Seorang remaja laki-laki berdiri di tepi tebing curam sambil menatap lurus ke depan.
Dengan mengenakan setelan formal dari Jas, Celana katun dan Sepatu kulit yang sama-sama berwarna putih serta sebuah Peaked Cap berlambang emas yang tersungging di atas kepalanya, membuat remaja itu tampak rapi ketika cahaya mentari pagi menerpa dirinya.
Remaja itu bernama Semi, yang baru menginjak usia 15 tahun dan merupakan seorang calon siswa dari akademi ARSI—sebuah akademi pemerintah yang bersifat kemiliteran.
Saat angin pagi yang dingin menerpanya, Semi tetap tak bergerak seolah dirinya telah mematung di tempat.
Namun secara tiba-tiba, tatapan Semi yang tadi kosong kini mulai beriak-riak seolah mendapatkan kembali kehidupannya. Ekspresi kosong yang terpampang di wajahnya kini berganti menjadi tampak hidup. Meskipun tak banyak perubahan berarti. Tetapi kini jelas sekali dia tampak memiliki kehidupan. Matanya kemudian berkedip beberapa kali seperti sedang memperbaiki bidang penglihatannya, awalnya kedipan itu tampak canggung. Namun lama-kelamaan semakin fasih.
Setelah itu, matanya terbuka cukup lebar bersamaan dengan mulutnya yang sedikit menganga. Secara mengejutkan, ekspresinya kini tampak seperti dia sedang terpesona.
Dan memang kelihatannya seperti itu, karena di hadapannya terdapat sebuah pemandangan dari hamparan daratan yang sangat luas terhampar sejauh mata memandang.
Pada permukaan daratan tersebut dapat terlihat hamparan hutan hijau lebat yang hampir menutupi seluruh permukaan. meskipun kini masih berselimut kabut tipis. Tetapi Semi masih bisa melihat itu dengan cukup jelas.
Selain itu, dapat pula terlihat beberapa sungai yang meliuk-liuk melintasi daratan sebelum menyebar dan kemudian terpecah menjadi beberapa cabang dan pada akhirnya sungai-sungai itu menyatu kembali dan membentuk sebuah danau luas yang berada di kejauhan.
Di seberangnya yang jauh—tepat di akhir daratan, Semi juga dapat melihat lautan awan yang bergejolak memenuhi seluruh cakrawala. Awan itu tampak berombak-ombak dan luasnya tanpa akhir.
Ketika mentari pagi menerpanya, membuat lautan awan itu tampak sangat memesona.
“Wow. Indah sekali! Dimana ini?” Semi berkata sambil menghembuskan nafas panjang seolah tampak menikmati pemandangan yang tersuguh.
Semi bukanlah seorang pencinta alam, dan dia bahkan jarang bepergian ke tempat seperti ini. Namun hal yang ada di hadapannya saat ini lebih dari cukup untuk membuatnya terpesona.
Dia memandangi pemandangan itu tanpa bergerak sebelum tiba-tiba ekspresi terpesonanya berganti menjadi tampak kebingungan tatkala dia tersadar akibat pertanyaannya sendiri.
Semi seketika terkejap dan mulai mempertanyakan realitasnya.
“...Tunggu. Dimana ini?” Dia bertanya dengan ekspresi kebingungan.
Dia kemudian memandang ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekeliling. Mencoba untuk memahami dimana keberadaannya. Namun, yang dapat dilihatnya hanyalah pemandangan dari hamparan hutan dan tebing yang memanjang yang menjadi batas dari hutan tersebut.
Tak menemukan jawaban dari pertanyaannya, Semi kemudian mencoba untuk melihat ke belakang. Namun pada saat itu sekelebat ingatan muncul di dalam benaknya.
Dimana ingatan itu menggambarkan tentang dirinya yang berada di dalam suatu ruangan tertutup yang luas, tanpa lampu tetapi cukup terang.
Semi berdiri dalam sebuah barisan orang-orang yang mengenakan pakaian serba putih dan di depannya terlihat orang-orang yang berpakaian serba hitam yang menghadap mereka.
Dan sesaat kemudian sebuah pemandangan dari cahaya berwarna hijau transparan yang tiba-tiba naik dari lantai dengan kecepatan tinggi sebelum dalam sekejap mata cahaya itu berhasil menenggelamkan dirinya. Ingatannya pun berakhir di sana.
“Tunggu, bukankah ini seharusnya…” Tersadar. Semi kemudian menoleh ke belakangnya dengan cepat.
Dan tebakannya pun terbukti benar. Dimana pada jarak yang cukup jauh dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat segerombolan orang yang sedang berdiri membentuk satu kelompok besar. Berpakaian serba hitam dan sebagian lagi mengenakan pakaian serba putih.
Di bagian depan—yang mengarah padanya—berdiri orang-orang yang berpakaian serba hitam lengkap dengan helm dan Sepatu Boots yang sama hitam. Pakaian mereka juga terlihat sama persis dengan yang ada di ingatan Semi barusan.
Dan yang di bagian belakang dari orang-orang itu, terdapat segerombolan orang yang berpakaian serba putih—layaknya dirinya.
Semi yang mengetahui hal itu pun akhirnya merasa lega, karena dia tak perlu lagi khawatir akan dimana keberadaannya.
“Jadi ini Geheim?“ ujarnya sambil menatap sekeliling.
Geheim sendiri adalah sebuah wilayah khusus dimana akademi ARSI berada. Sebuah tempat yang sangat rahasia dan tertutup dari pandangan publik. Tak ada yang tahu dimana letak lokasinya bahkan untuk Semi sendiri yang akan menjadi siswa di sini.
Sambil menatap sekitarnya dengan penasaran. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke kejauhan. Dimana dapat terlihat sebuah gunung hitam yang menjulang tinggi, memiliki dua puncak runcing yang tampak menusuk langit serta kaki gunung yang memanjang tampak menjadi tembok raksasa.
Warna dari gunung itu juga sepenuhnya berwarna hitam, layaknya terdiri dari gundukan batu bara yang ditumpuk tinggi-tinggi. Hal ini membuat pemandangan yang sangat mencolok karena kontras yang dihasilkan antara gunung hitam dan langit biru yang menjadi latarnya.
Selain itu, pada salah satu kaki gunungnya Semi dapat melihat terdapat sebuah bangunan yang mirip menara yang menjulang tinggi, menonjol seorang diri di tengah luasnya wilayah sang gunung.
Meskipun dari kejauhan, menara itu sudah tampak sangat besar, Semi tak terbayang seberapa besar ukuran sebenarnya jika dilihat dari dekat.
menara itu memiliki warna keabu-abuan kusam yang tampaknya dibangun dari susunan batuan alami. Puncaknya terlihat runcing seperti ujung tombak yang mengarah ke atas.
Setelah memikirkannya Semi merasa heran sekaligus takjub. Tak menyangka ada satu tempat yang begitu misterius.
Peratama semi yakin bahwa ini adalah daratan yang sangat tinggi. Pada awalnya dia bahkan berpikir kalau tempatnya berdiri saat ini adalah puncak dari sebuah gunung; karena berada di atas awan serta tekanan oksigen yang terbilang tipis. Namun pemikirannya seakan dibantah oleh keberadaan hamparan hutan luas yang bahkan memiliki sebuah danau yang sangat besar. Baginya hal itu tak masuk akal. Karena sepengetahuannya pada ketinggian diatas ribuan meter di atas permukaan laut hutan hijau akan sulit tumbuh.
Kedua adalah gunung hitam di kejauhan. Semi merasa aneh dengan hamparan hutan hijau yang tumbuh di ketinggian. Tetapi sekarang dia merasa lebih aneh lagi karena ada sebuah gunung raksasa yang berdiri tepat di atas dari daratan yang sudah dia anggap puncak. Ini seperti membangun gedung pencakar langit di atas gedung pencakar langit lainnya. Semi menganggap ini tak masuk akal. Namun keberadaan itu tak terbantahkan.
Semi tak bergerak dan hanya menatap pemandangan itu. Namun pemandangan hebat itu harus berhenti tatkala pandangannya terblokir oleh rimbunan hutan hijau lebat yang berada tepat di belakang kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul di kejauhan.
Pada saat Semi melihat pada segerombolan orang itu, tiba-tiba dia sedikit merasa terganggu ketika menyadari pandangan mereka.
Semi merasa janggal karena tatapan semua orang yang jauh itu kini seolah sedang menatap langsung pada dirinya.
“Ada apa dengan mereka?” Gumamnya agak risi.
Semi kemudian menyipitkan matanya, mencoba mengonfirmasi pertanyaannya. Dan memang benar, mereka sedang menatapnya.
Dengan kening yang berkerut Semi pun berpikir, mencoba memahami arti dari tatapan mereka. dan untungnya dalam sekejap dia berhasil menyimpulkan jawabannya.
‘Tidak. Mereka tidak menatapku, tetapi mereka sedang menatap pemandangan di belakangku.’ Pikirnya sambil menoleh ke belakang.
“Ya. itu sudah jelas, siapa pun yang melihat pemandangan itu pasti akan terpesona juga,” Gumamnya tampak penuh keyakinan.
Namun seketika itu juga dia tersadar, meskipun jarak antara mereka terpaut cukup jauh, tetapi Semi dapat melihat ekspresi mereka dengan cukup jelas.
“...Tunggu, itu bukan ekspresi seseorang yang sedang terpesona...”
Dengan segera Semi pun segera mengarahkan pandangannya kembali ke arah kelompok tersebut. Dia menyipitkan matanya kembali, tetapi kali ini lebih memperhatikan wajah mereka. Ekspresi yang mereka tunjukan bukanlah ekspresi yang menggambarkan kekaguman, melainkan ekspresi kebingungan.
“Ada apa dengan mereka? Apakah ada sesuatu yang aneh padaku?” itulah hal pertama yang terpikir di kepalanya.
Dengan segera dia kemudian memeriksa penampilannya, mencari tahu apa yang salah pada dirinya. Namun dia tak menemukan satu pun keanehan dari penampilannya yang masih rapi.
Dia kemudian mulai melihat kembali ke sekelilingnya, mencoba mencari sesuatu yang aneh di sekitarnya. Namun keadaan di sekitarnya tak terlihat ada yang aneh.
Semi merasa bingung karena tak tahu apa yang salah.
Namun saat itu dia menyadari jawaban dari keanehan tatapan mereka. satu-satunya keanehan yang ada di sini adalah dirinya yang berdiri sendirian. Dengan kata lain dia adalah satu-satunya orang yang berada di luar kelompok.
“Sialan.”
Tersadar, Semi pun seketika merasa malu hingga dia mulai mengutuk.
Dengan segera dia pun berjalan pergi menuju arah dimana orang-orang itu berada.
Namun langkahnya seketika terhenti tatkala sesuatu pikiran muncul dalam kepalanya.
“kenapa aku bisa berada di sini?”
Semi begitu terkejut menyadari kebenaran itu.
“Apa aku terpisah? Atau aku berjalan kesini? Tetapi, kenapa aku tak ingat? Apa aku begitu terpesona oleh pemandangan itu?” Tambahnya kebingungan.
Semi sungguh tak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dia bisa tiba-tiba berada di sini namun dia tak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Merasa bingung dia pun segera mencoba mengingat kembali tentang apa yang dialaminya. Namun usahanya terhenti tatkala dia mendengar sejumlah teriakan yang cukup kencang.
“Hey! kau cepat kembali!”
“Jangan ke sana!”
“Cepat ke sini!”
Teriakan itu tidak hanya menggagalkan renungan Semi, tetapi juga membuatnya semakin kebingungan “Ada apa sih dengan mereka?” Tanyanya bertambah heran.
Dapat dilihat bahwa orang-orang yang berteriak itu adalah orang yang menggunakan pakaian berwarna hitam. Itu tergambar dari raut wajah mereka yang tampak mendesak dibanding dengan tatapan kebingungan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang berpakaian putih yang sama dengannya.
Baginya hal itu cukup bisa dimengerti dimana dia mengetahui bahwa orang berpakaian hitam adalah para petugas yang lebih mengenal tempat ini dibanding para calon siswa seperti dirinya.
Mengetahui hal itu, Semi pun memutuskan untuk segera berjalan kembali ke arah kerumunan itu. takut jika dia telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.
Ketika Semi semakin mendekati kerumunan, dia melihat bahwa daratan hijau di bawah kaki mereka kini telah berganti dengan beton. Dengan cakupan area yang cukup luas hingga diperkirakan dapat menjadi tempat yang cukup bagi selusin bus untuk dapat parkir di atasnya. Kemudian salah satu bagian beton itu memanjang hingga menembus hutan hijau sebelum akhirnya berkelok dan hilang dari pandangan.
Selain itu Semi juga memperhatikan hal yang cukup unik pada permukaan beton di bawah kaki orang-orang itu. Dimana dia memperhatikan bahwa selain beton yang menembus hutan yang berwarna hitam, beton di area yang luas itu memiliki campuran warna kehijauan layaknya dicampur dengan bubuk dari pecahan kaca beling.
Semi cukup penasaran tetapi dia tak memiliki waktu untuk memikirkannya. Saat ini dia hanya mencoba secepat mungkin untuk sampai ke area kerumunan itu.
Tak berselang lama, akhirnya Semi pun semakin dekat dengan kerumunan. Sekarang dia dapat melihat wajah dari orang-orang yang berkerumun di sini dengan sangat jelas.
Secara otomatis perhatian Semi langsung tertuju pada para petugas berpakaian hitam yang berdiri paling depan. Pada awal pandangannya, semi mengira ekspresi para petugas itu terlihat tampak begitu tenang dengan gerakan yang minim yang mereka tampilkan, itu sangat berbeda dengan saat tadi mereka berteriak padanya.
Tetapi, jika diperhatikan dengan saksama, Sorot mata yang mereka tunjukan tampak begitu tajam seolah menggambarkan tingkat kewaspadaan yang begitu tinggi dalam memperhatikan Semi.
Hal ini membuat dia sedikit curiga sehingga dan tanpa sadar dia juga menjadi waspada.
Semi berhenti sejenak dan kemudian memandang mereka dengan saksama.
‘Apa yang salah? Apa aku telah berbuat kesalahan yang fatal?’
Semi semakin kebingungan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tatapan Itu bukanlah sesuatu yang akan mereka tunjukan pada seorang biasa sepertinya, melainkan itu adalah tatapan yang akan mereka tunjukan pada apa yang mereka anggap berbahaya.
Meskipun Semi hanyalah seorang pemula yang baru akan menjadi calon siswa dan bisa dibilang masih sangat mentah. Tetapi, berkat pengalaman yang diperoleh dari pelatihan dengan orang-orang profesional, membuat dia memiliki setidaknya sedikit banyak pengetahuan tentang kebiasaan seorang prajurit. Semi tahu bahwa dari sikap, tatapan dan posisi yang mereka ambil, orang-orang ini tengah siap untuk bertempur.
Merasa takut, Semi ragu untuk melanjutkan. Dia memikirkan sejenak segala kemungkinan yang terjadi meski dengan pengetahuannya yang terbatas. Namun tak satu pun jawaban yang bisa dia simpulkan sehingga pada akhirnya dia memilih untuk tetap melanjutkan.
Saat semi telah semakin dekat dengan kerumunan itu, dia mulai memperlambat langkah kakinya dan kemudian mulai tersenyum ramah mencoba untuk menyapa para petugas berpakaian hitam tersebut dan mengisyaratkan bahwa dia bukanlah ancaman.
Namun tepat pada saat dia telah menginjak perbatasan dari tanah beton, Secara tiba-tiba salah satu petugas yang berdiri paling depan dengan kecepatan kilat langsung melesat ke arahnya.
Terkejut, Semi mencoba mundur. Namun dia terlalu lambat. Petugas itu kemudian meraih pergelangan tangan kanan Semi dan menariknya dengan kencang.
Semi mencoba mempertahankan dirinya. Namun karena perbedaan kekuatan mereka yang begitu besar sehingga dia tetap saja tertarik dan terhuyung.
Pada saat berikutnya salah satu kaki dari si petugas itu langsung melakukan tendangan sapuan pada kaki kanan Semi. Yang membuat Semi tergelincir sehingga membuat tubuhnya secara langsung jatuh terpelanting; sebelum tersungkur dan mendarat dibeton.
Semi hanya bisa mengerang saat wajahnya membentur beton dengan cukup keras. Pada saat itu juga pandangannya langsung menjadi gelap dan kepalanya dipenuhi dengungan tajam.
Setelah berhasil menjatuhkan Semi. Petugas itu langsung memutar tubuhnya dan langsung menduduki tubuh Semi, dia juga secara cepat langsung menangkap dan melipat kedua tangan semi ke belakang punggungnya— layaknya seolah sedang meringkus seorang pelaku kriminal.
Dan pada saat yang bersamaan sebagian petugas yang tersisa juga langsung mengerubungi Semi. Mereka mengelilinginya dan langsung memegangi tubuh semi seolah mencegah agar dia tak bisa bergerak. Mereka bahkan memegangi leher Semi dengan cukup keras dan menekan kepalanya ke lantai.
Semi yang tidak menduga dengan perlakuan yang diterimanya mencoba memprotes walaupun dengan kepalanya yang masih berdengung.
“Apa-apaan ini, Pak?” Semi berteriak sambil meronta dengan cukup keras.
“Diamlah!” Jawab petugas yang sedang mendudukinya secara singkat.
Semi tidak puas akan tanggapan yang diberikan padanya dan sekali lagi berteriak.
“Apa salah saya? Saya tak melakukan apapun!” Dia berteriak sembari mencoba untuk menggerakkan wajahnya ke samping—mencoba untuk memperbaiki bidang pandangannya.
“Saya bilang diam!” Jawab petugas itu tegas.
Sambil tetap meronta Semi bersikeras pada pendiriannya. “Tidak, apa salah saya? Apa yang sebenarnya yang terjadi?”
Mendengar itu, petugas yang sedang menduduki Semi kemudian membuat gestur pada salah satu rekannya dengan sebuah anggukan.
Dan pada detik berikutnya salah satu petugas yang berdiri didepan Semi mulai mengocehkah sesuatu dengan gumaman, dan seketika itu juga Semi langsung kehilangan kesadarannya.