Berkat pertarungan dengan Rim dan Raund. Levelku naik menjadi level 5. Didunia ini, cara mendapat Exp ada bermacam-macam. Membunuh Mob adalah cara paling umum. Namun yang tak kalah efisiennya adalah berduel.
Saat dua atau lebih Inkarnasi bertarung, mereka akan mendapat Exp dari pertarungan mereka. Pemenang akan otomatis mendapat lebih banyak Exp dan terus bertambah seberapa kuat dan banyaknya lawan. Jika membunuh dalam duel, karma akan disangsikan ada pembunuh juga karena Ia mendapat Exp.
"Berarti naik satu level saat melawan Rim dan tiga level melawan Inquisitor. Aku penasaran berapa banyak Statku naik? Atau Aku akan dapat poin Stat?"
Begitu Aku membuka layar status, notifikasi aneh muncul menawarkan sesuatu.
[Selamat. Anda sekarang level 5. Anda memiliki Stat poin yang belum digunakan.]
[Tapi. Apa itu cukup?]
"Apaaa?"
[Apa Anda tidak ingin Auto-build?]
[Skill Jack Of All Trades dan Mysterious Body saling bekerja sama. Anda berkesempatan menggunakan Awakening Progression.]
[Awakening Progression
Setiap Anda naik level. Poin Stat akan terbagi secara rata dan Anda akan mengalami Awakening setiap sepuluh level. Masih ada fitur tersembunyi. Namun jumlah Exp akan meningkat empat kali lipat. Apa Anda setuju?
Ya/Tidak.]
Aku bisa gila membacanya. Sistem Auto-build yang memungkinkan semua Stat meningkat saat naik level, namun naik level menjadi lebih sulit. Ini sebenarnya penawaran yang bagus karena Aku telah melakukan perhitungan dengan Poin Stat. Aku hanya bisa menaikkan empat Stat hingga seratus jika aku hanya fokus dengan empat Stat saja.
Yah... Tidak ada salahnya mencoba. Ini juga kesempatanku untuk menjadi lebih kuat.
"Ya."
[Permintaan diterima. Memulai Auto-build "Awakening Progression".]
[Menghitung ulang Exp yang diterima. Penghitungan selesai.]
[Menurunkan level.]
"Apa! Tunggu! Aku tidak mau seperti ini!"
[Level saat ini. Level satu. Progress: 80%.]
"Sistem kurang ajar! Hey! Aku susah payah mendapat Exp itu! Sialaaannnn...!"
Aku merengek setelah memakai baju. Aku duduk sambil memeluk kaki dan meratapi layar status yang menunjukkan Aku turun lagi menjadi level satu.
Zain datang setelah dibantu memakaikan baju oleh Nona Rim.
"Kakak kenapa? Kakak gak apa-apa?"
"Tidak apa-apa. Kakak cuma sedih karena gak jadi naik level...."
Zain memelukku dari samping. "Gak papa. Kakak sudah hebat sebelum naik level. Kalau Kakak naik level, Kakak akan lebih hebat lagi."
Aku merasa Zain lebih dewasa dari anak seumurannya. Apa karena pengaruh oleh kesadaran dewasanya? Atau karena hal lain?
"Benar. Aku kan berusaha lebih keras untuk naik level lagi. Semangat!"
"Ya Kak! Semangat!"
"Makasih ya Zain. Kakak jadi lebih baik."
"Sama-sama."
Aku berpegangan tangan dengan Zain dan pergi menemui yang lain.
"Ayo semuanya. Kita pulang!"
"Baik Master...." {Para Slime}. Aku sedikit terdiam karena kali ini mereka semua bisa berbicara dan memanggilku Master.
"Sekarang karena Kami bisa berbicara, Kami akan memanggil Master dengan sebutan "Master"." {Marine}.
"Wah. Wah. Apa Aku harus memanggil Anda Master juga?" Rim mencoba menjahiliku.
"Tapi Aku penasaran. Kenapa Azure memanggilnya Master?" {Rim}.
"Karena Master yang mengajariku untuk bertahan hidup didunia ini. Apalagi Aku seorang Reinkarnator...." Azure membeku memikirkan sesuatu.
"Apa itu Reinkarnator?" {Azure}.
Barusan Azure bilang apa?
"Reinkarnator itu adalah orang yang bereinkarnasi. Artinya Dia hidup lagi setelah mati." Rim menjelaskan secara sederhana agar Azure mengerti.
"Jadi Azure bukan Reinkarnator?"
"Tentu saja bukan." Nona Rim menjawab dengan tertawa kecil.
"Apa Kamu benar-benar tak punya ingatan kehidupan masa lalu mu, Azure?"
"Waktu itu Master hanya bilang apa Aku ingat masa lalu ku. Jadi Aku menjawab ya, karena Aku ingat kenangan saat Aku masih menjadi Mob."
"Buwahahahaha...." Aku hanya bisa tertawa lepas karena selama ini Kami salah paham.
Azure sedikit khawatir karena tertawaku terlihat sangat aneh. Dia seperti merasa membuat kesalahan.
"hahaha... Apa? Maaf Azure. Aku membuatmu khawatir ya?"
"Haa... Kamu tak perlu khawatir. Apapun yang terjadi, Kalian tetaplah teman terbaikku. Aku juga akan sulit jika tak ada kalian."
Aku yakin Azure merasa bersalah karena Ia berpikir Ia membohongiku.
"Uwaaahh... Aku sayang Master...." Azure berpikir mencoba memelukku lagi. Ia melompat dengan ganas untung Aku menghindar.
"Azure hentikan! Nanti bajuku jadi kotor lagi." {Eideth}.
"Tapi Aku ingin memeluk Master." {Azure}.
"Azure. Apa ingin Aku bantu?" {Rim}.
"Nona Rim. Tolong jangan Kamu juga." {Eideth}.
"Aku juga ingin memeluk Zain. Aku selalu ingin melakukannya dari dulu." {Marine}.
"Kami juga." Para Slime menjadi kompak.
"Huh? Apa? Huwaahhh...! Kakak lari!"
Kami akhirnya bermain kejar-kejaran. Kami bermain ria dan melupakan keadaan. Sudah lama sejak Aku bermain lepas seperti ini.
Kami akhirnya berhenti setelah kelelahan. Berkat koordinasi Aku dan Zain. Kami sama sekali tidak kena peluk sedikitpun. Kena peluk = mandi lagi.
Kami hendak pulang namun nyonya Rim sedikit khawatir untuk pergi. Ia sedikit ragu untuk ke dunia luar.
"Nona Rim tenang saja. Aku sudah menyimpan semua dokumen dan barang penting, juga kristal cahaya di langit-langit gua ke dalam Subspace. Berkat ritual tadi, Subspace milikku bertambah luas jadi dapat menyimpan lebih banyak benda."
"Iya. Kamu benar."
Berkat melawan Inquisitor, Nona Rim naik level karena kontribusinya yang besar dalam pertarungan. Ia sekarang dapat memindahkan tubuh Asli dan Core miliknya kedalam bunga kecil yang berada di kepalanya. Sekarang Nona Rim bisa bergerak bebas pergi dari pohon itu.
Untung saja mereka semua muat dalam Subspace yang penuh dengan barang-barang dari gubuk. Para Slime dapat mengecilkan diri dengan kembali ke wujud Slime Mereka, jadi masih tersisa sedikit ruang untuk Nona Rim.
"Kalian semua sudah masuk kan? Ada barang yang tertinggal?"
Sepertinya semua aman dan tak ada barang yang tertinggal.
"Baiklah. Ayo pergi."
"Ayo." {Yang lain}.
Kami pun pulang melewati jalan Kami masuk tadi. Tak butuh waktu lama Kami akhirnya keluar gua dan disambut angin sore.
Apa? Sore? Aku melihat matahari yang sudah mulai turun. Gawat! Kami berjanji akan keluar dua jam saja.
Aku menggunakan Observer untuk mencari Louis didalam hutan. Dugaanku benar. Dia tidak pulang meninggalkan Kami dan terus mencari.
"[Mass Teleport]!" Aku memakai Skill untuk memindahkan Kami beberapa meter di dekat Louis. Kami muncul dengan berakting sedang bangun tidur.
"Louis. Kamu dimana? Hoamph...."
"Tuan muda! Tuan muda dari mana saja?"
"Kami tidur tadi setelah main."
"Syukurlah kalian baik-baik saja. Kalian pasti kelelahan bermain dan tertidur. Kalian sebaiknya jangan bermain jauh-jauh lagi dariku. Huh!?"
Louis menyadari ada beberapa serbuk bunga di baju Kami.
"Ini serbuk bunga Eldivis! Kalian pasti jadi mengantuk dan tertidur karena menghirup serbuk sarinya."
Yes.... Berhasil. Aku meminta Nona Rim untuk menaburkan serbuk itu ke pakaian Kami untuk memperkuat akting dan meminimalkan kecurigaan.
"Ya sudah. Ayo kita pulang. Nanti Duke dan Duchess jadi khawatir."
Kami pun pulang dengan kereta kuda kembali ke kastil.
"Waaahh...." Nona Rim pun ikut terkesima melihat Kota Einzel Kami ini sama seperti Azure pertama kali.
Setibanya di istana, Ayah dan Ibu sudah menunggu Kami didepan gerbang. Yap. Mereka khawatir. Maaf membuatmu dalam masalah Louis. Aku melihat Louis dengan kasihan.
Begitu Kami turun, Ibu langsung memeluk Kami berdua.
"Anak-anakku tersayang. Eideth. Zain. Kalian dari mana saja." {Ibu}.
"Louis. Lapor!" {Ayah}.
"Ya. Tuanku. Tuan Eideth dan Tuan Zain tertidur di hutan akibat serbuk bunga Eldivis saat bermain."
"Apaaaa!!!" Louis begitu ketakutan mendengar teriakan kemarahan Ibu. Ayah pun juga kaget.
"Bagaimana bisa Kamu melepas pandanganmu dari anak-anak!" Ibu benar-benar marah besar pada Louis.
"Maafkan Saya Yang mulia. Saya bersedia menerima hukuman."
"Kamu memang harus...."
Aku menarik baju Ibu dan memasang wajah imut bersalah sambil mencibirkan bibirku.
"Ibu. Jangan marah pada Louis. Aku yang salah karena bermain terlalu jauh meninggalkan Louis. Ibu jangan marah ya."
Ibu sedikit terpesona melihatku dan meredakan amarahnya.
"Baiklah. Ibu tidak marah lagi." Ibu tersenyum padaku.
"Tapi Louis harus latihan berduel dengan Ayahmu besok sebagai hukuman."
"Apa? Tuan tolong jangan berlebihan denganku."
"Maaf Louis. Aku akan terkena masalah jika melakukan itu."
Untunglah hukuman Louis jadi sedikit ringan. Aku sudah membantumu sebanyak yang ku mampu. Maaf ya Louis.
"Sudah-sudah. Eideth. Zain. Kalian pergilah mandi sebelum makan malam."
"Baik Ibu. Ayo Kak berlomba ke kamar mandi. 1,2,3...." {Zain}.
"Hey! Itu curang!" {Eideth}.
"Anak-anak. Tidak perlu berlari." {Ibu}.
"Sudahlah Sayang. Biarkan saja untuk hari ini. Sepertinya Eideth sama sekali tak ingat hari ini hari apa?"
"Kamu benar. Aku tak sabar melihat wajahnya nanti."
Aku pergi mandi seperti biasa, hanya saja saat ini lebih berisik dari biasanya karena Aku belum sempat mengeluarkan Rim dan para Slime dari Subspace. Aku membuka sedikit portal agar dapat mengobrol dengan mereka.
"Eideth. Jadi Kamu benar-benar seorang Reinkarnator? Duniamu dulu seperti apa?" {Azure}.
"Kalau bisa kujelaskan. Duniaku tak memiliki Skill dan level." {Eideth}.
"Apa!? Apa benar? Bagaimana Kamu bisa hidup didunia itu?" Tanya Marine keheranan.
"Kami masih bisa hidup tanpa Skill. Kami mengandalkan kepintaran Kami untuk bertahan hidup."
Aku selesai mandi lebih lambat dari biasanya karena keasyikan mengobrol dengan mereka. Aku berpakaian dan bersiap untuk makan malam. Aku pergi ke ruangan makan bersama Louis dan Seline. Seline membuka pintu ruang makan daannn menyuruhku masuk. Ruangan makan begitu gelap, tapi Ia tetap menyuruhku masuk.
Aku masuk sendirian dan ruangan gelap gulita. Bahkan tirai jendela menutup rapat ruangan menghentikan cahaya bulan masuk.
Beberapa saat terdengar suara ledakan diikuti nyala lampu. Kertas kilauan Confetti bertaburan diatas kepalaku.
"Selamat ulang tahun!!!" {Semuanya}.
Eh? Aku hari ini ulang tahun? Bahkan Aku tidak mengingatnya. Tak terasa umurku sekarang genap enam tahun.
"Selamat ulang tahun Eideth ku sayang...!" Ibu memelukku sangat erat, lebih erat dari biasanya.
"Humph... Terima kasih Ibu. Ibu... A-aku sulit bernafas."
"Owwwwhh... Sini beri Ibu ciuman." Aku dicium diseluruh bagian mukaku seperti biasa.
"Selamat ulang tahun Eideth."
"Terima kasih Ayah. Mmmuuaaahh..." Aku memberi ciuman ke pipi Ayah.
"Apa!? Itu tidak adil." Ibu mengeluh dan akhirnya mendapat ciuman dariku juga.
"Sudah Ayo kita makan." Ayah menggendong Irena dan bersama Kami ke aula.
Aula sudah didekorasi dengan megah. Terdapat begitu banyak meja yang tertata rapi yang sudah disediakan makanan.
"Maaf Kami terlambat." Dobrakan pintu terdengar keras ke seluruh aula.
Seperti biasa, cabang keluarga Raziel juga diundang ke jamuan makan ini.
Ayah, Agareth Raziel. Adalah putra bungsu yang mengambil alih kebangsawanan karena saudaranya yang lain lebih memilih menjadi petualang.
"Bibi Aziel!" Zain lah yang pertama menyambut mereka.
"Zain. Apa kabarmu? Kamu terlihat lebih tinggi dari sebelumnya."
"Benarkah? Yaayyy...."
"Zain. Duduklah kembali di kursimu. Kak. Kenapa kalian selalu datang terlambat seperti ini?" {Agareth}.
Saat Zain sibuk menemani, Aku bertemu dengan sepupuku. Astria dan Zephyr. Mereka adalah saudara kembar. Aku juga bingung saat mendengar nama mereka. Kenapa bibi Aziel membuat nama mereka sangat jauh seperti itu. Bayangin A dan Z.
"Hai Astria. Hai Zephyr." {Eideth}.
"Halo Kak." {Astria}.
"Halo Kak." {Zephyr}.
"Bagaimana kabar kalian?" Ugghh..! Apa Aku tak punya pertanyaan lain?
"Daripada menanyakan kabar Kami. Bagaimana kabar Kakak?" {Zephyr}.
"Emmm... Apa maksud kalian..?" {Eideth}.
"Ah... Kakak pura-pura tidak tahu...." {Astria}.
"Selamat ulang tahun." Kedua Kembar itu berteriak bersamaan.
Gawat! Mereka ingat dong! Teriakan mereka tak lama mengingatkan Ibu mereka, Aziel.
"Apa! Benarkah? Selamat ulang tahun Eideth!"
"Ugh...!" Bibi Aziel memelukku sekuat tenaga. Rasanya seperti seluruh berat badannya menimpaku.
Aku baru saja bersyukur karena bibi Aziel lupa dengan ulang tahunku. Mereka malah mengingatkannya.
Ini adalah keluarga cabang Raziel. Aku juga baru tahu setahun yang lalu, kalau kakekku punya dua istri. Pantas saja Aku bingung kenapa Bibi Aziel tak mirip dengan Ayah.
Ayah menyambut para keluarga cabang dan mengantarkan mereka ke tempat duduk mereka.
Harusnya pesta ulang tahunku tidak sampai semegah ini. Ini juga dikarenakan perayaan hari ulang tahun didirikannya keluarga Raziel yang berbarengan dengan ulang tahunku. Keluarga Raziel adalah keluarga yang mempunyai sejarah yang panjang. Dicatatan lama, bahwa keluarga Raziel sudah berdiri dari Era Lama. Jadi perayaan ini diadakan menurut perhitungan kalender lama yang lebih cepat dari kalender baru.
Pernah Aku umur tiga tahun, kami mengadakan perayaan ulang tahun Raziel setahun dua kali.
Kami duduk bersama di kursi masing-masing lalu Ayah membuka acara. Ayah mengambil sebuah gelas dan sendok lalu membunyikannya. Cara meminta perhatian ala bangsawan.
"Tolong perhatiannya. Semuanya. Eheem. Hari ini kita akan merayakan ulang tahun keluarga Raziel yang ke 120. Di hari ini, 120 tahun yang lalu nenek moyang kita berhasil membangun dan mengangkat kembali keluarga Raziel dari reruntuhan."
Semuanya bertepuk tangan dan mendoakan kesejahteraan keluarga besar Kami ini.
"Tak lupa pula. Anakku Eideth merayakan ulang tahunnya yang ke enam."
Gemuruh tepuk tangan dan sorakan selamat ulang tahun diberikan kepadaku.
"Terima kasih semuanya." Aku berusaha keras menahan maluku karena disoraki.
Aku seorang pria berumur 34 tahun tepatnya jika dihitung umurku dikehidupan sebelumnya. Agak malu rasanya diberi selamat ulang tahun yang keenam seperti anak kecil. Yah Aku memang anak kecil sih.
"Baiklah semuanya. Ayo kita semua makan terlebih dahulu." Ayah duduk kembali ke kursinya disebelah ibu.
"Huuuuh... Jika Eideth dan Zain pulang lebih cepat. Pesta ini bisa lebih lama. Aku belum sempat menari dengan Eideth, melihatnya membuka hadiah dariku." Ibu mengeluarkan keluhannya sambil bergumam.
"Sudahlah Sayang. Eideth dan Zain baik-baik saja."
Ayah dengan mudah menenangkan Ibu sehingga kami dapat lanjut makan bersama. Setelah acara makan Kami langsung lompat ke acara pembukaan hadiah ulang tahunku.
"Sebuah buku sihir? Ini tulisan tangan bibi Aziel kan?" {Eideth}.
"Bagaimana Kamu tahu?" {Aziel}.
Aku menunjukkan tanda tangan spesial miliknya pada halaman depan.
Aku mendapat banyak sekali hadiah. Syal, Sepatu, Pakaian. Yang hebat tentang keluarga ini adalah mereka membuat hadiah mereka sendiri.
Ini syal buatan Seline, Aku melihatnya merajut ini saat Ia punya waktu luang. Luois juga ikut mencari sepatu khusus untukku latihan pedang. Pakaian ini memang buatan tukang jahit namun Ibu memasangkan jimat khusus padanya. Aku melihat semua hadiah ini membuatku sangat bahagia.
Dibalik kotak kado lain, Aku menemukan sebuah kado yang langsung menarik perhatian mataku saat melihatnya. Kado berbentu persegi panjang dengan panjang satu meter. Aku sudah menduganya, ini pedang. Ini pasti hadiah dari Ayah. Pantas saja tangan Ayah lebih kasar dari biasanya.
Aku mengayunkannya beberapa kali sebelum menyarungkannya kembali.
"Kenapa Eideth? Apa Kamu tidak suka?" Ayah sedikit panik merasa Aku tak menyukai hadiahnya.
"Aku suka. Ini sesuai sekali buatku. Tapi Aku takkan menggunakannya sekarang."
"!!?"
"Ayah bilang pedang digunakan untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Benarkan Ayah?"
"Yaaa! Benar sekali. Ayah bangga sekali padamu." Ayah sampai menangis haru mendengar kata-kataku.
"Hey! Adik-adikku! Kakak Kalian sudah datang."
Seorang wanita menggunakan jubah membuka pintu sambil mendobraknya. Dibelakangnya terdapat anak kecil memakai jubah juga. Pakaian mereka terdapat beberapa bekas darah. Ayah langsung menanyakan keadaannya.
"Kakak. Kakak dari mana saja? Apa yang terjadi?"
"Tadi Kami berurusan dengan kelompok bandit sebelum kemari. Tenang saja ini bukan darah Kami. Siapa nama kelompok Mereka tadi?"
"Blue Ravens. Guru."
"Benar. Itu Mereka. Mereka sering kali membuat masalah untukmu kan adikku. Kakakmu ini sudah membereskan mereka."
"Yah. Aku senang kalian baik-baik saja. Omong-omong siapa Pria muda ini?"
"Ini murid yang ku angkat. Klyde. Perkenalkan dirimu."
Anak berjubah itu membuka tudungnya.
"Nama Saya Klyde Resner. Salam kenal Tuan."
"Salam kenal. Aku Agareth Raziel, saudara gurumu."
"Sudah sebaiknya kalian mandi dan ganti baju dulu. Pelayan akan menyiapkan baju kalian. Ayo Kakak Ipar." Ibu masuk ke pembicaraan dan mengurus tamu terlebih dahulu. Sepertinya ada yang Ibu ingin bicarakan dengan Kakak Ayah.
Sejujurnya ini pertama kali Aku melihat Kakak Ayahku yang lain. Dari ingatan Zain, Aku tahu namanya adalah Vinesa Raziel.
Vinesa Raziel adalah petualang terkenal hingga ke benua lain. Dia banyak berlayar ke benua timur dan utara menyelesaikan misi khusus yang dimohonkan kepadanya. Dia seorang pengguna pedang besar. Meski tubuhnya yang kecil, kekuatan fisiknya yang luar biasa sangat tidak masuk di akal. Ada yang bilang kalau dia adalah pelindung keluarga Raziel.
Aku keasyikan membuka kado hingga Aku tak menyadari Ia sudah selelsai mandi dan berada dibelakangku. Bahkan Zain yang berhadapan denganku tak melihatnya datang
"Jadi Kamu anak tertua generasi Raziel saat ini."
Kata-katanya begitu dingin mengejutkanku ditambah hawa membunuh yang kuat dikeluarkan olehnya. Zain yang berdekatan denganku pun ikut terkena hawa membunuh kuat itu ketakutan hingga kakinya bergetar.
Hawa membunuhnya menekan tubuhku membuat tubuhku sangat berat.
Bibi Aziel mencoba menghentikan Bibi Vinesa juga berhenti saat terkena hawa membunuhnya juga. Ia juga melindungi Astria dan Zephyr dengan pelindung sihir.
"Sudahlah Kak. Ini terlalu berlebihan."
"Kamu jangan ikut campur Aziel."
Aku tahu kejadian ini. Zain juga diperlakukan sama dikehidupan sebelumnya. Ini adalah kejadian saat Bibi Vinesa menguji Zain dan memutuskan untuk melatihnya. Zain saat itu bertahan dan melindungi Irena dari hawa membunuh itu, walau akhirnya Ia juga pingsan. Kurasa ini adalah event khusus anak tertua.
Aku mengambil pedang besi dari Ayah dan mengarahkannya pada Bibi Vinesa. Tanganku bergetar seraya mengangkat pedangku namun Zain saat ini dibelakangku hampir tak kuat lagi menahan hawa membunuh dari Bibi Vinesa.
[Killing Aura diaktifkan.]
Aku mengeluarkan Aura membunuh milikku untuk mematahkan hawa membunuh milik Bibi Vinesa. Kini hawa membunuh yang menyelimuti ruangan sudah menghilang, Zain mulai bernafas dengan normal kembali.
"Hebat! Bukan hanya Kamu berhasil menahan dan membangkitkan hawa membunuh. Kamu juga melakukan "Break" di percobaan pertamamu. Aku tertarik denganmu...."
"Bibi jangan mendekat!" Aku menatap Bibi dengan tajam. Sebelum berbalik memeriksa Zain.
"Zain. Kamu tidak apa!"
"Kamu tidak boleh mengalihkan pandangan sata berhadapan dengan lawan." Bibi memperkecil jarak dengan sangat cepat dan menyerangku dengan tangannya yang dilapisi Aura.
[Auto Reflex diaktifkan.]
[Aura Sword (Beginner) diaktifkan.]
Aku menghempaskan tangan Bibi dengan pedangku sambil berguling menghindar membawa Zain. Itulah hal terakhir yang kuingat sebelum hilang kesadaran.
'Anak ini luar biasa! Dia bisa menghindar dari seranganku dan menyerang balik.' {Vinesa}.
"Kakak! Tanganmu!"
Vinesa melihat tangannya terluka dan lapisan Aura ditangannya berhasil ditembus.
"Hahhahahaha!" Vinesa tertawa lepas. Ia menggengam erat tangannya dan mengaliri lukanya dengan Aura. Seketika luka itu tertutup.
"Seorang monster telah lahir di keluarga kita."
"Apa yang terjadi disini!!!" Lucia datang dan marah besar begitu melihat anak-anak berbaring lantai tak sadarkan diri dan ruangan berantakan.
Vinesa seketika berkeringat dingin dan mengatakan yang terjadi.
"Ini. Ini salahku...."
...
Aku tengah berbaring di tempat tidur dengan memeluk sesuatu yang besar disampingku. Mataku tidak mau terbuka karena Aku begitu lelah. Benda yang Aku peluk sangat empuk dan hangat. Ada gumpalan empuk yang menutupi wajahku namun Aku tak peduli karena wanginya enak.
"Umumu...."
Aku sedikit mendengar tawa kecil seorang wanita hingga Aku terbangun membuka mataku. Begitu pandanganku menjadi jelas, Aku mendapati Bibi Vinesa dan Zain tidur bersebelahan disampingku. Zain tampak memeluk Bibi Vinesa dengan erat di tidurnya.
Bibi Vinesa membuka matanya lalu melihatku.
"Kamu sudah bangun Eideth. Tangan Kamu geli."
Aku segera menarik tanganku yang memeluk perut Bibi Vinesa dan membangunkan Zain.
Jadi gumpalan besar yang menutupi wajahku tadi! Tidak-tidak. Aku tidak mau memikirkannya.
"Kalian sudah mau bangun? Tidurlah dipelukan Bibi lebih lama."
Aku segera menarik Zain dari tempat tidur lalu Ibu datang berlarian kemari.
"Eideth. Zain. Kalian tidak apa-apa?" Ibu langsung memelukku, sepertinya Ia khawatir.
"Ibu. Aku baik-baik saja. Ugh...!" Pelukan Ibu semakin kuat.
"Humph! Anak-anakku sudah lama tidak tidur bersamaku. Bisa bisanya Kamu tidur bareng Dia." Ibu terlihat mengambek.
"Oh? Benarkah? Mereka memelukku sangat erat semalam. Terutama Eideth. Barusan Ia hampir...."
"Uaaaahhhhh!" Aku berteriak menghentikan perkataan Bibi sebelum Ia mengatakan yang aneh-aneh.
"Ugh... Sudah pagi ya? Eh!? Dia!" Zain baru saja terbangun dan masih mengantuk seketika terjaga dan sembunyi dibalik Ibu.
"Baguslah kalau Kalian sudah bangun. Ini Kakak Ayah Kalian. Namanya Vinesa. Ucapkan salam pada Bibi." {Ibu}.
Zain keluar dari persembunyiannya dan menyapa Bibi Vinesa walau Ia masih takut.
"Hai Bibi... Aku Zain."
"Aku Eideth." Aku menjawab dengan tegas didepan Zain yang masih agak takut terhadap Bibi Vinesa.
"Hai Zain. Hai Eideth. Maaf ya Bibi menakuti kalian semalam."
Zain memberanikan dirinya membuka mulut.
"Ya. Gak papa. Tatapan Bibi menakutkan tapi tidak jahat." Wow. Zain bisa merasakannya. Walaupun hawa membunuh itu dapat membuatnya trauma tapi Ia bisa merasakan niat dari hawa membunuh itu sangat luar biasa.
"Ahahaha... Keponakanku memang luar biasa." Bibi Vinesa tertawa lepas namun Aku masih tidak bisa menghilangkan ketidaksenangan ku terhadapnya.
"Eideth." Bibi Vinesa menatap lalu memanggilku.
"Apa?"
"Jangan ngambek lagi dong. Bibi kan sudah minta maaf. Langsung saja. Apa Kamu mau jadi murid Bibi?"
Apa!?