setelah waktunya tiba mereka menjualnya.
Di tengah lamunannya, Suwa tersentak ketika tiba–tiba tali yang mengikat kedua tangannya terlepas. Lalu seolah ada keajaiban, jeruji yang mengurungnya terbuka begitu saja. Suwa terhenyak beberapa saat. Matanya lantas mengedarkan pandang. Melihat ada kesempatan untuk keluar, tanpa pikir panjang, ia melompat turun dan langsung melarikan diri menuju hutan.
Suwa terus berlari. Nafasnya terengah, peluhnya bercucuran meski lelah ia harus tetap berlari menjauh. Orang – orang itu pasti mengejarnya.
Kenapa hidupnya selalu sial? Rasanya dunia ini tak pernah berpihak padanya? Suwa ingin menangis. Begitu nelangsa atas kehidupan yang ia jalani.
Dunia ini seakan begitu benci padanya hingga kemalangan datang beruntun. Tidak cukupkah perlakuan buruk yang selalu ia dapat di masa lalu?
"Tidak adil, tidak adil." Ia bergumam, sedetik kemudian air matanya lolos. Tangisan yang sedari tadi ia bendung akhirnya tumpah juga seiring ambruknya kedua kakinya yang melemas seperti agar – agar. Gadis itu tertunduk lesu, ia kemudian mendongak, menatap birunya langit berhiaskan burung – burung terbang yang menari tanpa beban.
Kenapa nasibnya seperti ini? Kenapa ia selalu tak beruntung? Kenapa hidup selalu mempermainkannya? Kapan dia akan merasakan bahagia?
Suwa duduk terpengkur meruntuki nasibnya. Begitu tega orang – orang itu. Seandainya ia punya sedikit kekuatan untuk membalas. Namun apa daya, ia hanya gadis lemah yang tak punya kuasa. Lebih baik mati saja, toh hidupnya hanya berisi kekosongan. Tapi di sisi lain ia juga takut mati. Tidak, belum siap mati tepatnya. Dia harus bertahan untuk merasakan kebahagian sejati sebelum nyawa menjemputnya.
Lamunannya buyar saat ia mendengar segerombolan orang mengejarnya semakin dekat. Ia bangkit, segera berlari dengan tubuh gemetar. Jangan sampai ia tertangkap. Ia terus berlari mengikuti hembusan angin yang entah kenapa seolah menggiringnya. Dan sampailah ia di sisi sungai penuh bebatuan. Suwa terengah. Panik. Dirinya tersudut tak menemukan jalan keluar lagi.
****
Penyihir itu melihat semuanya dari mata burung-burung yang terbang ke langit. Lalu sebuah sunggingan terukir di bibirnya, dengan secepat kilat, ia sudah berada di sungai tak jauh dari gadis itu. Penyihir tersebut menggumamkan sebuah mantera. Sedetik kemudian, ia berubah menjadi kupu-kupu putih dan terbang menghampiri Suwa.
"Ya Dewa, tolong aku!" Suwa memucat, terus berdoa agar mereka tak menemukannya. Lalu ia melihat seekor kupu–kupu putih terbang mengelilinginya. Kupu–kupu tersebut seakan mengajak Suwa untuk mengikutinya.
Setengah melamun, Suwa mengikuti arah terbang kupu–kupu itu. Ia menggiring Suwa ke dalam gua, tempat dimana makhluk itu tertidur.
****
Suwa sempat terhenyak akan adanya gua yang tersembunyi di balik semak. Ia lalu semakin masuk ke dalam perut gua, tanpa sadar menembus dinding tak kasat mata. Dan betapa takjub serta kagetnya dia akan hal yang ada di sana. Hamparan es yang begitu luas layaknya daerah kutub. Di tengah-tengahnya terdapat bongkahan es raksasa.
Suwa mengerutkan kening heran. Musim salju belum tiba, tidak mungkin ada tanah berselaput es dalam gua. Ia merinding, Suwa memutuskan untuk pergi dari sini, namun ketakutannya akan tempat itu sirna sudah kala mendengar suara menggema,
"Keluarlah gadis tengik, kau tak akan lolos. Jika tertangkap, kami akan menggilirmu." Tawa orang–orang itu menggelegar. Tubuh Suwa menegang, suara itu terdengar jelas. Mereka pasti juga masuk dalam gua. Suwa panik kemudian memutuskan bersembunyi di balik bongkahan es besar itu.
Ia menyenderkan tubuhnya di bongkahan es sembari mengatur jantungnya yang kian berdegup kencang, "Ya Dewa tolong aku, ku mohon tolong aku!" Sedetik kemudian, tiba–tiba bongkahan es itu retak. Suwa reflek mundur. Mata Suwa melebar menyadari ada sesuatu di dalam bongkahan es itu.
Seorang pria dengan mata terpejam membeku di sana. Dan jantungnya nyaris keluar saat sosok itu tiba-tiba membuka mata. Dan sedetik kemudian bongkahan es itu berguncang lalu meledak.
"Terimakasih telah memanggilku."
****
Suwa begitu syok. Seorang pria keluar dari bongkahan es. Seluruh diri pria itu bernuansa putih, pakaiannya seperti prajurit berwarna silver, rambutnya pun juga sama, dan yang paling mengagumkan ialah iris perak laki-laki itu yang berkilau indah. Kulitnya pucat, dan dia sangat rupawan bagai deskripsi dewa-dewa yang sering ia dengar. Namun meski begitu Suwa tetap saja takut. Pria itu jelas - jelas bukan manusia. Ia menelan ludah, bahaya apa lagi yang mengancamnya sekarang?
Tanpa ekspresi, pria itu menatap Suwa yang tercekat dengan tubuh gemetar. Manik peraknya menelusuri diri gadis itu seksama. Lalu sudut matanya menangkap bayangan lima pria yang juga berhasil menembus dinding tak kasat mata.
Lima pria yang mengejar Suwa tadi juga terperangah melihat semua ini. Kemudian atensi mereka beralih ke gadis itu dan juga pria aneh yang berdiri di hadapannya.
"Ahh, di sini rupanya." Mereka hendak mendekati Suwa, namun sebelum niat mereka terlaksana, pria aneh itu terlebih dulu berjalan mendekat. Tanpa kata, memotong leher orang-orang itu dengan tangannya yang tiba-tiba mengeluarkan es berujung runcing membentuk pisau. Tubuh ke lima orang tersebut langsung tergeletak dengan kepala menggelinding, terpisah dari tempatnya.
Mata Suwa terbelalak, tubuhnya kian gemetar. Dia sungguh takut. Jangan sampai nasibnya seperti mereka. Dengan susah payah ia berdiri, satu-satunya hal yang terpikirkan adalah lari. Namun sialnya, makhluk tersebut lebih dulu menangkapnya.
"Mau kemana kau?" Pria itu secepat kilat mengeluarkan semburan es dari telapak tangannya berbentuk tali lalu melilit kaki kiri Suwa, membuatnya terjerambat. Sosok itu kemudian menarik tali tersebut hingga Suwa terseret mendekat padanya.
Suwa ketakutan setengah mati, ia langsung berlutut memohon ampun, "Tolong jangan bunuh saya, ampuni saya tuan, ampuni saya!"
Pria itu memincing sebelah alis, "Untuk apa aku membunuh orang yang sudah memanggilku." Dilepaskannya lilitan tali di kaki Suwa. Spontan Suwa mendongak, tak mengerti akan kalimat pria itu. Kemudian sebuah suara lain terdengar,
"Selamat atas terbangunnya anda, Ludra sang Falcon."
Entah sejak kapan seorang pria bertudung hitam berdiri di antara mereka. Terlihat ia mengembangkan senyum, lalu sedikit menunduk memberi hormat pada pria yang disebutnya sebagai Falcon.
"Momoru sang penyihir." Gumam Ludra yang sepertinya sudah mengetahui siapa dia.
Penyihir itu mengangguk mengiyakan, kemudian atensinya beralih kepada gadis yang menatap mereka bingung dan takut.
"Kau tak bisa pergi nona, karena kau sendiri yang memanggil Falcon. Dan siapapun yang memanggilnya akan menjadi pelayannya seumur hidup."
Suwa tersentak, reflek menggelengkan kepala menolak, "TIDAK."
Kali ini pria yang disebut Falcon angkat suara, "Apapun yang terjadi kau harus menjadi pelayanku. Itulah harga yang harus kau bayar karena telah memanggilku."
****