#SabuSAbu_JP_Part2
#Project_MenulisNovel_30H
****
Kejadian yang sama selalu saja terjadi. Berulang kali hingga batinnya lelah. Dia hanya bisa tersenyum lalu melewatinya dengan tabah. Ketika sudah tersakiti, maka ia akan pergi ke rumah pohon miliknya. Rumah pohon itu terletak cukup jauh dari kota. Dia tak peduli juga ya harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer. Setidaknya dia memiliki tempat untuk menenangkan diri.
Gadis itu sangat senang jika ia menatap matahari tenggelam dari jendela rumah pohonnya. Sore hari berganti malam ya tetap berada di rumah pohon itu. Tak ada niatan untuk pulang. Baginya pulang sama saja dengan kembali ke neraka.
Gadis itu bertanya pada dirinya sendiri, "Nggak pulang nggak papa kan? aku hanya ingin sendiri. Apakah tidak boleh? "
Pikiran negatifnya terus berkata bahwa dirinya tidak akan baik-baik saja jika tidak pulang. Akan tetapi, jika dipikir kembali toh tidak ada bedanya jika dia pulang atau tidak pulang. Semuanya sama saja dan selalu sama tidak ada yang berbeda dari waktu ke waktu.
"Untungnya aku membawa seragam untuk dipakai besok. Yah, tadi aku menyiapkannya untuk berjaga-jaga, " ucap gadis itu.
Di dalam hutan yang gelap, ia mencoba menyalakan api unggun di teras rumah pohonnya. Ia tak perlu bersusah payah untuk mencari kayu bakar karena jauh-jauh hari sebelumnya, ia sudah mengumpulkan kayu bakar.
"Ah, di sini sangat sepi hanya ada suara jangkrik yang menemani. Kayaknya enak deh kalau sambil mendengarkan musik di malam hari, "ucapnya lalu mengambil ponsel dan headset yang berada di tas sekolahnya.
Lagu yang ia dengar kali ini adalah 'Can't I Even Dream?'. Lagu yang benar-benar ia sukai dan sangat dihayati oleh gadis itu. Seolah-olah itu menggambarkan sebagian kehidupannya. Pada malam itu juga ya hanya ditemani suara jangkrik dan alunan lagu yang berada di ponselnya.
Setelah puas, Ia mengambil buku kecil miliknya dan menuliskan beberapa hal yang ingin disampaikan oleh hatinya.
Vila Senate
Senin, 5 Maret 2021
Kembali lagi bersama aku Vila Senate, hanya gadis SMA biasa dengan sejuta rahasia. Mungkin sudah kesekian kalinya hati kecilku mengeluh kepada lembaran kertas ini. Hari ini aku kembali dibully oleh mereka. Kali ini sebenarnya cukup sadis. Mereka tiba-tiba saja menyeretku ke dalam gudang dan menginjak-nginjak tubuhku seolah aku ini semut. Tanpa rasa bersalah mereka juga menyiramkan air ke sekujur tubuhku. Saat itu aku hanya bisa tersenyum. Kenapa diriku tidak bisa melawan? Aku pun tidak tahu. Aku terlalu lemah, ingin rasanya menjadi sosok yang kuat dan melawan pembullyan mereka. Aku pernah sekali mencoba melawan dan kamu tahu apa yang mereka lakukan selanjutnya? Mereka menculik ku dan mengurungku dalam gudang yang berisi banyak sekali kecoa. Trauma, itulah yang kurasakan. Karena itu, aku sudah tak bernyali lagi. Kenapa tidak lapor kepada guru saja? Tidak ada bukti. Justru merekalah membuat pengakuan dan bukti palsu. Hahaha ironis sekali bukan? setiap hari mereka tanpa henti membuliku padahal aku tak pernah sekalipun mengganggu mereka.
Aku ragu kalau mereka itu manusia. Mereka manusia tapi tidak pernah memanusiakan. Di mana letak hati nurani mereka? Aku rasa mereka sudah tak memilikinya. Meskipun aku selalu menjalani hari-hari yang suram aku harus tetap hidup. Karena hanya inilah satu-satunya cara menghargai hidupku.
Mungkin Tuhan memberiku ujian untuk mengetahui apa sebenarnya makna kehidupan ini. Atau mungkin lebih tepatnya Tuhan sedang menguji keberanian ku.
Tapi tetap saja, aku tak bisa menunjukkan keberanian itu. Sampai kapan aku akan seperti ini? Aku pun tidak tahu.
Mungkin suatu saat nanti.
Salam manis Villa Senate (ILLA)
Gadis dengan nama Vila Senate itu tertidur lelap dengan posisi buku kecil yang berada di samping kanan kepalanya.
Keesokan harinya ia memulai sekolah dengan senyuman kecutnya. Ia berangkat sangat pagi dari jam 5 pagi dan sampai di sekolah pukul 06.05 pagi. Sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di depan gerbang sekolah. Tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya. Ketika ia menoleh, ternyata ayahnya lah yang menarik tangannya. Beliau menyeretnya kembali pulang ke rumah. Dari raut wajahnya, ia sangat tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
PLAK!
Sebuah tamparan itulah yang pertama Illa dapatkan ketika sampai di rumah.
"DASAR ANAK KURANG AJAR KEMANA AJA KAMU SEHARIAN HAH?!"
Illa tidak menjawab pertanyaan sang Ayah. Lebih tepatnya enggan berbicara.
"KAMU TULI HAH?!"
"Ya, saya tuli," jawab Illa dengan senyuman kecutnya.
BUGH!
Pukulan pertama berhasil mendarat di pipi kanannya. Tidak hanya pipi kanan pipi kirinya pun menjadi sasaran empuk samsak tinju ayahnya. Lagi pula tidak sekali atau dua kali orang yang mengaku sebagai kepala keluarga itu memukulnya.
"DASAR ANAK SIALAN! KENAPA AKU HARUS PUNYA ANAK PEREMPUAN SEPERTIMU?!"
Rasanya Ila ingin tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan 'orang itu' yang menurutnya konyol.
"Kenapa kau tanyakan itu kepadaku? Apakah Anda menjadi pendek akal karena emosi Anda? Coba protes kepada yang berada di Atas. Jangan protes kepada saya."
Baru saja ya menyelesaikan kalimat yang ingin diucapkannya. Sang ayah sangat murka dan menonjok perut Ila hingga terpental. Detik itu juga Illa kehilangan kesadarannya. 'Orang itu' tidak mempedulikan Illa yang pingsan di tembok dengan darah menetes dari mulutnya.
Di dalam sebuah ruangan yang sangat minim cahaya, terlihat sebuah bayangan muncul di hadapannya. Ila sama sekali tidak bisa mendeskripsikan bayangan itu.
"Kamu kenapa tidak melawan? " Tiba-tiba saja bayangan itu bertanya dengan suara yang sangat keras dan serak.
"Aku tidak bisa, aku terlalu takut," jawab Ila tanpa rasa takut. Entah mengapa ia merasa tidak takut sama sekali dengan bayangan yang berada di hadapannya.
"Kenapa kau harus takut? Dia bukan Tuhan."
Ila hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu. "Aku terlalu lemah."
"Bolehkah aku bertanya padamu? " Dalam hati ia menggerutu bukankah daritadi bayangan itu bertanya padanya? Mengapa sekarang dia melontarkan pertanyaan seolah-olah dia belum bertanya?
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apa pilihanmu antara bertahan dan menyerah?"
Ila cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Akan tetapi ia sendiri bingung harus menjawabnya. Karena dia pun tidak tahu sekarang berada dalam kondisi bertahan atau menyerah.
"Aku tidak tahu, aku masih ingin hidup ,karena aku ingin menghargai kehidupanku. Akan tetapi, aku takut melawan mereka-mereka yang telah menyakitiku."
"Ah begitukah? Berarti aku akan menunggu jawaban pastimu."
"Sebenarnya siapa kamu?"
"Aku? Entahlah, mungkin aku adalah hati kecilmu? Mungkin aku adalah bayanganmu? Ataukah mungkin Aku adalah hasrat kegelapanmu? Tidak ada yang tahu."
***
6 jam kemudian, Ila baru bangun dari pingsannya. Ia mencoba berjalan dengan tertatih-tatih menuju kamarnya untuk mengambil kotak P3K. Ila dengan susah payah mencoba mengobati dirinya sendiri. Illa juga tidak tahu apakah besok berangkat sekolah atau tidak. Karena Luka yang ayahnya berikan ini cukup parah dan menyakitkan. Ila nyaris saja tidak bisa berdiri.
"Malangnya dirimu, Vila Senate."