Kenyataan pahit telah membawanya pada kenangan yang menyedihkan. Ia mengusap air matanya yang mengalir di atas pipi tirusnya, "Bagaimana mungkin aku bisa melindungimu Ayah, sementara aku begitu mustahil untuk melindungi diriku sendiri." gumam Ery parau.
Angin seketika berhembus mengantarkan kesenyapan. Sepinya jalanan setapak ini mulai terasa aneh. Tak ada suara orang yang lewat, dan tak ada suara bisingnya kendaraan. Ery mengusap air matanya, bulu kuduknya tiba-tiba saja berdiri. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi, saat itu Ery merasa bahwa ada sesuatu yang sedang mendekatinya perlahan-lahan, tapi sayangnya ia tak mengetahuinya dengan pasti. Seketika itu juga bau busuk menyeruak di antara hembusan angin, dan semakin lama semakin menyengat. Ery menutup hidung dengan kedua tangannya, ia tak tahan dengan bau busuk yang membuat perutnya mual itu.
Ery bermaksud pergi dari sini, namun kakinya bahkan terasa sangat berat untuk digerakkan. Entah apa yang terjadi, tapi ia benar-benar tak tahan dengan bau busuk yang begitu menyengat, seperti bau bangkai yang sudah lama membusuk. Dan itu benar-benar membuatnya jijik. Hampir saja dirinya pingsan, sebelum suara langkah kaki seseorang membuatnya terpaksa harus terjaga lalu sebuah tangan menyentuh pundaknya dan...
"Baaa," Suara itu berhasil mengagetkannya,
Ery menoleh dengan wajah pucat pasi, "Arie hentikan, kau membuatku kaget." ucapnya kesal pada seorang lelaki yang muncul secara tiba-tiba itu. Sementara lelaki itu malah tertawa terbahak-bahak melihat reaksi terkejut dari seorang gadis yang sedang menyendiri.
Ariethrone atau Arie yang wajahnya mirip dengan Ery sekilas membuat orang sulit untuk membedakan di antara keduanya. Namun iris mata yang begitu kontras menjelaskan perbedaannya. Tentu saja itu karena warna iris mata Arie berwarna coklat kehitaman, seperti warna iris mata orang-orang di kota Planche ini pada umumnya, berbeda dengan iris mata milik Ery yang berwarna hijau daun mint. Namun dengan wajah yang hampir senada dengan gadis di sebelahnya itu maka jelaslah bahwa mereka berdua adalah kembar, tapi memang sedikit bertolak belakang.
"Berhenti tertawa Ariethrone," cibir Ery kesal. matanya menatap sekitar, bau busuk itu sudah menghilang.
"Ada apa Ery, kenapa kau seterkejut itu?"
"Lupakan saja, jangan lakukan itu lagi!" seru Ery kesal.
"Oh ayolah Ery, apa yang sedang kau lakukan di tempat sepi seperti ini?"
"Kau sendiri kenapa datang ke sini?"
"Monster gemuk itu benar-benar membuatku jengkel," tandasnya,
"Maksudmu Bibi Allen?"
"Yeah, siapa lagi kalau bukan dirinya? Omong-omong kau berulah lagi ya?"
"Tidak,"
"Jangan bohong, aku melihat beritamu lho."
"Tapi aku tak bersalah Arie, kau harus percaya itu." tegas Ery yang merasa tidak suka jika disalahkan.
"Dan kau dimarahi monster itu, sehingga kau datang ke sini. Benarkan?"
"Kau juga sama saja. Kau pasti kabur ke sini di saat bibi Allen sedang menceramahimu 'kan? Kita sama."
"Karena kita kembar—lebih tepatnya aku juga dimarahi karena ulahmu itu."
"Arie kau..." mata Ery tertuju pada kedua lengan kembarannya itu.
"Apa?" tanyanya sembari mengikuti arah pandangan Ery, "Oh, tato-tato ini bagus 'kan?" lanjutnya, kemudian mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi dan dipenuhi dengan bentuk daun berwarna putih.
"Apanya yang tato?! Itu spora tanaman paku. Kenapa kau malah menempelkannya di lenganmu?" ujar Ery geram.
"Tapi ini keren 'kan?"
"Apa kau menghancurkan kebunku lagi?" tanya Erythrina panik,
"Jangan menuduhku sembarang, aku hanya menempelkannya saja kok." ucap Arie yang tak mau diintimidasi, "Tapi, kalau monster itu aku tak yakin apa yang akan dilakukannya." lanjutnya pelan, seolah tak ingin terdengar oleh gadis kembarannya itu. Namun, tetap saja telinga Ery masih mampu mendengarnya.
"Yang benar saja. Apa maksudmu? Apa kau memberitahunya?"
"Sudah kubilang, aku hanya menempelkannya saja."
"Jawab pertanyaanku Arie!" Ery menarik kerah baju kembarannya itu dengan geram.
"Oke-oke, tapi lepaskan dulu tanganmu dong." Arie merasa sedikit tercekik, kemudian dengan terpaksa Ery melepaskan cengkeramannya itu.
"Sebenarnya waktu aku menempelkan tanaman itu, tak sengaja monster itu melihatnya. Ya, mungkin hanya melihatnya saja—kurasa ia takkan melakukan apapun—karena monster itu hanya memarahiku habis-habisan mengenai ulahmu itu,"
"Dan kau malah meninggalkannya di kebun buatanku 'kan?"
"Yeah, karena aku tak tahan dengan ocehannya itu."
"Arie payah! kau selalu saja menghancurkan kerja kerasku!" seru Ery dan berlari meninggalkan kembarannya itu sendirian lalu berlari menuju rumah ibunya dengan perasaan yang sangat kesal dan was-was.
Sementara Arie hanya mendengus kesal, "Kau juga payah Ery, kenapa membuat kebun di ruang belajar? Bukankah itu sama saja dengan membuat masalah dengan monster? Sampai kapan kau akan terobsesi dengan semua tanamanmu itu?" gumamnya yang tak terima jika harus menerima tuduhan dan amarah dari kembarannya itu.
🍁🍁🍁
Ery tak habis pikir akan kelakuan kembarannya. Bagaimana tidak, kembarannya itu selalu saja memperburuk keadaan hidupnya. Itulah mengapa di antara Arie dan Ery seperti ada arus yang memisahkan keduanya. Mereka memang kembar, tapi jalan pikir dan kepribadian mereka cukup berbeda.
"Arie aku tak akan memaafkan kebodohanmu itu." rutuknya dalam hati, ia berjalan tergesa-gesa, hingga nyaris saja tak menyadari bahwa sebuah mobil polisi sedang menuju ke arahnya. Ery terjebak, dirinya benar-benar harus bertemu dengan orang yang tidak ingin ditemuinya dalam situasi seperti ini,
"Iris," gumamnya pelan.
🍁🍁🍁
"Ada apa lagi ini Elais?" ucap seorang lelaki paruh baya menatap keponakannya itu .
"Tak ada." ucap Elais datar sambil tetap fokus membaca buku di hadapannya.
Lelaki paruh baya itu menghampiri Elais dengan geram lalu disambarnya buku yang sedari tadi sedang dibaca olehnya, "Sekarang jawab Pamanmu ini, apa yang sebenarnya kau rencanakan? Kenapa kau melakukan kekacauan di perpustakaan itu."
Elais menghela napas kasar, "Ayolah Paman Fic, aku sedang mencari informasi tentang kematian 'orang itu'."
"Tapi kau tak perlu melakukan sabotase. Ditambah kenapa kau melibatkan seorang gadis yang tak tahu masalah seperti ini."
Elais menghela napas kasar, "Well, itu di luar dugaanku Paman," kemudian diraihnya secangkir coklat panas, lantas meneguknya.
Lelaki paruh baya yang sering disapa paman Fic itu kemudian duduk di dekat jendela apartemen.
"Jika kau tak mengerti teknologi harusnya kau bilang padaku."
"Tidak Paman bukan itu masalahnya, aku sudah sering keluar masuk perpustakaan itu tanpa menimbulkan keributan sedikit pun. Tapi hari ini aku benar-benar tak mengerti." Elais merenung dahinya sedikit berkerut.
"Mungkin saja mereka sudah mengganti sistem keamanannya."
"Entahlah, hari ini adalah ketidakberuntunganku. Selain itu, kenapa Rosa tak ada di sana. Biasanya dia akan datang jika aku memanggilnya, tapi kenapa malah gadis itu yang muncul?" gumam Elais tak mengerti,
"Rosa Carolina? Maksudmu 'si gadis mawar' itu?"