Chereads / Suami Semusim / Chapter 1 - Prolog

Suami Semusim

Iffah_Sukma
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

"Kamu menikmatinya, Damar." Alma berkata lirih. Menatap lembut. Bibirnya yang ranum tampak basah, sepintas mampu memperdaya Damar.

Damar mengerjap-ngerjap, berusaha berpikir jernih. "Stop sampai di sini Alma, dan tidurlah."

"Please, Damar, hanya sekali." Alma bergelayut manja di bahu Damar yang bidang.

"Gak Alma, aku gak mau terlalu jauh. Aku gak mau kamu hamil!" Berusaha melepas lingkaran tangan kekasihnya di bahu.

"Gak akan hamil. Ayolah Damar, bantu aku menepis mimpi buruk itu malam ini saja, kehangantanmu membuatku merasa lebih baik dan mampu menghalau bayang-bayang buruk itu." Dengan tatapan meyakinkan Alma menghujam manik mata Damar.

"Tolong lepaskan Alma." Lirih Damar memohon, lebih memohon kepada dirinya sendiri yang semakin terhanyut belain kekasihnya.

Alma tak banyak bicara terus berusaha menawarkan pelukannya. Damar masih terlalu canggung untuk itu berusaha menolak, meski penolakannya kalah akan usaha Alma meluluhkannya.

Hingga hal yang paling intim terjadi. Pertama seumur hidup bagi keduanya, membuat isi kepala Damar berantakan tak keruan sampai ia lupa telah mengeluarkan benihnya di rahim Alma tanpa kontrasepsi apapun.

***

Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 26 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.

Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Kevmana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?

Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.

Selesai mandi pikirannya masih berantakan, tapi tidak mungkin seharian ia mengurung diri di kamar sembari mengguyur kepalanya 'kan? Justru ia butuh kesibukan untuk melupakan kejadian semalam.

Ia pun segera keluar kamar mandi setelah merasa cukup menetralkan pikiran yang sebenarnya masih saja terasa berantakan. Pelan-pelan Damar berjalan menuju lemari dan mengambil baju ganti, ia tak ingin membangunkan Alma terlebih dalam keadaan tubuhnya hanya terlilit handuk sebatas pinggang hingga lutut. Ia sudah cukup malu bertelanjang bulat semalaman bersama Alma.

Namun baru saja ia akan mengenakan kaos tiba-tiba dua tangan dengan warna kulit yang kontras dari pigmen kulitnya melingkar di pinggang. Damar menahan napas, jantungnya kembali berpacu seperti semalam. Sensasi itu muncul lagi seiring dekapan tangan Alma yang kian menguat.

"Le-lepas Alma!" Damar berusaha berpikir jernih, tidak ingin terpengaruh akan sentuhan-sentuhan sensual itu lagi.

Alma justru dengan santai bergumam manja, tak mengendurkan sedikit pun pelukannya dari belakang.

Damar berusaha melepaskan pelukan Alma secara paksa. Namun, begitu pelukannya terlepas Alma kembali memeluk lagi.

Sejenak Damar menghela napas, kesal.

"Aku bakal kangen banget nantinya di Indonesia," bisik Alma dari belakang daun telinga Damar.

Embusan napas Alma yang menyentuh kulit sensitif Damar membuatnya hampir terlena lagi. Ada sensasi geli bergelenyar, tapi ia tahan dengan menggertakkan rahangnya.

"Lepas atau kuseret keluar," ucap Damar dengan ketus.

Alma yang tersentak langsung melepaskan pelukan dan menjauh. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan akan sikap sang kekasih.

Damar bergegas mengenakan pakaiannya dengan lengkap, ia sudah tidak perduli jika Alma mungkin tengah menontonnya. Begitu selesai, ia melempar handuk ke sembarang arah sedangkan satu tangannya menyisir rambut yang basah.

Alma termangu sejenak, menatap wajah segar yang tampak memerah antara malu dan amarah. Andai keadaan tidak secanggung pagi itu mungkin Alma akan begitu tersipu menikmati ketampanan lelaki sederhana yang mempesonanya.

Seketika Damar mengalihkan pandangan ke Alma yang membuat perempuan itu merasa terintimidasi kemudian berpura-pura merapikan poninya untuk menutupi perasaan takut. Namun tanpa diduga, Damar justru dengan agresif menarik tangan Alma yang sedang merapikan rambutnya.

Alma tersentak kaget bahkan sempat limbung hampir tersungkur di bingkai pintu kala damar menghentakkan pergelangannya agar keluar dari flatnya. Gadis bermata almond itu menatap nanar, ketakutan dan penuh keheranan akan sikap kekasihnya. Matanya berkaca-kaca menahan pedih di ulu hati.

"Maaf, aku sebenarnya sayang sama kamu Al—"

"Sayang tapi kamu tega mengusirku dan kasar ke aku!" Alma yang kini berderai air mata meneriaki Damar.

"Karena kamu melewati batas yang aku buat Al—"

"Kamu menikmatinya!" bentak Alma dengan kedua mata berair.

Damar meremas rambutnya frustrasi, napasnya memburu dengan wajahnya kian memerah. "Jangan lupa minuml pil kontrasepsi darurat sebelum terlambat, aku tidak mau kamu hamil."

Tanpa merasa perlu menunggu jawaban dari Alma yang sudah membuka mulut, Damar membanting pintu hingga berdebam. Sedangkan Alma urung membantah lantas termangu di luar sana dengan air mata menggantung di sisi dagunya yang runcing.

Pedih, hati Alma begitu pedih diperlakukan demikian. Ia pun berbalik, dengan pasrah. Sore nanti ia harus terbang ke Indonesia, ia pun memutuskan untuk pulang ke flatnya sendiri untuk berkemas-kemas. Kini tinggal penyesalan memenuhi benak Alma, ia pikir dengan rencananya meluluhkan Damar berhasil itu akan jadi penghangat hubungan di antara mereka sekaligus menjadi perpisahan yang mengesankan sebelum keduanya menjalani hubungan jarak jauh. Namun reaksi Damar justru di luar dugaan Alma. Berantakan.

***

Alma tengah rusuh mencari pembalut dan pakaian ganti, sambil menghitung-hitung tanggal menstruasinya. Sudah telat tanggal mens dua minggu, terus tiba-tiba mens? Apakah keguguran? Alma membatin cemas, menggigit bibir, sembari menahan nyeri di perut bagian bawah. Apa aku harus kasih tahu Damar, ya? Pikirnya kemudian.

"Al, bangun, buruan calon mertua sama Yogi mau ketemu, tuh!" Rudi menggedor pintu dengan tidak sabar. Membuyarkan keresahan Alma.

Alma yang baru saja akan beranjak ke kamar mandi mengumpat kesal. "Iya, mau mandi dulu, sana ih!" Dalihnya tanpa membukakan pintu.

"Buka pintunya, nih, gue disuruh ayah, anterin dress."

Alma menghela napas, malas banyak debat karena hatinya masih diliputi kecemasan dan kebingungan ia pun bergegas membuka pintu.

Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar.

Alma pun mengembuskan napas lega melihat kepergian Kakak sulungnya. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan. Tidak ada waktu lagi untuk mengeluh ia bergegas lari ke kamar mandi.

Selesai membersihkan diri dan mengenakan dress pemberian ayahnya pintu kembali diketuk oleh Rudi, membuat Alma menghela napas berat. Kemudian bangkit membuka pintu dan keluar menuju ruang tamu.

Alma menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai dasar dengan langkah gontai. Perasaannya sangat tidak keruan, sampai-sampai Rudi di belakangnya menyejajari langkah Alma, memastikan adiknya baik-baik saja. "Cantik-cantik, lemes," celetuk Rudi, yang hanya dibalas senyum kaku dari perempuan berusia 25 tahun itu.

Ketika Alma sampai di anak tangga terakhir, terdengar tawa dari dua keluarga besar yang mengisi sofa di ruang tamu sana. Mereka tampak begitu akrab, membuat Alma bertanya-tanya, sudah berapa lama ayahnya kenal dengan ayahnya Yogi? Sampai-sampai mempercayakan anak bungsunya yang ibarat permata kepada Yogi untuk dinikahi.

Alma menghela napas, berusaha melapangkan dada meski dalam hati terus berusaha mencari alasan untuk menolak perjodohan ini.

"Selamat pagi Om, Tante, Yogi," sapa Alma dengan tersenyum ramah yang dipaksakan.

"Cantiknya," puji istri Arlan bersamaan dengan suaminya, Arlan.

Sedangkan Yogi terpaku nyaris tanpa berkedip. Kornea matanya terus mengikuti gerakan Alma sedari datang hingga duduk di sisi ayahnya.

Istri Arlan menyenggol pelan lengan Yogi. "Aduh, maaf Yogi selalu sibuk kerja gak pernah cuci mata, sekalinya liat Perempuan cantiknya kaya bidadari jadi mohon dimaklumi pak Pram," selorohnya mencairkan suasana.

Yogi buru-buru menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu. Penampilan Alma hari ini yang flawles begitu berbeda dari gaya nyentriknya tempo hari di bandara, terasa lebih memikat baginya.

Alma mendecih kesal dalam batinnya, ingat betapa kakunya Yogi saat pertama kali bertemu dan hari ini justru hampir membuatnya mati tersipu karena diperlakukan bagai perempuan tercantik.

Aku bakal gagalin pernikahan ini, apalagi kalau benar dugaanku aku telah hamil anak Damar. Suara-suara keresahan dalam batinnya terus menggema.