Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Catatan Takdir

Panda_9049
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.6k
Views
Synopsis
Esensi, kehidupan adalah menikmati sebuah penderitaan. Rangkul ia dalam kehidupanmu, sebab jika kau mencoba menghindarinya. Kau takan pernah sampai pada titik bahagia. Sanjana Mazaya, Gadis tangguh yang mengalami berbagai jenis penderitaan dalam hidupnya. Apakah dia akan menjadi manusia yang lemah, atau justru ia akan terus melangkah? "Aku, hanya tau bahwa definisi hidup itu menerima. Entah itu diluar keinginanmu sekalipun " Ujarnya pada sahabatnya.

Table of contents

Latest Update1
Hujan2 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Hujan

Hari ini duniaku sedang hancur, alam semesta seolah ikut berduka cita. Bahkan, hujan pun menangisinya.

Aku, baru saja bertemu seseorang yang aku cintai. Namun, ini adalah perpisahan terakhir untuk kami.

Ingin rasanya Aku mengeluh,bagaimana tidak? Aku harus menunggu keajaiban datang. Maksudku, aku harus menunggu berjam-jam bus kota lewat.

Biasanya,ketika hujan deras seperti ini transportasi diberhentikan sejenak, untuk alasan keselamatan.

Bayangkan saja ketika kamu ingin menangis sejadi-jadinya. Namun tertahan, Apa aku harus menangis di depan umum? Itu sungguh memalukan.

Aku sibuk membaca novel romansa, ini hanya pengalihan isu saja. Agar aku tidak terlalu memikirkanya. Didalam cerita kita bisa merencanakan skenarionya. Bahkan, terkadang cara mereka bersatu itu tidak logis.

Apapun perjalanan hidup bahagia atau senang, apapun akhir dari cerita semoga kita tidak menjadi manusia yang kufur nikmat.

Hujan pun mulai reda. Kendaraan berlalu-lalang, mulai dari yang pulang bekerja maupun anak sekolah ramai memenuhi jalanan.

Aku, duduk bersandar di kursi halte,sesekali menghela nafas.Aku sudah terbiasa hidup membosankan.

Entah, rasanya berat sekali pulang kerumah.Rumah, yang seharusnya menjadi surga bagi pemiliknya, berbeda denganku,pasalnya hanya ada kegaduhan disetiap harinya.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling tenang, paling damai. Ketika, orang lain merasakan ketenangan dirumah. Justru, aku merasa sangat tertekan.

Sudahlah jangan mengeluh, ujarku dalam hati.

Bus yang aku tunggu sudah datang, Aku selalu memilih duduk disamping jendela. Menikmati hembusan angin dari luar, lalu menyandarkan kepala ku seraya memandangi jalanan.

Tak terasa waktu telah berlalu. Aku sampai di halte depan rumahku.

Aku berjalan memasuki rumah. Kuputar knop pintu namun seketika aku terkejut dengan pemandangan didepanku.

Sosok yang menyeramkan berkacak pinggang berdiri didepan pintu. Dia adalah Bu Hanum, Ibuku yang garang.

"Dari mana!" tanyanya dengan nada ketus, wanita paruh baya itu bertanya padaku.

"Hujan,Bu. Aku nggak kemana-mana kok," Jawabku seadaanya.

"Alesan,pasti kamu keluyuran kemana-mana kan?"

"Rentenir barusan kesini,dagangan ibu diobrak abrik semua.Lihat tuh!" lanjutnya.

Aku menoleh ke arah dagangan ibu yang berantakan. Mereka memang selalu seperti ini.

Aku melepas sepatuku kemudian masuk kedalam rumah.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Sanja. Dari mana kau pulang sampai se sore ini!"

Aku mengela nafasku dengan kasar.

Sudah kuduga, pasti ibu menuduhku yang tidak-tidak. Aku bingung, apa yang aku lakukan selalu salah dimata ibu.

"Sudah Bu, Sanjana mau istirahat dulu. Marahnya nanti aja"

"Dasar, anak nggak tahu diri! Nggak tahu diuntung! Disuruh nikah gamau malah keluyuran!" suara ibuku kian meninggi.

Langkahku terhenti,aku menoleh kearah Ibuku.

"Kenapa Ibu selalu bersikap seperti ini Bu?Coba ibu katakan kesalahan ku dimana?" Tanyaku seraya menahan tangis.

"Kesalahan?"

"Salah kamu itu banyak, Kenapa kamu menolak menikah dengan Reno? Apa kamu tega dengan bapakmu yang penyakitan itu!" Ibuku menarik pergelangan tanganku dengan kasar.

Sementara aku mengekorinya dari belakang "Bu, Jadi Ibu lebih ikhlas Jana menikah. Karena, kita tidak bisa membayar hutang? Bukan kah begitu?," Suaraku terengah-engah.

"Jangan munafik, Jana. Mereka itu orang kaya" Ia memutar bola matanya dengan malas.

"Astagfirullah!, Ibu tau kekayaan mereka itu bukan dari hal yang halal. Mereka rentenir bu, Apa Ibu mau Jana terjebak didalam dosa?"

Aku menjeda kalimatku, dadaku terasa sesak. Rasanya, aku tak ingin melanjutkan lagi pernyataan ini.

Namun Ibu harus paham apa yang aku maksud adalah sesuatu yang baik.

"Mereka mau jaminan, Jana! " ujar ibuku.

"Lalu , Apa ibu tega menjaminkan Jana sebagai pelunas hutang?"

Ibukku hanya diam, ia kemudian membuka pintu kamar ayahku.

Nampak di atas ranjang, seorang pria paruh baya itu tertidur lelap. Umurnya sekitar 65 tahun badanya terlihat kurus. Matanya sayu, ia sudah semakin menua.

Ayahku sudah tak sesehat dulu. Aku turut prihatin atas kesehatan ayah. Aku hanya bisa memberinya pengobatan alternatif. Sebab, untuk pengobatan medis. Aku tak punya cukup banyak uang. Karena pekerjaanku hanya seorang Guru.

"Lihat, Jana. Jangan egois! kami berhutang karena waktu itu kami membutuhkan uang untuk berobat ayahmu. Jika gajimu itu banyak, kami tak akan kesusahan seperti ini?"

"Apa Ibu menginginkan Jana pergi?" Aku spontan bertanya hal seperti itu pada ibu.

"Lalu? Kau mau melunasi hutang dengan apa? Apa kau akan menjual ginjalmu. Hah! Atau kau akan pergi mencari pekerjaan yang lebih layak." jawabnya ketus.

Aku bergeming, memang gajiku hanya cukup untuk kebutuhan kami. Dan juga untuk melunasi hutang yang semakin lama bunganya semakin banyak, aku menjadi kesulitan.

Aku, selalu menuruti segala perkataan Ibu. Entah itu aku menyukainya atau tidak, Aku akan tetap melakukanya.

Aku tak menjawab sepatah kata pun. Ibu pergi meninggalkan aku yang masih mematung didepan pintu.

Tak terasa buliran bening jatuh dari pelupuk mataku. Benarkah aku egois? Apa aku harus mencari pekerjaan yang lebih memadai.

Agar penghasilanku mencukupi kebutuhan sekaligus membayar hutang orang tuaku kepada rentenir.

Sebenarnya waktu itu ayah meminjamnya dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.

Namun, seorang rentenir tidak lengkap jika tanpa bunga. Bunganya justru 5x lipat, ditambah seringnya terlambat tempo cicilan.

Dari dulu aku memang tak terlalu dekat dengan Ibu. Entah mengapa ibu selalu berperilaku ketus padaku. Tapi ayahku pernah bilang, bahwa sikap Ibu seperti itu agar aku tidak manja. Tapi sikap ibu sangat berbeda dengan kedua adikku. Bahkan sikap ibu kepada mereka sangat lembut.

Terkadang aku memakluminya. Namun, sebagai manusia biasa aku juga punya titik lelah. Aku baru saja pulang kerja ibu sudah marah-marah. Bahkan ketika aku sakit ibu tak sesekali pun melihatku.

Jika kalian tanya kenapa aku sekarang bersikap biasa saja? Jawabanya adalah Persepsi ku. Aku tak perlu berfikir keras mengapa ibu menganggapku hanya sebagai alat. Karena sikap ibu adalah kendali ibu,aku juga pernah sesekali membicarakan ini. Namun sepertinya ia malas untuk menjawabnya.

Wajar jika kali ini ibu marah, Ia yang selalu mencari alasan ketika rentenir datang kerumah. Bahkan mereka tak segan membentak wanita paruh baya Itu. Aku merasa sedih ketika kami diperlakukan semena-mena. Namun, kami tak berdaya.

Ibuku hanya pedangang sembako kecil-kecilan. Sebab jika mengandalkan gajiku saja rasanya tidak mungkin, karena gajiku hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Selain menjadi guru aku juga berjualan makanan 'online' Lumayan juga untuk menambah penghasilanku.

Aku harus membagi waktu apalagi ketika pesanan bersamaan dalam waktu yang dekat. Aku, seringkali kewalahan.

Dulu aku sempat masuk ke perusahan Industri. Namun aku difitnah memiliki hubungan dengan atasanku. Maka dari itu aku rela meninggalkan pekerjaan. padahal kalau dipikir-pikir gajinya lumayan. Nyali ku tak sebesar itu berhadapan dengan cibiran-cibiran orang dikantor. Maka lebih baik aku resign.

Aku menutup pintu kamar ayah, kemudian berlalu menuju kamarku.

Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang. Pikiranku berkelana, jalan mana yang harus ku pilih.

Aku juga punya impian untuk sebuah pernikahan. Setidaknya didasari cinta dan iman. Bukan didasari hutang,

Aku teringat dengan seseorang.Dia yang biasanya selalu memberiku saran, support bahkan tak segan juga membantuku kini sudah dipelukan orang lain. Walaupun aku tahu dia mencintaiku, aku takan pernah lagi menganggunya.

Dia adalah orang yang kutemui 2 tahun silam. Aku terpesona dengan sikapnya, dia pria yang sangat baik. Walaupun ia punya jabatan yang tinggi, ia tak pernah sesekali membuatku merasa kecil hati.

Namanya Abian Bathara, Pria dengan postur badan tinggi serta kulit sawo matang, dengan lesung pipi.Bisa dikatakan dia adalah cinta pertamaku.

Kami sering menghabiskan waktu bersama setelah pulang bekerja. Kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari makanan, musik bahkan hobi.

Aku hanya wanita sederhana yang menjadi tulang punggung keluarga, Sementara Abian adalah anak dari keluarga yang terpandang.

Aku pernah sesekali diajak ke rumah Abian. Namun aku merasa tidak pantas bersanding denganya. Sebenarnya Abian tak berfikir demikian, tapi sepertinya orang tua Abian tak menyukaiku. Aku tahu betul apa alasanya.

Dua kali kedatanganku ke rumah Abian tak ada sambutan hangat sama sekali. Sepertinya ibu Abian benar-benar tak merestui kami.

"Jana? Jangan sering-sering pergi sama Abian, Ya" Ujar ibu Abian kala itu.

Deg!

Aku menatap ibu Abian seolah tak percaya apa yang ia katakan.Meskipun yang dikatakanya benar,tapi disisi lain seolah mengusirku.

"Ah iya baiklah, Saya akan menjaga jarak dengan Abian,Bu " sahutku seraya menahan tangis.

" Terimakasih, Jana. Kamu tentunya tahu jika orang tua ingin yang terbaik untuk anak mereka"

Ujar ibu Abian sembari mengulas senyum.

Senyum yang sangat menyayat hatiku, aku hanya mengangguk kemudian pamit pulang. Kukirim pesan melalui aplikasi hijau itu pada Abian.

Dia sedang berganti pakaian, ia pikir kami akan berbincang hangat. Atau saling mengenal satu sama lain.

Ternyata itu semua hanya mimpiku, gadis miskin yang mencintai anak orang kaya. Kemudian diperlakukan selayaknya. Kemungkinan hanya 3 dari 10 persen mendapatkan cinta yang seperti itu.

Kami sudah jarang bertemu semenjak Ibu Abian mengatakan hal itu. Aku selalu mencari alasan bahwa aku sibuk.

Tak lama waktu berselang Abian memberiku kabar buruk. Dia akan menikah dengan anak dari rekan bisnis ayahnya. Tentu saja ini keputusan orang tua Abian, ia mungkin bisa menolaknya. Namun, aku berusaha bersikeras agar ia tak menentang orang tuanya.

Aku benar-benar terpukul, dadaku terasa sesak.

"Sanja, Ayolah pergi dari sini. Menikahlah denganku?" ujarnya memohon padaku.

"Lalu bagaimana dengan keluargaku? Apa kau akan ikut serta membawanya?Tidak semudah itu Abian!?"

"Kita saling mencintai, Sanja. Tuhan akan memberikan jalan untuk kita. Percayalah, kumohon!"

Aku bergeming, bukan aku tak mencintaimu Abian. Hanya saja aku tak ingin kau melawan orang tuamu, mereka yang telah membesarkanmu dan kau jadi seperti ini karena mereka.

Dia menatapku dengan seksama, seperti menunggu jawaban yang keluar dari mulutku. Jika aku meninggalkanmu kurasa duniamu akan baik-baik saja.Namun, dunia ku yang akan hancur.

"Lupakan semuanya, Abian. Aku tak pernah mencintaimu. Maafkan aku," ucapku mencoba setenang mungkin.

"Kau bohong, Jana."

"Kau juga mencintaiku 'kan? Jawab Jana? "

Aku hanya menggeleng pelan.

Abian menghela nafasnya dengan kasar. Ia berteriak kemudian mencengkram bahuku.

Laki-laki itu Ia terduduk lemas kemudian menangis dipangkuanku.

Ya Tuhan? Sandiwara macam apa ini?

Aku tak mungkin menjelaskan bahwa ibu Abian yang tak menginginkan kami bersama, Sebab ia akan menentang nya.

Aku menangis sejadi-jadinya, seperti inikah hidupku? Cintaku hilang! Bahkan cinta ayah sudah layu. Aku tak punya siapapun. Seolah semuanya menuntutku. Namun, teringat akan kondisi ayah,aku mengesampingkan lukaku.

Tuing!

Pesan dari aplikasi hijau itu membuatku terkejut dari lamunanku. Itu adalah pesan dari sahabatku Syakina.Gadis yang ku temui waktu duduk di bangku SMP.