Chereads / Mencintai Duda Manis / Chapter 2 - Pertemuan pertama

Chapter 2 - Pertemuan pertama

Dua bulan yang lalu

Setelah Chika—istri Arlan meninggal, Arlan mencoba melupakan gadis itu dengan menyibukkan diri melalui pekerjaan selama dua tahun terakhir. Hari ini saja ia baru turun dari pesawat setelah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.

Arlan terlihat langsung pergi ke rumah Cintya—kakak Arlan, karena mendapat telpon dari anak sang kakak yang berumur tujuh tahun, mengatakan jika Cintya berada di rumah sakit.

Nana—keponakan Arlan, langsung menghambur keluar begitu melihat mobil Arlan masuk ke halaman rumah, gadis kecil itu terlihat cemas menunggu Arlan keluar dari mobil.

"Om! Om!" teriaknya yang membuat Arlan langsung turun.

"Apa, hm? Mami kenapa sampai kamu menghubungi Om?" tanya Arlan yang langsung menggendong Nana.

"Mami semalam kesakitan, dia sampai nangis lho, Om! Nggak biasanya Mami nangis! Mami 'kan galak, tapi ternyata bisa nangis," celoteh gadis itu.

"Nangis? Mami sakit?" Arlan bertanya-tanya.

"Bukan sakit, Mas! Nyonya mau melahirkan." Bu Metha—pelayan Cintya langsung menjawab, begitu melihat Arlan datang. Bu Metha adalah kepala pelayan rumah Cintya.

"Oh, Nana mau punya adik," ucap duda manis itu menatap Nana yang masih dalam gendongan.

"Iya, tapi mami sampai nangis. Aku 'kan sedih, Om! Merinding aku lihat mami kayak gitu," ujar Nana dengan mimik wajah yang dibuat sesimpati mungkin.

Arlan terkekeh, sampai membenturkan keningnya ke dahi gadis itu karena gemas.

"Dasar! Pintar banget dramanya!" ledek Arlan.

"Sakit, Om!" Nana mengusap dahinya.

"Sana mandi! Om ajak lihat Mami," perintah Arlan.

Nana membentuk huruf 'ok' dengan jari telunjuk dan jempol, gadis itu langsung turun dan berlari ke dalam untuk segera mandi.

Bu Metha yang melihat Nana begitu semangat pun hanya bisa tertawa kecil, wanita itu kemudian menengok pada Arlan yang terlihat berdiri menatap punggung Nana berlalu.

"Mas Arlan baru kelihatan," ucap Bu Metha.

Arlan mengulas senyum, memasukan satu telapak tangan ke saku celana. "Iya Bu, sibuk ngurus perusahan Papa," jawabnya.

Bu Metha hanya mengangguk mencoba mengerti. Ia juga tahu jika sebenarnya pemuda itu begitu bersedih. Apalagi Bu Metha bisa melihat bagaimana kondisi Arlan ketika jenazah mendiang istrinya akan dikebumikan, saat itu Arlan tidak menangis sama sekali, bahkan sempat tersenyum ketika mencium kening mendiang istrinya sebelum dibungkus dengan kain kafan, hingga prosesi pemakaman pemuda itu tampak memaksakan senyumnya. Namun, setelah sampai di rumah selepas dari mengebumikan mendiang istrinya, Arlan menangis dalam kamar yang hanya di ketahui oleh Cintya dan Bu Metha.

"Mas Arlan mau sarapan dulu?" tanya bu Metha menawari.

"Tidak perlu, kopi saja Bu kalau boleh," jawab Arlan.

Bu Metha mengulas senyum, lalu kembali ke dapur. Arlan menunggu Nana selesai bersiap seraya menikmati secangkir kopi buatan wanita itu.

**

Arlan menggandeng tangan Nana ketika sampai di rumah sakit, banyak yang memperhatikan keduanya dan mengira jika Nana adalah putri Arlan.

"Wah, ayahnya setampan itu, anaknya juga imut."

"Iya, beruntung sekali yang menjadi istrinya."

Arlan sampai berdeham ketika mendengar beberapa perawat saling berbisik menilai dirinya.

"Om, perawat itu aneh-aneh! Masa iya Om dikata Papiku, ck ... ck ... ck, matanya sakit! Nggak bisa bandingin apa kalau Om terlalu tampan dan muda buat jadi Papi aku!" cibir Nana yang memang mulutnya pedas seraya melotot pada para perawat yang terlihat saling bisik.

"Jangan galak-galak, anak gadis nggak manis kalau galak!" Arlan mengusap kepala Nana dengan satu tangan.

Mereka hampir sampai di ruangan tempat Cintya dirawat pasca melahirkan, Nana langsung berlari dan mendorong pintu begitu keras.

"Mami!!"

Suara teriakan Nana membuat adik yang sedang dipangku oleh ayah Nana pun terkejut dan menangis.

"Ya ampun, Nana! Kenapa teriak-teriak?" Elang—ayah Nana langsung berdiri, menimang bayi yang baru saja berumur beberapa jam agar tidak menangis.

Nana yang sadar jika membuat adiknya menangis lantas berjalan menghampiri Cintya dengan kepala menunduk karena takut.

"Jangan galak-galak, dia juga tidak tahu," ucap Arlan seraya berjalan menuju ranjang Cintya.

"Arlan," lirih Cintya ketika melihat adiknya itu datang.

Arlan mengulas senyum, kemudian duduk di tepian ranjang kakak tirinya yang baru saja melahirkan.

"Ar." Cintya menggenggam telapak tangan Arlan yang ada di pangkuan pemuda itu.

Arlan menoleh seraya mengulas senyum, menepuk pelan punggung tangan kakaknya berulangkali.

"Ini sudah dua tahun, kamu nggak berniat mencari lagi?" tanya Cintya ambigu, menatap sendu wajah adiknya yang tidak seceria dulu.

Arlan hanya menggeleng, tahu maksud kakaknya. Menyandang status duda selama dua tahun terakhir, tidak membuat dirinya ingin cepat-cepat mencari pengganti mendiang istri, hanya belum bisa menghapus nama gadis itu dari relung hatinya, apalagi jika harus menggantikan posisi Chika dalam hidupnya.

"Kakak ngerti kok, Ar. Tapi jangan siksa dirimu juga, dia juga ingin kamu bahagia, kamu ingat pesan dia, 'kan! Jangan biarkan dia bersedih dengan melihatmu yang sekarang," ujar Cintya panjang lebar, mencoba membujuk adiknya untuk sekedar dekat dengan seorang gadis.

"Dia nggak bakal sedih, karena dia sudah berada di tempat yang lebih baik," timpal Arlan yang memaksakan senyum, masih sulit untuknya menerima, pesan terakhir mendiang sang istri malah semakin membuatnya enggan untuk mencari pengganti.

"Aku merasa tenang dengan hidup seperti ini, jadi Kakak jangan pernah mengawatirkanku, karena aku tahu betul dengan apa yang aku jalani," imbuh Arlan.

Kakaknya hanya bisa menghela napas kasar, ia sendiri tidak bisa berbuat banyak karena semua keputusan ada di tangan Arlan

**

Arlan meninggalkan ruangan Cintya setelah berbincang lama dengan kakaknya yang sudah lama tidak dikunjungi. Nana tidak ikut pulang dengan Arlan karena masih ingin di sana bersama adiknya.

Arlan sebenarnya memiliki trauma ketika menginjakan kaki di rumah sakit, hanya merasa jika tempat itu akan mengingatkan dirinya dengan mendiang istri yang pernah berjuang untuk bisa hidup di sana.

Langkah Arlan terhenti ketika melihat seseorang berlari dan mengenakan pakaian rumah sakit, seorang gadis berlari dengan cepat ke arahnya, sehingga membuat Arlan terkejut.

"Awas!" teriak gadis itu karena tidak bisa menghentikan langkah kaki sebelum akhirnya menabrak.

Arlan juga terkejut, membuat pria itu tidak bisa menghindar, hingga akhirnya gadis itu menabrak Arlan.

"Eh ... maaf! Maaf!"

Gadis itu ingin pergi, tapi sayang seribu sayang, rambutnya yang terikat malah tersangkut di manik kemeja Arlan, membuatnya memekik kesakitan.

"Aw! Aw!" Gadis itu memegangi rambut yang tersangkut, kulit kepalanya terasa perih karena tertarik

"Ini kenapa nyangkut?" tanya gadis itu pada diri sendiri.

Gadis itu mencoba melepas rambutnya dari manik kemeja Arlan, terlihat kesusahan karena tubuhnya sedikit membungkuk dan tak bisa melihat rambut yang tersangkut.

Arlan ingin sekali mencebik, hingga kemudian memilih untuk tidak bicara, hanya mencoba membantu gadis itu mengurai surai yang tersangkut.