Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Neophyte

🇮🇩Blue_Takoyaki
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.5k
Views
Synopsis
Neophyte dalam Bahasa Indonesia artinya adalah seseorang yang baru atau awam terhadap sesuatu hal. Naretha adalah neophyte dalam hal percintaan. Dia sama sekali belum pernah yang namanya menjalin hubungan dengan lawan jenis, pun merasakan jatuh cinta seperti orang-orang di sekitarnya. Nah, bagaimana jika si neophyte ini terjebak dalam kisah cinta segilima dengan empat cowok tampan di kampus?
VIEW MORE

Chapter 1 - Retha's Bad Day

Pintu kelas B-101 terbuka perlahan, menampakkan seorang perempuan berkemeja cokelat polos dari belakang. Bu Tita, dosen pengampu mata kuliah Undang-undang Kesehatan yang sedang mengajar saat ini, lantas menoleh ke arahnya sambil mendelikkan matanya dengan tajam.

Suasana kelas menjadi menegang tatkala wanita itu bergerak menghampiri gadis yang masih berdiri di dekat pintu masuk.

"Memang siapa yang nyuruh kamu masuk ke kelas ini?" Pertanyaan itu berhasil membuat gadis bernama Naretha ini mematung. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, bersembunyi dari sorot tajam bak elang yang seakan akan mencabik penglihatannya saat ini juga.

"M-maaf Bu, saya terlambat. Tadi pagi saya terjebak macet di pertigaan dekat kampus," jelas Retha sambil terus menundukkan kepalanya.

"Ya memang. Setiap jam segini daerah situ selalu macet kalau jam segini. Tapi kenapa kamu gak berangkat lebih pagi biar? Liat temen-temen mu, mereka juga ngelewatin jalan yang sama kok. Tapi tidak datang terlambat seperti kamu."

Retha masih terus menundukkan kepalanya sambil menutup mulut rapat-rapat. Dia benar-benar sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan dosen tersebut padanya, walaupun di dalam hati dia terus berdoa agar Bu Tita tidak mengusirnya dari kelas.

"Ya sudah. Karena mood saya sedang baik, saya izinkan kamu masuk untuk hari ini. Tapi kalau besok-besok diulangi lagi, kamu tidak boleh masuk kelas saya di semester ini. Mengerti?"

"Mengerti, Bu," jawab Naretha sembari manggut-manggut. Setelah Bu Tita kembali ke meja dosen di depan, perempuan itu berjalan tergesa-gesa menyusuri deretan bangku yang telah terisi. Kemudian ia berhenti di samping bangku kosong sebelah Zia dalam barisan paling belakang.

"Gue udah deg-degan takut lo gak dibolehin masuk, tau." Zia lantas bersuara sembari mengangkat tas yang ada di kursi sebelah agar Retha bisa duduk di sana. "Lo kenapa terlambat sih? Padahal kosan lo juga gak jauh-jauh amat," lanjutnya.

"He he he kesiangan gue ... "

Zia menggelengkan kepalanya, merespon Naretha yang sekarang malah cengengesan.

"Haduh ... Lo begadang lagi?"

"Iya. Laporan Semi Solid gue belum kelar, jadi ya gue kebut deh semaleman."

"Dua-duanya?"

Naretha mengangguk pelan. "Gue males kalo nyicil. Lebih seru mepet deadline hehe."

Zia lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Kali ini disertai dengan tatapan penuh dengan rasa heran yang ditujukan untuk perempuan berambut kecoklatan di sebelah. Sungguh, jalan pikiran Naretha sama sekali tidak bisa ditebak. Bagaimana bisa dia menyelesaikan dua laporan sekaligus dalam waktu yang singkat? Apalagi dua laporan tersebut harus ditulis tangan yang artinya, Retha perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menyelesaikan tugas tersebut.

"Lo sampe jam berapa semalem?"

"Jam 4, mungkin? Kayaknya gue cuma tidur satu jam deh, Zi."

Iya, udah kelihatan kalau Etha kurang tidur tadi malam. Terdapat lingkaran hitam yang cukup besar di bawah sepasang mata bulatnya, membuat perempuan itu tampak seperti seekor panda. Belum lagi kerap kali ia menguap dan menggosok matanya yang berair. Zia jadi khawatir kalau-kalau anak ini tiba-tiba jatuh tertidur di dalam kelas, apalagi saat ini mereka sedang diajar oleh dosen yang dikenal sebagai 'mata elang' karena bisa dengan mudah menemukan mahasiswa yang tidak menyimak pelajaran.

"Re, jangan tidur."

"Nggak kok, gue gak tidur."

Retha bilang seperti itu padahal matanya sayup-sayup udah menutup.

"Kamu, yang dibelakang." Bu Tita tiba-tiba menunjuk ke arah barisan paling belakang, atau lebih tepatnya pada deretan bangku Zia dan Retha.

"Saya, Bu?"

Bu Tita menggeleng pelan. "Bukan, tapi sebelah kamu."

Zia buru-buru menyenggol Retha yang sudah terantuk-antuk di sebelah. Perempuan itu tersentak. Kemudian dia menoleh kepada Zia dengan mata yang memicing. Tak lama dari itu, Retha menjatuhkan kepalanya di atas meja, bermaksud melanjutkan mimpi yang sempat terhenti karena sentakan dari Kezia.

BRAKK!

Gebrakan meja di depan berhasil membangunkan Retha dari tidurnya. Bahkan kali ini rasa kantuk yang dari tadi bergelayut di mata tiba-tiba menghilang begitu saja. Gadis itu sontak mengalihkan fokusnya pada Bu Tita yang sepertinya mulai naik pitam.

"Saya izinin kamu ke sini bukan untuk tidur, ya! Kalau mau tidur mending gak usah ikut kelas saya!"

Retha meneguk salivanya. Sekujur tubuhnya menegang setelah mendapat bentakan dari wanita paruh baya itu. Kepalanya menunduk dalam-dalam, bersembunyi dari banyak pasang mata yang sekarang tertuju kepadanya.

Sial, memalukan sekali!

"Maaf, Bu ... "

Bu Tita memijat keningnya pelan demi menetralkan emosi yang sempat meningkat barusan. Lalu beliau kembali duduk di kursinya. "Ya sudah. Sekarang jawab pertanyaan saya tadi."

[Mampus. Pertanyaan yang mana ... ?]

Retha melirik ke arah Zia, memberi sinyal meminta tolong kepada si gadis berambut pendek ini. "Lo disuruh ngejelasin tenaga kefarmasian, Re." bisik Zia sepelan mungkin.

"Oh itu ... Menurut PP 51 tahun 2009, Tenaga kefarmasian itu terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian atau TTK. Terus, TTK sendiri dibagi lagi menjadi tiga, yaitu sarjana, ahli madya, analis farmasi serta asisten apoteker. Terus hmmm ... Lahan pekerjaan kefarmasian bisa di rumah sakit, industri farmasi, apotek, dan fasilitas distribusi farmasi. Terus ... Hmmm ..."

"Sudah cukup. Terima kasih, Nak. Jawabanmu sudah cukup bagus walaupun masih tersendat dan kesannya seperti sedang menghapal. Tolong ya anak-anak, Undang-undang ini jangan dihapal, tapi dipahami. Kalian ini calon apoteker ... "

Retha bernapas lega karena wanita itu tidak mengincarnya lagi. Usai diizinkan duduk oleh bu Tita, dia mengeluarkan buku tulis dan ballpoin untuk mencatat apa yang sedang dikatakan wanita paruh baya itu di depan kelas mereka.

"Udah gak ngantuk lagi, Re?" goda Zia seraya menyenggol pelan lengan Naretha.

"Nggak lah. Gue takut diceramahin lagi."

**** Neophyte ****

Usai mengumpulkan dua laporan yang ia kerjakan tadi malam di lab semi solid yang terletak di lantai dua, Retha berjalan menuju kantin fakultas. Dia berdiri di antara barisan beberapa mahasiswa yang mengantre di depan gerobak mie ayam kesukaannya.

Senyuman semringah terus menghiasi bibirnya yang kemerahan, membayangkan bagaimana lidahnya akan bercumbu dengan empuknya potongan melimpah ayam dadu berbumbu khas dengan mie serta kuah tak berwarna yang rasanya gurih.

"Pak De, kayak biasa dibungkus satu, ya?"

Pria paruh baya yang biasa dipanggil Pak De oleh tersenyum lalu mengacungkan jempol pada Retha, Beliau tentu saja sudah hapal dengan menu makanan yang selalu dipesan anak perempuan itu setiap datang ke kiosnya; mie ayam tanpa sawi dengan pangsit rebus serta bakso.

"Ini baru berangkat atau udah mau pulang, Neng?" tanya Pak De disela-sela menyiapkan pesanan Naretha.

"Udah mau pulang, Pak De. Hari ini aku cuma ada satu mata kuliah aja," jawab Retha sambil menyunggingkan senyuman ramahnya.

Setelah mendapatkan mie ayam dalam plastik serta memberikan dua lembar uang sepuluh ribu dan lima ribuan, Retha bergegas meninggalkan kantin yang mulai didatangi banyak orang. Dia berjalan dengan langkah riang ke sana kemari dengan senyuman lebar yang masih terukir di bibir. Ia sudah membayangkan bagaimana asiknya menikmati mie ayam tersebut sambil menonton konten baru NCT, salah satu grup idola asal Korea Selatan.

Kini Retha telah berada di pelataran halaman gedung Fakultas Farmasi Universitas Mentari Pagi, tempatnya menimba ilmu. Kakinya yang jenjang berjalan menyusuri conblock sambil mengamati sekelilingnya. Di sebelah kiri ada beberapa mahasiswa/i baru yang memakai pakaian hitam putih serta jas almamater sedang berfoto-foto di depan patung ular yang melilit sebuah cangkir; sebuah ikon yang terkenal di fakultasnya.

Sementara di sisi kanan ada beberapa anak yang menjajakan dagangannya untuk dana pemasok acara kampus. Di sisi lainnya banyak anak tingkat akhir yang sedang berdiri di depan kemahasiswaan, mengumpulkan buku proposal yang sudah mendekati deadline.

Omong-omong tentang skripsi, Retha belum tahu pasti apa yang harus ia garap dan siapa dosen yang akan ia pilih untuk menjadi pembimbingnya. Semua masih abu-abu. Padahal tinggal kurang lebih satu setengah tahun lagi ia akan menghadapi hal paling menakutkan bagi hampir seluruh mahasiswa di Indonesia ini.

"Awas woy!"

Seseorang berteriak sambil berlarian dari arah berlawanan, berhasil membuyarkan lamunan singkat Retha. Dia tanpa sengaja menyenggol bahu perempuan itu dengan cukup keras hingga membuat plastik bening di tangan perempuan itu terlepas dari genggamannya.

"AAAAAAA MIE AYAM GUE!" pekik Retha histeris melihat makanan kesukaannya mendarat dengan sempurna di atas conblock. Plastiknya pecah hingga isinya terurai keluar.

"JAKA JANGAN LARI LO KAMPRET!"

Retha memanggil nama anak laki-laki itu dengan lantang hingga membuat beberapa orang disekitar sontak menoleh padanya. Tangannya mengepal kuat penuh emosi. Kemudian ia berjalan dengan langkah cepat masuk ke dalam gedung utama, bermaksud mencari keberadaan Jaka yang sempat menghilang dari pandangan.

"JAUZAN ARKALA CAKRAWANGSA!"

Retha kembali berteriak saat ekor matanya menemukan sosok itu di depan laboratorium Farmasi Fisika 2 yang terletak dekat dengan pintu arah kantin. Jaka yang sedang sibuk mengenakan jas lab menoleh ke arah Retha sambil mengerutkan dahinya.

"Lu ngapain ke sini?"

"Ngapain, ngapain! Tanggung jawab lo, kampret!"

"Tanggung jawab apaan? Gua kan gak pernah ngapa-ngapain lu."

Retha memutar bola matanya, menahan emosi yang saat ini mulai membumbung tinggi di kepalanya. "Bukan itu maksud gue!"

"Ya terus apaan?"

"Gara-gara lo, gue gak bisa nikmatin mie ayam pak De sambil nonton NCT tau! Tanggung jawab kek."

"Lah, itu mah salah lu. Kenapa gak minggir pas gua teriak-teriak? Bukan salah gua dong kalo misalnya mie ayam lu jatoh?"

"Iya, tapi lo juga salah! Kalo lo gak nabrak gue, mie ayam pak de gak akan jatoh!"

Jaka memutar bola matanya. "Ya elah, lu bisa beli lagi di kantin. Jangan kayak orang susah deh."

"Emang bisa, tapi gue mau minta pertanggung jawaban dari lo." Retha melipat tangan, memberikan sorot mata tajam pada laki-laki yang menjadi lawan bicaranya ini. "Gantiin duit makan gue barusan!"

"Duh, ribet amat nih cewek. Bentar." Jaka mengeluarkan dompet lalu memberikan selem uang lima ribuan pada Retha. "Nih, udah kan?"

"Yang bener aja masa cuma lima ribu?! Duit segitu cuma bisa beli kuahnya aja, Jak!"

"Ya gua cuma punya segini doang. Hari ini gua belum ngambil duit lagi. Ada juga dana atau ovo. Mau?"

Retha menghela napas dengan berat setelah Jaka menunjukkan dompet hitam yang hanya berisi selembar uang lima ribu dan beberapa kertas.

"Ya udah. Dana aja."

"Ntar sorean ya? Abis gua ngasdos."

"Iya. Tapi beneran, ya!"

Setelah itu Retha pun berbalik meninggalkan Jaka. Kali ini langkahnya gontai dan tidak bersemangat. Rencana yang harusnya akan dilaksanakan sepulangnya kuliah malah berantakan gara-gara si ketua angkatan ini.

Tapi nih kalau dipikir-pikir lagi, hari ini Retha mendapatkan kesialan bertubi-tubi, bukan?

Pertama ia datang terlambat di kelas bu Tita, kedua dia ditegur dan diomeli bu Tita di depan orang banyak, dan ketiga makanannya jatuh mengenaskan gara-gara laki-laki bernama Jaka. Padahal dia sudah mengidam-idamkan makan itu sejak sebelum berangkat ke kampus.

Well, today is Retha's bad day isn't it?

**** TO BE CONTINUED *****