Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ADMIRE

RindiAlpr_17
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.3k
Views
Synopsis
Rania adalah seorang perempuan yang mungkin sama dengan perempuan yang lain. Tapi, yang membuat nya berbeda adalah, perasaan yang mampu ia jaga selama belasan tahun, hanya untuk satu laki-laki. BRAJA.

Table of contents

Latest Update2
HARAP2 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - TEMU

Senin, 6 Januari 1997.

Hari pertama aku melihatmu.

Kita saat itu masih kanak-kanak, bertemu tanpa sengaja di gerbang sekolah. Kamu memakai seragam putih dengan celana hijau. Berjalan melewatiku sambil tersenyum. Langkahmu yang mungil kau bawa sambil berlari. Membuat rambut hitam berponimu berayun ke atas dan ke bawah. Masih jelas teringat senyum manis dan bola matamu yang hitam bulat.

"Rania, ini buat kamu." Ucapmu sambil menyodorkan permen.

*****

Aku tidak menyangka hal kecil yang kamu lakukan saat itu mampu membuatku tersentuh hingga hari ini. Sudah empat belas tahun berlalu sejak saat itu, tapi aku masih mengingatmu.

"Ran, lu lagi mikirin apa sih?"

Sasti mengejutkanku, kami sedang duduk di taman sekolah.

"Ngagetin gue aja lu, Sas. Enggak kok. Gue enggak lagi mikirin apa-apa, hehe."

"Eh iya, lu jadi masuk universitas mana?"

"Belum tahu nih. Masih bingung."

Kami kelas tiga SMA. Aku dan Sasti sedang persiapan masuk universitas. Tapi meskipun ujian hanya tinggal dua bulan, aku masih belum memutuskan untuk masuk universitas mana.

"Daftar bareng gue yuk ?. Eh, lu pasti ga bisa ya ?."

Aku terdiam.

Aku tidak menjawab pertanyaan Sasti.

Sampai tiba-tiba,

Dug.

"Aaww."

Kepala ku terkena bola basket.

Lalu, seseorang mendatangiku.

"Lu ga apa-apa, Ran ?."

Itu suara Braja.

Aku menoleh.

"Eh. Ga apa-apa kok."

"Sorry ya. Gue ga sengaja tadi."

"Iya. Ga apa-apa."

Aneh. Harusnya aku bilang kalau itu sakit.

Karena memang sebenarnya sakit.

Tapi entah kenapa, setiap kali aku berhadapan dengan Braja, aku tidak pernah mampu berkata yang sebenarnya aku rasakan.

Peristiwa tadi siang di sekolah, membuatku berfikir sepanjang hari. Bahkan sampai membuatku melamun saat dirumah.

"Kamu udah nentuin belum mau masuk Universitas mana ?."

Ayah bertanya dan membuyarkan lamunanku.

"Kalau boleh, Rania kepingin bareng sama Sasti di Bandung, Yah."

"Ga usah jauh-jauh. Di sini aja."

Sebenarnya sudah bisa kutebak jawaban ayah.

Ayah tidak pernah mengizinkan ku untuk pergi jauh dari rumah.

****

Dua bulan kemudian.

"Aaaaa, akhirnyankita selesai juga ujian nya."

"Iyaa, Sas."

Aku menjawab Sasti dengan raut wajah sendu.

"Lu kenapa, Ran ?."

"Engga apa-apa kok, Sas."

Akhir-akhir ini, aku memang banyak berfikir.

Salah satunya aku memikirkan tentang Universitas yang akan aku pilih. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk tetap berkuliah di Jakarta. Sementara Sasti akan masuk Universitas di Bandung. Kami berpisah setelah enam tahun bersekolah di tempat yang sama.

Satu bulan setelah ujian kami selesai, kami mendapat informasi kelulusan di sekolah.

RANIA MAHESWARI, LULUS.

SASTI ALMIRA, LULUS.

Begitulah tulisan yang tertera di Mading sekolah.

"Yeeeyyy. Raniaaaa kita lulus ."

"Iyaa Sas, kita lulus."

Kami pun saling berpelukan.

*****

Beberapa hari kemudian, Sasti datang menemuiku.

"Ran, jalan yuk."

"Kemana ?"

"Kama ngajak ketemu tuh di Coffeeshop deket sekolah kita. Katanya mau bikin acara perpisahan gitu buat Braja."

"Perpisahan buat Braja ?." Ucapku menegaskan.

"Iya. Braja kan mau kuliah ke luar negri. Lu ga tau ?."

Aku terkejut.

Sangat terkejut.

Selama ini aku mungkin terlalu diam.

Sampai-sampai tidak tau tentang hal ini.

Braja.

Dia adalah sosok yang selama enam tahun ini selalu aku bawa dalam lamunan ku.

Aku tidak tahu akan sejauh apa dia selalu kubawa.

*****

Saat sampai di coffeshop.

"Hai Sasti. Rania." Sapa Kama.

Aku memperhatikan sekeliling. Tapi tidak kulihat Braja disana.

"Loh, Braja mana ?." Tanya Sasti.

"Sebentar lagi juga sampai kok. Nah tuh dia."

Clining Clining ..

Suara lonceng di pintu Coffeeshop itu berbunyi menandakan ada yang datang.

Sosok laki-laki tinggi, berambut hitam dengan belahan rambut samping, masuk melewati pintu. Dia mengenakan kaus berwarna putih dengan setelan jeans panjang.

Berjalan mendekati kami.

Dia, Braja.

"Hai." Ucap Braja sambil mengangkat tangan.

Aku terdiam.

Sungguh aku tidak sanggup berkata apapun.

Selama hampir dua jam kami disana, aku hampir tidak pernah berbicara.

Aku lebih sering diam, sembari mencuri pandang ke arah Braja.

Sampai akhirnya Sasti dan Kama meninggalkan kami berdua di coffeeshop itu, dengan alasan ingin membeli sesuatu.

"Ran. Makasih ya udah mau dateng kesini."

"Ga usah makasih kali. Kaya apaan aja."

Ucapku sambil tertawa kecil.

Braja pun hanya membalas dengan tawa kecil juga.

"Heemm. Jadi lu kapan berangkat ?."

"Besok pagi."

"Oooh. Gimana ceritanya sampe akhirnya lu pilih kuliah di luar ?. Setau gue, lu pingin nya ke Bandung deh."

"Panjang. Hehe. Intinya sih, gue ngerasa emang harus jauh aja dari Jakarta."

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan Braja.

Sambil kutahan air mata yang ingin jatuh bahkan sejak perjalanan ku kesini, aku pun mengajukan pertanyaan terakhir untuk Braja.

Aku tidak tahu, apakah pertanyaan ku ini akan menjadi bomerang untukku, atau hanya akan jadi pertanyaan yang tidak ada jawaban nya.

"Ja. Mungkin ga sih, ada hal yang bakal bikin lu inget buat"Panjang. Hehe. Intinya sih, gue ngerasa emang harus jauh aja dari Jakarta."

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam mendengar ucapan Braja.

Sambil kutahan air mata yang ingin jatuh bahkan sejak perjalanan ku kesini, aku pun mengajukan pertanyaan terakhir untuk Braja.

Aku tidak tahu, apakah pertanyaan ku ini akan menjadi bomerang untukku, atau hanya akan jadi pertanyaan yang tidak ada jawaban nya.

"Ja. Mungkin ga sih, ada hal yang bakal bikin lu inget buat balik ke sini ? Selain orang tua lu ?."

Braja terdiam.

Dia hanya memandang kearah jendela, dengan sesekali menarik nafas dalam.

Aku menunggu.

Hampir 10 menit aku menunggu.

Tapi Braja masih tidak menjawab pertanyaan ku.

Lalu kemudian,

Kriiingg.. Kriingg..

Telepon genggam miliknya pun berbunyi.

"Hallo. Iya Pa. Iya. Braja pulang sekarang."

Dia lalu memasukan telepon genggam nya kedalam saku celana.

"Sorry, Ran. Gue harus balik sekarang. Lu, gue tinggal disini sendiri an, ga apa-apa kan ? Soalnya gue ga bisa nganter lu balik. Harus cepet sampe rumah soalnya."

"Oh, iya ga apa-apa kok, Ja. Gue bisa naik taxi."

"Sorry yaa. Gue duluan."

Braja pun pergi meninggalkan ku sendiri.

Aku yang tidak mengerti dengan keadaan yang baru saja terjadi, hanya bisa terdiam sembari memandangi Braja yang berjalan keluar Coffeeshop.

******

Malam hari setelahnya.

Aku masih memikirkan pertanyaan yang aku katakan pada Braja.

"Ya ampun. Kenapa sih gue pake nanya kaya gitu."

Sampai tidak terasa, malam sudah berlalu.

Aku terbangun pukul 09.30 pagi.

Hari dimana Braja akan berangkat ke Seoul.

Dengan raut wajah yang sendu, aku kembali berfikir. Mengapa aku tidak bertanya waktu keberangkatanya ? Mengapa yang aku tanyakan hanya kedatangan nya kembali kesini ?.

Aku pun segera mengambil telepon genggam ku. Berniat untuk menelpon Braja pagi itu.

Setelah beberapa kali aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diriku untuk menelpon.

Tuuutt.. Tuuutt...

Tuuutt.. Tuuutt...

Nomor yang anda tuju, tidak dapat menerima panggilan.

Aku pun segera menutup telepon ku.

Aku tidak ingin mengulangi nya.

Mungkin saja Braja sedang tidur saat itu.

Sampai satu hari berjalan, aku masih tidak dapat balasan dari telepon ku pagi tadi.

Sampai akhirnya aku tahu, bahwa Braja sudah meninggalkan Jakarta.

Tanpa jawaban apapun.

Dan tanpa berkata apapun padaku.

********